Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang sangat penting artinya dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional adalah naskah-naskah lama (kuno). Pada dasarnya naskah-naskah lama itu merupakan dokumen budaya yang berisi berbagai data dan informasi tentang pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari bangsa atau kelompok sosial budaya tertentu, yang sekaligus juga sebagai unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang melahirkan dan mendukung naskah-naskah tersebut.
Karena itu, peninggalan suatu kebudayaan berupa naskah termasuk dokumen yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama. Peninggalan berbentuk puing bangunan seperti candi, istana raja, pemandian suci, dan lain sebagainya, mungkin bisa memberi kesan yang lebih semarak mengenai keagungan budaya lama. Namun, peninggalan berbentuk sisa bangunan itu belum sanggup memberi informasi langsung yang mencukupi mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat yang membangunnya, karena hal itu hanya dapat kita alami melalui berita-berita yang dapat dibaca melalui peninggalan dalam bentuk naskah.
Pada masanya naskah-naskah itu mempunyai banyak fungsi, antara lain sebagai pegangan kaum bangsawan untuk naskah-naskah yang berisi silsilah, sejarah leluhur, dan sejarah daerah mereka, sebagai alat pendidikan untuk naskah-naskah yang berisi pelajaran agama dan etika, sebagai media menikmati seni budaya seperti naskah-naskah yang berisi cipta sastra atau karya seni, dapat menambah pengetahuan untuk naskah-naskah yang berisi berbagai informasi ilmu pengetahuan; dan sebagai alat keperluan praktis kehidupan sehari-hari untuk naskah-naskah yang berisi primbon dan sistem perhitungan waktu. Namun, kini fungsi-fungsi tersebut mengalami proses pelunturan, bahkan ada yang tidak berfungsi lagi (Ekadjati, ed. 1988: 9).
Dewasa ini ada kecenderungan makin berkurangnya jumlah naskah karena banyak naskah yang rusak, hancur, atau musnah yang tidak mungkin lagi dapat diketahui kandungan isinya. Rusak atau hancurnya naskah-naskah sebagian disebabkan oleh musibah yang menimpa naskah-naskah itu, misalnya karena terbakar, bencana banjir, rusak dimakan serangga, atau lapuk karena ketuaannya. Ada pula yang disebabkan akibat kesengajaan (dibakar, tidak dipelihara), dan ada yang karena kelalaian pemiliknya, seperti karena ditinggalkan mengungsi, terlupakan memeliharanya, dan sebab-sebab lain. Sejumlah besar naskah yang rusak, hancur, atau musnah belum sempat diteliti secara mendalam.
Demikian pula sejumlah naskah, dalam beberapa bahasa dan memakai bahan yang bermacam-macam, baik yang disimpan di perpustakaan-perpustakaan, museum-museum, maupun yang disimpan di kalangan masyarakat sebagai benda warisan atau benda keramat di tanah Sunda, sampai sekarang masih telantar pemeliharaannya dan kurang mendapat perhatian dalam penelitian dan pengkajiannya. Padahal di dalamnya mengandung banyak informasi antara lain tentang sejarah, sosial, budaya, agama, filsafat, dan seni.
Dunia Naskah Sunda
Dunia naskah Sunda merupakan gudang besar persediaan ilmu pengetahuan masa silam yang dapat menambah khazanah nilai-nilai sejarah dan budaya Sunda dalam beragam jenis dan materi informasi yang tersedia. Keberadaan naskah-naskah Sunda ini erat kaitannya dengan kecakapan baca tulis atau pengenalan huruf. Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Sunda di Jawa Barat, huruf telah digunakan sejak sekitar pertengahan abad ke-5 Masehi. Huruf-huruf yang pernah digunakan oleh masyarakat Sunda adalah huruf Palawa, huruf Sunda “Kuna”, huruf Jawa, huruf Arab, dan huruf Latin. Kecuali huruf Palawa yang hanya digunakan untuk membuat prasasti, penggunaan huruf-huruf tersebut telah memungkinkan banyaknya naskah-naskah Sunda.
Naskah-naskah Sunda pada umumnya ditulis dengan menggunakan huruf Sunda “Kuna” bagi naskah-naskah yang berasal dari kurun waktu sebelum abad ke-17 Masehi, huruf Jawa (huruf Jawa-Cirebon dan huruf Jawa Sunda) bagi naskah-naskah yang dibuat sejak sekitar abad ke-17 Masehi, huruf Arab (Pegon bagi naskah-naskah yang dibuat sejak sekitar abad ke-18 Masehi) dan huruf Latin bagi naskah-naskah yang berasal sejak sekitar abad ke-19 Masehi (Ekadjati, 1998).
