Subak dan Seni Budaya Bali Mendunia

Oleh I Ketut Sutika

Jalan beraspal itu tidak begitu mulus, lebarnya sempit, hanya pas untuk satu kendaraan roda empat. Sepanjang tepi jalan mengikuti selokan tertata apik, meskipun tidak seperti proyek trotoar di perkotaan.

Air irigasi pertanian tradisional (subak) itu tampak jernih, mengalir lancar menyebar menggenangi sawah dan kolam ikan yang terbentang di hilir Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan, 27 km barat laut Kota Denpasar.

Jaringan jalan sempit membelah Subak Mole dan Subak Sengawang yang memiliki hamparan sawah lebih dari 90 hektare sepanjang hampir dua kilometer hasil pelebaran jalan setapak yang dilakukan secara gotong royong oleh anggota subak setempat.

Hasil pelebaran itu kemudian diaspal Pemerintah Kabupaten Tabanan, dengan harapan bisa menghubungkan jalan Makam Taman Pahlawan Pujaan Bangsa Margarana dengan objek wisata Alas Kedaton, tempat berkeliaran ratusan ekor kera dan kelelawar besar yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke objek wisata tersebut.

Subak bersamaan dengan seni budaya Bali diperkenalkan kepada masyarakat dunia oleh peneliti mancanegara, yakni Miguel Covarrubias yang juga penulis, pelukis dan antropolog kelahiran Meksiko.

Warga negara asing itu pernah menetap di Bali dan menulis buku berjudul "Island of Bali" pada tahun 1930 atau 83 tahun yang silam," tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Prof Dr I Wayan Windia.

Buku tentang Bali Island (Pulau Bali) yang ditulis hampir seabad yang lalu, isinya masih sangat relevan dan inspiratif bagi pembacanya. Untunglah seniman Sunaryo Basuki Ks, guru besar Sastra Inggris di Universitas Pendidikan Genesha (Undiksa) menerjemahkan buku tersebut dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

Windia yang juga Ketua Badan Penjaminan Mutu Unud mengaku semakin tak percaya bahwa dalam menulis karangan ilmiah, literaturnya harus yang serba baru, terbukti buku karangan Covarrubias, nyaris menjadi buku "bibble" bagi pencinta kebudayaan Bali.

"Sebagai pengamat subak, tentu saja saya berusaha mengkaji lebih mendalam isi buku yang ditulis Miguel Covarrubias yang berkaitan dengan eksistensi subak di Bali," ujarnya.

Miguel Covarrubias memiliki pandangan yang sangat tajam, deskripsi pendapatnya tentang tujuan dibentuknya sistem subak, ternyata masih sangat relevan dengan tujuan-tujuan subak yang dideskripsikan oleh Coward maupun Prof Dr Nyoman Sutawan pada awal abad ke-21.

Subak dibentuk bertujuan untuk menjamin agar semua petani anggota subak tidak kekurangan air irigasi, dan melakukan kegiatan ritual sesuatu yang khas dilakukan oleh anggota subak yang membedakannya dengan sistem irigasi lainnya di belahan dunia.

Deskripsi Covarrubias itu, agak lama didangkalkan oleh berbagai peneliti tentang subak, sampai akhirnya Sutawan dkk, menegaskan kembali tentang fungsi ritual yang harus dilakukan subak.

Fungsi ritual itu kemudian dipertegas lagi oleh Suprodjo, Sigit dan Sahid yang kini diterapkan dalam kehidupan petani mulai dari pengolahan lahan, penanaman hingga panen selalu diwarnai dengan kegiatan ritual.

Pajak dalam subak
Miguel Covarrubias dalam melakukan penelitian dan pengkajian terhadap subak di Bali 83 tahun yang silam juga menyangkut substansi pajak yang harus dibayar para petani atas lahan sawah garapannya.

Kajian yang masih relevan dan terus dibicarakan hingga sekarang tentang pajak bagi petani yang kini dikenal dengan pajak bumi dan bangunan (PBB). Masalah pajak bagi petani sejak zaman kerajaan era awal abad ke-20 selalu dirasakan sangat memberatkan, menyakitkan dan mematikan petani.

Meskipun porsi pajak tanah (PBB) dalam proses biaya usaha tani dinilai belum begitu besar dan signifikan yakni sekitar sepuluh persen, namun pajak dirasakan berat bagi petani.

Oleh sebab itu petani harus menyediakan uang tunai pada hari H pemungutan pajak. Padahal kehidupan petani nyaris tidak pernah memiliki uang cash yang cukup.

