BOGOR – Ibarat dua sisi mata uang, dunia wisata pun memiliki sisi gelap. Apalagi kalau bukan praktik prostitusi, Narkoba, dan peredaran minuman keras ilegal.
Nah, bicara ”bisnis lendir”, ada fenomena anyar yang kini marak di Kota Hujan. Akibat persaingan ketat, sejumlah pekerja seks komersial (PSK) nekat menjajakan diri secara ”eceran”.
Akhir pekan kemarin, Radar Bogor menelusuri kebenaran kabar terkait PSK eceran tersebut. Tak perlu jauh-jauh ternyata. Hanya beberapa ratus meter saja dari belakang kawasan Plaza Balaikota Bogor.
Di lokasi itu, tepatnya di Jalan Dewi Sartika, Kecamatan Bogor Tengah, sejumlah perempuan yang dimaksud, dapat dengan mudah ditemui.
“Mau main?,” tanya DW, PSK yang baru saja mangkal di kawasan Dewi Sartika, kepada Radar Bogor. Untuk mendapat informasi lebih dalam, pewarta ini pun menyerahkan beberapa lembar rupiah kepada perempuan berambut sebahu itu.
“Bisa Rp300 ribu, untuk sewa kamar beda lagi, ya,” ucapnya.
Wanita asal luar Pulau Jawa itu akhirnya bisa dibawa ke sebuah wisma, di sekitaran Panaragan. Kondisi wisma sudah tak layak ditempati. Namun sepertinya, wisma tersebut menjadi lokasi tetap ”bisnis lendir” kelas bawah di Kota Bogor.
Berada di salah satu kamar, di bagian sudut wisma, wartawan ini mulai mengorek keterangan dari sang kupu-kupu malam. DW membenarkan adanya praktik prostitusi eceran.
Menurutnya, yang dimaksud eceran dalam hal ini adalah layanan seks bagi si pelanggan. Pilihannya, seks keseluruhan, oral, dan yang termurah, hanya melakukan hand job.
“Harganya beda-beda. Yang paling murah, ya, yang pakai tangan doang,” ucapnya.
Penuturan DW selanjutnya sempat mengejutkan pewarta ini. Menurut DW, pelanggan untuk layanan eceran termurah (hand job), kebanyakan dari kalangan pelajar SMP.
“Tapi kalau aku nggak. Itu nggak termasuk tongkrongan aku. Mintanya tetap full, mau main atau nggak,” akunya.
Namun DW mengakui, pelanggannya banyak dari kalangan mahasiswa. Meski masih di bawah umur, menurutnya, untuk urusan ‘bercinta’ mereka sudah seperti orang dewasa. Tak ada kecanggungan bagi DW, asalkan ada pemasukan.
Di ujung percakapan, DW sempat meluapkan kekesalannya kepada Satpol PP yang kerap melakukan razia. Dia juga mengaku kapok beroperasi di wisma-wisma lain, karena kerap menjadi target Satpol PP.
“Saya sempat jatuh pas ada razia. Sekarang itu Satpol PP nyamar nggak pakai seragam tapi pakai mobil pribadi, banyak yang kejebak,” ujarnya.
Untuk penghasilan, DW pun terbuka. Selama satu bulan, dia dapat mengantongi lebih dari Rp5 juta. Bahkan DW bisa memiliki tiga kendaraan bermotor yang kerap disewakannya.
“Motor ada tiga, satu sudah lunas. Cicilannya Rp1.600.000, satu lagi Rp600 ribu,” ujar mantan TKW itu, menutup obrolan.
Dikonfirmasi terpisah, Kabid Gakperda Satpol PP Kota Bogor, Lili Sutarwili mengaku belum mengetahui praktik terbaru prostitusi tersebut.
“Mungkin itu cara mereka, dengan sistem buka eceran untuk mendapatkan pelanggan. Tapi kita tak ambil pusing, jika memang kedapatan maka akan kita tangkap,” ujarnya.
Menurut Lili, meski Satpol PP Kota Bogor kerap melakukan razia, proses pembinaan para PSK berada di Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Bogor. Sehingga menurutnya, harus ada koordinasi dan sinergi seluruh instansi yang terlibat.
“Tujuan menertibkan untuk apa? Mereka bilang (instansi terkait), kalau PSK tidak setuju dibina harus dilepaskan. Sepertinya ada yang misskomunikasi,” tukasnya. (ded/radarbogor)
Sumber: http://jabar.pojoksatu.id