Media naskah Sunda tempat menuliskan huruf-huruf di atas ada beberapa macam, antara lain lontar, janur, daun enau, daun pandan dan nipah yang ditulisi dengan menggunakan alat pengerat (penggores) yang disebut peso pangot serta media daluang dan kertas yang ditulisi dengan pena, tinta, atau pensil. Biasanya naskah-naskah yang ditulis pada daun lontar berasal dari periode yang lebih tua (sebelum abad ke-18 Masehi) sedangkan naskah yang ditulis pada kertas Belanda berasal dari masa yang lebih muda (sejak abad ke-19 Masehi).
Berdasarkan waktu pembuatannya naskah-naskah Sunda dapat dibagi atas tiga periode, yaitu (1) masa kuna (masa sekitar abad ke-17 dan sebelumnya) yang diwakili antara lain oleh naskah-naskah (Carita Parahyangan, naskah Pantun Ramayana, Siksa Kanda ng Karesian, dan Bujangga Manik; masa peralihan sekitar abad ke-18 Masehi yang diwakili antara lain oleh naskah Carita Waruga Guru dan Cariosan Prabu Siliwangi; dan (3) masa baru yang diwakili oleh naskah-naskah Wawacan Sajarah Galuh, Sajarah Sukapura, Carita Ukur, Carita Sajarah Lampahing Para Wali Kabeh, dan Wawacan Ahmad Muhammad.
Dalam katalog Naskah Sunda yang disusun oleh tim yang dipimpin Dr. Edi S Ekadjati (1988) tercatat 1.019 naskah dengan perincian 239 naskah di Universiteit Bibliotheek Leiden, 500 naskah Sunda yang ditulis di atas kertas dan daluang serta 40 naskah yang ditulis di atas daun lontar, nipah, dan lain-lain yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta (semula di bagian naskah Museum Nasional Jakarta), 150 buah naskah di Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga” di Bandung, 50 buah naskah yang tercatat berada di kantor Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO) sebuah lembaga penelitian Prancis untuk Timur Jauh di Bandung (yang kantornya telah tidak ada lagi), 15 naskah di Museum Pangeran Geusan Ulun Sumedang, 25 naskah di Museum Cigugur Kuningan, dan sekitar dua buah peti berisi naskah-naskah lama masih tersimpan rapat di keraton Kasepuhan Cirebon.
Di luar lembaga-lembaga penyimpanan naskah, naskah-naskah Sunda masih banyak tersebar di kalangan masyarakat yang sulit diperkirakan jumlahnya. Meski demikian, dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jawa Barat yang disusun oleh Edi S Ekadjati dan Undang Ahmad Darsa (1999), naskah Sunda yang tersimpan di kalangan masyarakat (Jawa Barat) dan beberapa tempat penyimpanan naskah tingkat lokal seperti Museum Negeri Jawa Barat, Museum Pangeran Geusan Ulun Sumedang, Museum Cigugur Kuningan, Keraton Kasepuhan dan keraton Kacirebonan di Cirebon yang berhasil dihimpun tercatat sebanyak 1.012 naskah.
Naskah-naskah ini dapat dikelompokkan ke dalam enam kelompok. Kelompok pertama, adalah naskah-naskah tentang sejarah yang mencakup naskah-naskah dalam kategori sejarah Jawa Barat, sejarah Jawa (Tengah dan Timur), dan mitologi sebanyak 233 naskah; kedua, tentang agama Islam yang mencakup naskah-naskah Al Quran, cerita Islam, fiqih, tasawuf, manakib, tauhid, adab, dan doa-doa sebanyak 546 naskah; ketiga, naskah-naskah tentang sastra sebanyak 122: keempat, naskah-naskah primbon dan mujarobat sebanyak 66; kelima, tentang adat-istiadat sebanyak 15; dan keenam naskah-naskah lain sebanyak 30 naskah. Naskah-naskah tersebut sebagian besar berbahasa Sunda, selain ada juga yang berbahasa Jawa Cirebon, bahasa Arab, dan beberapa bahasa Melayu.
Pengumpulan dan Penelitian
Terkumpulnya naskah Sunda di berbagai lembaga tempat penyimpanan naskah baik di dalam maupun di luar negeri tidak terlepas dari usaha yang dilakukan oleh para ahli yang menaruh perhatian besar terhadap pentingnya naskah Sunda yang mulai dikumpulkan sejak abad ke-19 Masehi sampai masa akhir pemerintah kolonial Belanda antara lain oleh K.F. Holle, J.L.A. Brandes, C.M. Pleyte, Raden Saleh, Snouck Hurgronje, R.A. Kern, dan G.A.J. Hazeu. Pada umumnya mereka melakukan usaha pengumpulan naskah itu pada waktu mereka mengemban tugasnya masing-masing, baik sebagai pegawai pemerintah kolonial yang erat hubungannya dengan masyarakat Sunda maupun sebagai wiraswastawan yang sering berhubungan dengan masyarakat Sunda.