"Faktanya, para petani hidupnya memang hanya dari usaha tani, dan kemudian setelah musim panen, lalu dikonsumsi. Pengeluarannya yang lain setelah panen adalah untuk membayar hutang, biaya pendidikan, biaya pengobatan, biaya upacara adat/agama," tutur Prof Windia yang sering memimpin dosen dan mahasiswa melakukan penelitian subak di Bali.

Dengan demikian petani nyaris tidak memiliki uang cash sebagai simpanan. Lalu di mana mereka harus mencari uang cash pada saat mereka harus membayar pajak (PBB).

Oleh sebab itu pengenaan pajak (PBB) kepada petani sejak seabad yang lalu sangat menyulitkan kehidupan petani, nyaris membuat petani menjadi apatis.

Miguel Covarrubias dalam bukunya berjudul "Island of Bali" menyebutkan bahwa tatkala tentara Belanda mendarat di pantai Sanur pada tahun 1906 (untuk menyerang Denpasar), maka masyarakat di Sanur yang umumnya petani, bersikap acuh tak acuh saja.

Mereka berpikir bahwa, siapapun berkuasa, tokh mereka harus membayar pajak. Mereka beranggapan bahwa bergantinya penguasa hanya akan berganti tempat membayar pajak. Hanya itu, dan tidak ada yang beda. Mungkin karena faktor itulah, maka rakyat Sanur tidak serta merta melakukan perlawanan terhadap Belanda, sampai akhirnya pasukan Kerajaan Denpasar menyerang pasukan Belanda yang masih berada di Pantai Sanur.

Sementara itu Covarrubias menyebutkan alasan lain. Bahwa rakyat Sanur tidak bereaksi secara wajar, karena mereka didominasi oleh kaum "brahmana" yang mencintai perdamaian.

Namun apapun itu, fakta empiris sudah membuktikan bahwa telah terjadi Perang Puputan Badung yang dahsyat. Hal itu adalah fakta dari perlawanan rakyat dan Raja Denpasar, yang tidak sudi direndahkan oleh orang asing (Belanda).

Setelah satu abad berlalu, masalah pajak bagi petani masih terus terasa sangat memberatkan. Oleh Sebab itu Prof Windia dalam berbagai perbincangan dengan petani, sangat mendukung petani yang tidak mau membayar pajak PBB, karena dinilai sistemnya tidak adil.

Sistem pajak PBB yang dasarnya adalah lokasi sawah yakni nilai jual obyek pajak (NJOP) adalah sistem pajak yang tidak adil. Hanya menguntungkan yang kaya (kapitalis), namun sangat mematikan kaum tani.

Sistem pajak PBB hanya mempermudah pekerjaan birokrat. Mereka dengan mudah dapat menyamaratakan nilai pajak dalam suatu subak tertentu, padahal nyatanya di sana ada sawah, ada toko, hotel dan tukang sepeda dengan penghasilan yang sangat berbeda.

"Lalu kenapa nilai pajak PBB-nya harus sama? Mengapa kaum birokrat tidak mau agak payah sedikit, dengan mengadakan orientasi lapangan. Dengan demikian, pengenaan pajaknya dapat dibedakan," ujar Prof Windia.

Sekarang, dengan telah diserahkannya pungutan pajak PBB kepada pemkab/pemkot, maka sistemnya harus ditata ulang. Dasar pajak PBB harus produksi lahan. Bukan lokasi lahan.

Ada kasus di sebuah subak di Denpasar barat seorang petani yang mempunyai lahan pertanian seluas 70 are (0,70 hektare) harus membayar pajak Rp40 juta setahun. Padahal petani itu hanya menanam padi dan sayur kangkung.

Lalu di mana harus mendapat uang untuk bayar pajak PBB sebesar itu? Apa itu berarti bahwa pemerintah mendorong petani untuk menjual sawah guna membayar pajak PBB? Di mana logikanya ? tanya Windia.

Jika demikian halnya, maka sejatinya pemerintahlah yang secara sistematis menghancurkan sistem sawah dan sistem subak di Bali. Padahal areal lahan sawah/subak yang terbentang luas, sangat penting atau bermanfaat untuk menghasilkan oksigen.

Selain itu menampung air yang berlebih pada musim hujan, menawarkan pemandangan alam yang sejuk yang menjadi dambaan wisatawan dalam dan luar negeri.

Sumber : http://oase.kompas.com/read/2013/04/04/01053851/Subak.dan.Seni.Budaya.Bali.Mendunia?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
-

Arsip Blog

Recent Posts