Semarak Tradisi Kupatan di Kampung Kauman

Gresik, Jatim - Senin (4/8/2014) petang, di sekitar alun-alun Gresik, Jawa Timur, terlihat ramai, terutama di Kampung Pekauman yang biasa disebut Kauman. Warga baru merayakan Lebaran pada tanggal 8 Syawal atau setelah berpuasa selama enam hari berturut-turut dimulai sehari setelah shalat Idul Fitri. Puasa sunah itu untuk menyempurnakan puasa Ramadhan yang dilakoni sebulan penuh.

Lebaran di Kauman dirayakan bersamaan dengan hari raya ketupat atau kupatan, tetapi hanya semalam. Tradisi Lebaran Ketupat itu menjadi puncak silaturahim bagi warga Kauman yang berada di belakang Masjid Jami, tepat di barat alun-alun Kabupaten Gresik.

Ketika daerah lain sudah sepi dan warganya sebagian sudah kembali ke tempat kerja, di Kauman justru ramai. Mereka bersilaturahim dengan tetangga. Sanak saudara dari jauh pun menyempatkan diri unjung-unjung (saling mengunjungi) sambil membawa makanan.

Misbahul Munir, warga Kauman, menuturkan, tradisi Lebaran di Kauman berlangsung turun-temurun. Pada malam kupatan banyak juga warga luar kampung yang datang. Mereka tetap dijamu dengan menu ketupat yang dipadu opor ayam atau gulai kambing. ”Bagi kami, rasanya kurang lengkap dan tak sempurna kalau puasa Ramadhan tidak diteruskan puasa Syawal selama enam hari lalu ditutup kupatan,” ujarnya.

Pada 1 Syawal warga Kauman melaksanakan shalat Id. Setelah itu, suasana kampung itu sepi. Keesokan harinya dilanjutkan lagi dengan puasa Syawal hingga enam hari. Setelah itu baru mereka bersukacita merayakan Lebaran. Seusai shalat maghrib, warga saling mengunjungi dan menikmati hidangan Lebaran dan ketupat.

Sangat istimewa

Tradisi itu awalnya berkembang di Kampung Kaliboto, Pekauman, dan Bekakaan, Kelurahan Pekauman. Perkampungan seluas sekitar 4,5 hektar dengan penduduk sekitar 2.000 jiwa itu benar-benar semarak saat kupatan. Warga tak segan-segan mempercantik rumahnya karena momentum setahun sekali itu dirasa sangat istimewa.

Ketua Masyarakat Pencinta Sejarah dan Budaya Gresik (Mataseger) Kris Aji menuturkan, kebiasaan puasa Syawal itu diperkenalkan oleh ulama bernama Kiai Baka yang masih keturunan Sunan Giri. Ia meminta santrinya agar mengikuti sunah Rasul dengan berpuasa Syawal selama enam hari.

Tradisi itu diteruskan hingga kini. Nama Kiai Baka diabadikan menjadi nama kampung, Kebakaan. Namun, karena pengaruh pelafalan Jawa, akhirnya lambat laun menjadi Bekakaan.

Kebiasaan berpuasa Syawal itu juga dijalankan anak keturunan warga Kauman yang tinggal di daerah lain. Tradisi itu juga berlaku bagi orang luar kampung yang menikah dengan warga Pekauman.

Setidaknya itulah yang dilakukan Syaichu Busyiri. Meski tidak lagi tinggal di Kauman, dia juga masih ikut menjalankan tradisi leluhurnya menyempurnakan puasa Ramadhan dengan puasa Syawal. Ia juga baru berlebaran dan bersilaturahim saat kupatan. ”Kami menghormati tradisi yang baik. Lebaran kami pun baru dilaksanakan malam ini,” kata pria yang kini tinggal di Gresik Kota Baru itu.

Karena perayaan Lebaran di Kauman hanya berlangsung semalam, semua warga berjubel di kampung. Wajah mereka berseri-seri, mengenakan baju baru, saling bersilaturahim dan memaafkan, sambil menikmati ketupat yang disajikan oleh tuan rumah.

Kupatan juga diselingi perkenalan sanak saudara dan menyambung silaturahim yang putus, terutama yang lama tidak bertemu. Tak jarang melalui tradisi itu ada yang bertemu jodoh.

Kris Aji menuturkan, saat kupatan warga saling berkunjung dan bersalaman untuk bermaafan. Warga bisa menikmati kupat dan lepet, semacam lontong yang berisi beras ketan. Makanan itu, ketupat dan lepet, melambangkan istilah ngaturi (menghaturkan), kupat (ngaku lepat, mengakui kesalahan), lepet (lega petungane, tak ada lagi ganjalan untuk bercengkerama).

Ketupat simbol kafah yang dalam bahasa Arab berarti sempurna, sementara lepet berasal dari bahasa Jawa yang artinya kesalahan. Ngaturi kupat lepet bermakna pula kebersihan hati setelah puasa semakin sempurna dengan mengakui kesalahan dan saling bermaafan. Selanjutnya mereka bisa melanjutkan pergaulan sehari-hari dengan perasaan lepas tanpa dibebani rasa bersalah.

Kupatan merupakan hari istimewa sehingga harus dirayakan spesial. Ketupat pun dipadu opor ayam atau gulai kambing karena demi merayakan hari raya serta menghormati tetamu dan saudara.

”Sekarang warga bisa memakan opor ayam atau gulai kambing setiap hari. Namun, zaman dahulu masakan itu benar-benar terasa istimewa,” kata Kris Aji. Tradisi diperkuat oleh santri Kiai Baka, seperti Kiai Zubair dan Salim Khatim Zamhari.

-

Arsip Blog

Recent Posts