Oleh Dr (HC) Sutarko Hadiwacono
PERTUNJUKAN wayang kulit dari masa ke masa memang masih mendapat perhatian penonton, baik di kota, di desa ataupun di pegunungan. Hal ini disebabkan pentas wayang kulit bisa menyesuaikan kondisi masing-masing kalangan dan zaman. Namun, dalang juga harus mumpuni; selalu tahu empan, papan lan adhepan. Ia harus dapat menyesuaikan diri dengan tempat berpentas, siapa yang menonton, dan dari kalangan apa masyarakatnya.
Dengan demikian, dialog ataupun banyolan Ki Dalang bisa diterima oleh penontonnya. Seorang dalang juga harus mampu menyampaikan wejangan-wejangan melalui tokoh-tokoh wayang, serta membeberkan falsafah-falsafah kehidupan yang dapat membentuk karakter manusia agar berbuat baik, bermoral dan selalu menjaga kedamaian. Lebih dari itu, dalang harus mampu mengolah sanggit yang bisa menyentuh perasaan sekaligus dapat menjadi tuntunan bagi masyarakat agar memiliki watak ksatria.
Sayangnya, pentas pedalangan masa kini kebanyakan lebih didominasi guyonan dalang dengan pesindhennya, pelawak tamu dan penyanyi campursari. Inikah yang disebut adiluhung? Benarkah apa yang ditulis oleh Suyatin (KR, 20 Maret 2011), bahwa saat ini telah terjadi degra-dasi keadiluhungan pergelaran wayang kulit?
Di tangan seorang dalang (maaf bukan tukang mayang), tokoh wayang sebenarnya akan menjadi begitu hidup dan kontekstual dan bisa memberikan wejangan tanpa berkesan menggurui.
Memang, ada perbedaan antara seorang ‘dalang’ dan ‘tukang mayang’. Dalang adalah guru masyarakat yang dalam penampilannya berusaha menuntun penontonnya untuk selalu berbuat baik. Dalang juga tidak melanggar tatanan hukum, tatanan agama maupun tatanan masyarakat. Tetapi kalau ‘tukang mayang’ hanya akan ‘berkiblat’ cari duit. Perkara lain tidak terlintas dalam pikirannya. Pokoke sing penting payu!
Kalau dalang bersikap sebagai tukang mayang, masih pantaskah pergelaran wayang kulit disebut sebagai tontonan yang adiluhung?
Dari pengamatan penulis berpuluh kali menonton pergelaran wayang kulit di beberapa kota, ternyata banyak dalang yang pentas berpenampilan sama. Dalam pentas, dalang kerap kali mengeluarkan kata-kata kotor, saru dan mengeluarkan kata-kata yang sepantasnya tidak diucapkan di perkeliran. Penokohan wayang menjadi kabur, sanggit sama sekali tidak ada.
Banyolan, sudah pasti saru dan kotor. Apalagi ditambahi dengan pelawak tamu yang berinteraksi dengan penonton, pergelaran wayang kulit menjadi semakin melenceng jauh dari tatanan adiluhung. Bahkan, perkeliran sekarang umumnya dijadikan sebagai tempat caci-maki dan menghujat para pejabat.
Sekali lagi, inikah yang disebut adiluhung itu?
Lebih memprihatinkan lagi, banyak dalang yang tidak menguasai materi. Antawacana dan unggah-ungguh hanya semaunya, bahkan sering dengan bahasa yang tidak benar. Suluk tidak pas dengan adegannya. Sanggit tidak dikuasai. Sebagai da-lang senior, saya benar-benar sangat prihatin melihat fenomena pedalangan ini. Akan kemanakah arah pedalangan kita?
Dalam pendidikan di SMKI maupun ISI, mestinya selalu ditanamkan pengertian bahwa seni pedalangan adalah seni adiluhung. Pergelaran wayang kulit merupakan tontonan, tuntunan dan juga tatanan. Semua seni tercakup di dalam pergelaran seni, yang harus dikuasai oleh seorang dalang. Yakni seni tari, seni drama, seni suara, seni rupa dan seni karawitan.
Mana ada seni yang begitu komplet... plet, kecuali seni pedalangan? Tetapi mengapa justru para aktornya makin tidak bermutu. Sekarang malah semakin banyak dalang ‘bonek’ (bandha nekat), sehingga pergelarannya kosong, yang menurut istilah dulu disebut beber bango mati.
Memang, tidak semua dalang begitu. Tetapi juga harus disadari bahwa sekarang yang tampil hanya ‘begitu adanya’. Ini menjadi tantangan bagi para senior dan maestro pedalangan, untuk tetap menjaga keadiluhungan pergelaran wayang kulit. Juga harus diakui, bahwa saat ini banyak pejabat menanggap pergelaran wayang kulit, namun hanya untuk mendatangkan ribuan penonton. q - o
*) Dr (HC) Sutarko Hadiwacono,
pemerhati dan praktisi pedalangan,
tinggal di Kutoarjo Purworejo.
Sumber: http://www.kr.co.id