Bandar Lampung -- SEJUMLAH wanita muda dengan usia rata-rata 18—23 tahun terlihat saling bercengkerama di salah satu sudut di sekitaran GOR Saburai, Enggal, pekan lalu, sekitar pukul 22.30. Namun, obrolan mereka seketika terkadang langsung buyar saat ada sebuah mobil berhenti. Dengan langkah cepat mereka saling berebut menghampiri si pemilik kendaraan.
"Mau ke mana, om? Boleh ikut, Om? Ayolah, Om, pakai gaya apa saja saya bisa," ujar salah satu wanita tersebut.
Mereka adalah para pekerja seks komersial (PSK) yang kerap berada di sekitaran Saburai, Enggal. Salah seorang dari mereka menuturkan tarif yang ditawarkan untuk sekali kencan, yakni Rp250 ribu—Rp350 ribu. Tarif tersebut belum termasuk sewa hotel kelas melati.
Selain di sekitaran Saburai, praktik prostitusi juga berada di daerah Panjang, Bandar Lampung. Ada dua titik lokalisasi di wilayah ini. Berdasarkan informasi, tarif untuk sekali kencan dengan PSK di dua lokasi di Panjang tersebut bervariasi, mulai dari Rp100 ribu—Rp300 ribu.
Tidak hanya di tiga lokasi tersebut, ada tempat praktik prostitusi lainnya yang mungkin tidak banyak orang mengetahuinya. Lokasinya di sekitar jembatan layang Jalan Pangeran Antasari. Di tempat ini, para PSK yang usianya rata-rata di atas 35 tahun itu mematok harga yang jauh lebih murah, yaitu sekitar Rp50 ribu—Rp75 ribu untuk sekali kencan. Ironisnya, tempat yang disediakan untuk berkencan bukan rumah atau hotel, melainkan di semak belukar dengan hanya beralaskan selembar tikar.
Andri, warga sekitar Kalibalok, menuturkan warga sering resah dan sempat marah dengan keberadaan para PSK tersebut. "Warga juga sempat demo. Namun, sekarang sering didatangi polisi yang melakukan razia," ujarnya.
Ikhar, warga Panjang, yang rumahnya tidak jauh dari lokalisasi mengaku meski resah, warga tidak bisa berbuat apa-apa lantaran praktik tersebut sudah ada sejak lama.
"Warga sebetulnya tidak suka. Selain suara bising setiap malam, penilaian orang luar terhadap masyarakat di sini juga jadi jelek, padahal enggak semuanya pekerja seks," kata dia.
Pengamat hukum Universitas Lampung, Wahyu Sasongko, menilai praktik prostitusi seharusnya memang ditiadakan. Menurut dia, tidak ada undang-undang atau hukum yang melegalkan lokasi atau tempat prostitusi di Indonesia.
"Namun, apakah pemerintah sanggup memberi keterampilan untuk para PSK itu supaya mereka dapat bertahan hidup," kata Wahyu.
Dia menilai hukum di Indonesia dilema dalam hal prostitusi. Jika praktik tersebut ditutup, para PSK harus diperhatikaan dari sisi sosialnya. Para PSK juga memilih jalan hidupnya seperti itu bukan tanpa alasan. Faktor utama yang menuntut para PSK adalah keterbatasan lapangan pekerjaan.
"Ditangkap kalau tidak ada tempat penampungan percuma, pasti dilepas lagi. Seharusnya gunakaan PAD membangun tempat penampungan, tetapi jangan sekadar ditampung, mereka harus diberikan pelatihan," ujar Wahyu.
Sumber: http://lampost.co