Jakarta - Lebaran, bagi masyarakat Betawi, menjadi momen puncak pemulihan diri dalam membina silaturahim dengan masyarakat di sekitar. Peristiwa ini bukan sekadar peringatan hari raya, melainkan juga penyatuan harmoni budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Sejarawan JJ Rizal mengungkapkan, tradisi Lebaran di Betawi memiliki keunikan tersendiri karena perayaan ini merupakan hasil akulturasi aneka macam budaya dalam kurun waktu lama. ”Kita bisa melihat bagaimana Lebaran Betawi mengadopsi bermacam-macam budaya, mulai dari budaya pra-Islam, Tiongkok, hingga Eropa,” ucap dia, Selasa (29/7/2014) di Jakarta.
Rizal mencontohkan, pada saat Lebaran, masyarakat Betawi memiliki kebiasaan memotong kerbau yang merupakan sisa tradisi masyarakat agraris pra-Islam. Tradisi ini sama sekali bukan berasal dari masyarakat Muslim di Timur Tengah, Tiongkok, ataupun Eropa.
”Saat Lebaran orang Betawi juga makan ketupat. Makanan dari beras yang menggumpal menjadi satu ini menandakan komunalisme, kebersamaan, solidaritas, dan perasaan sepenanggungan. Di sinilah terjadi pertemuan tradisi agraris dan maritim. Agraris dari berasnya dan maritim dari daun kelapanya,” kata dia.
Adopsi budaya Tiongkok ke dalam Lebaran Betawi juga tampak pada tradisi pemukulan beduk. Masyarakat Betawi bahkan tidak memilih ondel-ondel untuk menolak bala, tetapi menggunakan petasan untuk menolak bala pada saat Ramadhan serta Lebaran. Sama seperti beduk, petasan juga khas tradisi Tiongkok.
”Yang paling menarik lagi, saat Lebaran di meja makan disajikan makanan-makanan yang sejarahnya berasal dari berbagai budaya. Kita bisa menemukan kue kastengel dan nastar yang khas tradisi Belanda, kue keranjang yang khas tradisi masyarakat Tionghoa, dan sekaligus tampak pula umbi, ketan, serta dodol yang merupakan produk tradisi agraris lokal. Di sinilah muncul perayaan multikultur atau peristiwa perayaan simbol yang diterima melalui proses sejarah,” kata Rizal lagi.
Kekhasan tradisi Lebaran Betawi yang sarat harmoni budaya ini, menurut Rizal, tak lagi banyak disadari masyarakat saat ini. Karena itulah, sejarah tradisi Lebaran Betawi seperti ini perlu dikenalkan lagi kepada generasi muda.
Pemikir Islam, Budhy Munawar-Rachman, mengatakan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan terbuka pada berbagai macam kebenaran, termasuk tradisi dan budaya. Hal serupa pernah disampaikan almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam bukunya Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara,2001). Dalam gagasannya, ”pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.
Sumber: http://travel.kompas.com