Naskah-naskah Sunda yang berhasil dikumpulkan sejak abad ke-19 oleh para penyusun katalog naskah mulai didaftarkan. Juynboll, misalnya, pada tahun 1899 menyusun katalog yang berisi naskah-naskah Sunda dengan judul Catalogus van Maleische en Soendaneesche Handschriften der Leidsche Universiteits Bibliotheek dan pada tahun 1912 menyusun katalog berjudul Supplement op den catalogus van Soendaneesche Handschriften en Catalogus van de Soendaneesche Handscriften en Catalogus van de Balineesche en Sasaksche Handschriften der Leidsche Universiteits Bibliotheek. Kedua katalog ini terbit di Leiden. Sejak itu bermunculan katalog naskah Sunda antara lain yang disusun oleh R.A. Keren mengenai naskah koleksi Snouk Hurgronje, Perbatjaraka (1933), Th. G. Pigeaud (1967, 1968, dan 1970), M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve (1977), dan F.H. van Naerssen, Th. G. Pigeaud dan P. Voorhoeve (1977), dan terakhir Edi S. Ekadjati (1988 dan 1999).
Pengumpulan naskah-naskah Sunda kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai penelitian yang menggunakan naskah Sunda sebagai objek penelitiannya. Sebut saja misalnya Thomas Stanford Raffles yang menulis buku History of Java pada tahun 1819, ia menggunakan naskah-naskah Jawa dan juga Sunda sebagai bahan (sumber) penyusunan bukunya. Jejak Raffles kemudian diikuti oleh para penulis Belanda, antara lain oleh C.M. Pleyte yang menerbitkan sejumlah naskah bagi kepentingan bahan studi bahasa, sastra, dan sejarah Sunda antara lain Ciung Wanara dan Lutung Kasarung (1910), Carita Parahiyangan (1911), Babad Galuh, Sajarah Galuh Bareng Galunggung dan Carita Waruga Guru (1913), serta Carita Purnawidjaja pada tahun 1914. Kemudian J.L.A.Brandes pada tahun 1911 menerbitkan teks Babad Cirebon, diikuti oleh Hoesein Djajadiningrat yang meneliti naskah Sajarah Banten untuk disertasi doktornya di Universitas Leiden dan lulus dengan nilai cum laude pada tahun 1913 ketika ia masih berusia 27 tahun. Sejak itu, beberapa disertasi doktor yang menggunakan bahan naskah Sunda sebagai sumber kajian mulai bermunculan, antara lain disertasi K.A.H.Hidding pada tahun 1929 mengambil cerita Nyi Pohaci Sangyang Sri, J.Edel (1938) yang meneliti Hikayat Hasnuddin, dan F.S.Eringa (1949) tentang Loetoeng Kasaroeng.
Pada tahun 1979, Edi S. Ekadjati dan Emuch Hermansoemantri menulis disertasi doktor di Universitas Indonesia dengan mengambil naskah Sudna sebagai bahan kajiannya. Edi S. Ekadjati memilih naskah-naskah mengenai Cerita Dipati Ukur yang terdapat dalam 23 naskah dan berbagai penerbitan, sementara Emuch Hermansoemantri memilih Sajarah Sukapura dengan mendasarkan pada lima naskah. Terakhir, bulan September 2001, saya sendiri menulis disertasi doktor filologi di Universitas Padjadjaran mengenai Sunan Gunung Jati dengan menggunakan naskah-naskah dari Cirebon.
Di Jurusan Sastra Sunda FPBS UPI, Fakultas Sastra Unpad, dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, misalnya, telah puluhan naskah yang dijadikan bahan penelitian skripsi mahasiswa di ketiga perguruan tinggi ini. Demikian pula di Program Studi Ilmu-ilmu Sastra Bidang Kajian Utama Filologi Program Pascasarjana Unpad telah menghasilkan puluhan magister dan satu orang doktor yang meneliti naskah Sunda.
Namun, penelitian yang telah dilakukan baik oleh para mahasiswa S.1, S.2, dan S.3 serta para peminat naskah Sunda hingga saat ini, jika dibandingkan dengan ribuan naskah yang ada, penelitian naskah ini ternyata baru sebagian kecil saja. Gudang besar tentang sejarah, budaya, sastra, agama, filsafat, dll. masih tersimpan rapat di tumpukan naskah-naskah lama. Mudah-mudahan Simposium Internasional Pernaskahan yang digelar di Bandung ini dapat menggairahkan minat para peneliti, pemerihati, dan peminat naskah Sunda untuk kembali membuka nilai-nilai luhur budaya bangsa warisan leluhur yang dapat dijadikan sebagai sumber kebudayaan Nusantara.
***