Tanjungpinang, Kepri - Sejarah mencatatnya sebagai Istana Kota Lama. Di sinilah tapak awal kekuasaan Kesultanan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga ditabalkan sebelum akhirnya berpindah-pindah tempat sesuai dinamika sosial-politik pada masa itu. Akan tetapi, masyarakat di sana kurang familier dengan istilah Istana Kota Lama. Mereka lebih mengenalnya dengan sebutan Istana Kota Rebah. Sebutan ini tak lepas dari kondisi terkini bekas istana tersebut. Sebagian besar struktur bangunan yang tersisa sudah rebah ke tanah. Meski sudah sejak lama masyarakat setempat mengetahui keberadaannya, perhatian berbagai pihak sangat kurang. Istilah tidak terawat barangkali masih terlalu bagus untuk menggambarkan kondisi kawasan bekas istana Kesultanan Melayu Riau ini.
Berada di tengah areal kebun penduduk yang tak jelas kategorinya, karena lebih mendekati belukar daripada kebun, bangunan yang tersisa hanya berupa bagian fondasi dan sebagian kecil tembok yang masih berdiri di beberapa titik. Bagian-bagian yang tersisa itu, menurut perkiraan Fitra Arda dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, paling hanya 10 persen dari keseluruhan bekas istana yang menempati areal seluas sekitar 20 hektar.
Dari sisa reruntuhan yang ada, secara umum kondisi sisa bangunan sudah sangat rusak. Hasil studi teknis-arkeologis yang dilakukan BP3 Batusangkar, tahun 2007, hanya bisa memperkirakan ada dua kelompok bangunan di situs ini. Kelompok bangunan pertama yang berada di sebelah selatan ukurannya lebih luas daripada kelompok bangunan kedua di sebelah utara. Bangunan itu sendiri menghadap ke selatan atau ke teluk yang ada di Sungai Carang. ”Arsitektural bangunan ini sudah sulit diidentifikasikan lagi jenisnya,” kata Fitra Arda.
Daerah Baru
Atas perintah Sultan Abdul Jalilsyah (1613-1677) yang bermastutin di Johor, Tanah Semenanjung, Laksamana Tun Abdul Jalil diutus mencari daerah baru sebagai pusat kekuasaan. Didahului semacam survei awal ke berbagai tempat di pulau-pulau yang ada di sekitar Selat Melaka, pada 1673, Tun Abdul Jalil memutuskan membuka daerah baru tersebut untuk dipersiapkan sebagai calon pusat kerajaan. Latar utama pencarian daerah baru didasarkan kenyataan, pada periode itu pusat Kerajaan Melayu di Johor kerap dilanda kekeringan sehingga penduduk sulit mendapatkan air bersih. Menggunakan perahu bernama Lancang Kuning, ekspedisi yang dipimpin Tun Abdul Jalil—dengan juru mudi Malim Dewa—untuk mencari daerah baru itu pun sampai ke Pulau Bintan dan sekitarnya.
Di Sungai Carang mereka menemukan semacam delta, pulau di mulut sungai, yang dinilai cocok untuk permukiman. Lokasi yang ia pilih sedikit masuk Sungai Carang atau di Hulu Riau, tak begitu jauh dari pusat kota Tanjungpinang saat ini, yang sudah dijadikan sebagai ”kota” Bendahara (setara perdana menteri) sejak Kerajaan Melaka masih berjaya. Lokasinya sangat strategis, terutama dari segi pertahanan. Kapal musuh yang datang niscaya akan segera tampak bila menempatkan lokasi penjagaan di Tanjungpinang dan Pulau Penyengat. Akan tetapi, pembukaan negeri baru ini menyusutkan peran Tanjungpinang itu sendiri, yang kemudian hanya menjadi semacam kawasan pendukung. Terlebih lagi sejak pusat kekuasaan Kesultanan Melayu dipindahkan ke sini tahun 1718, pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV.
Kawasan Sungai Carang kiang berkembang sejak Raja Haji Fisabilillah (1777-1784) menjabat Yang Dipertuan Muda IV (setingkat perdana menteri). Pada masa itu ia mendirikan istana baru dengan sebutan Istana Kota Piring di Pulau Biram Dewa. Pasang surut kejayaan masa silam itu bagai mengikuti gerak pasang air laut yang naik-turun. Khawatir mendapat serangan balik Belanda atas kekalahan mereka dari pasukan Tempasok-Kalimantan, pada 1787 sejarah kembali mencatat, pusat Kesultanan Melayu Riau akhirnya dipindahkan ke Daik, Lingga. Gugurnya Raja Haji Fisabilillah sebagai Yang Dipertuan Muda IV ketika memimpin langsung penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Teluk Ketapang, pada 1784, diperkirakan ikut jadi pertimbangan pemindahan pusat pemerintahan ke Daik.
Sejak itu, peran kawasan Istana Kota lama dan Istana Kota Piring mulai redup. Bahkan ketika pusat kekuasaan di Daik dibumihanguskan, dan pusat pemerintahan di akhir ”masa senja” Kesultanan Melayu Riau kembali ke kawasan Pulau Bintan dan sekitarnya, lokasi yang dipilih tidak di bekas Istana Kota Lama, melainkan ke Pulau Penyengat. Boleh jadi, menjelang abad ke-19 itu Istana Kota Lama sudah hancur. ”Sesungguhnya sejarah keberadaan `Kota Rebah` belum banyak terungkap karena memang masih minimnya penelitian yang dilakukan,” kata Fitra Arda.
Tak Terawat
Begitulah sejarah dituliskan. Kini kawasan bekas Istana Kota Lama, atau lebih dikenal warga di sana sebagai Istana Kota Rebah, tak lebih berupa sisa-sisa bangunan yang tak terawat. Pohon ara menjulang di tengah-tengah bekas struktur sisa bangunan tembok setinggi sekitar tiga meter, terbuat dari krekel bauksit dicampur semen. Beberapa bagian tembok yang tersisa itu pun miring tak beraturan, bahkan ada yang rebah karena fondasinya terangkat akar pohon ara yang kini ”menaungi” sisa-sisa bangunan istana.
Gambaran kebesaran dan kemegahannya hanya ada dalam catatan sejarah. Tak ada lagi tanda-tanda balairung tempat penerimaan tamu, pendopo, tamansari, ataupun ruang peraduan sultan dan permaisurinya. Sisa fondasi bangunan di salah satu sisi yang mencapai 400 meter, dengan lebar fondasi 40-50 cm, hanya gambaran kasar luas salah satu bangunan di kelompok bangunan bagian selatan.
Kini, setelah puluhan tahun dibiarkan merana, Pemerintah Kota Tanjungpinang berniat menjadikan salah satu tapak sejarah masa silam kebesaran Kesultanan Melayu Riau ini sebagai bagian dari kawasan wisata hutan bakau. Bahkan, dari gambar situasi tapak kawasan, terlihat bahwa lokasi bekas Istana Kota Rebah berada pada titik sentral pengembangan wisata hutan bakau yang ada di sekitarnya.
”Dalam rencana Pemerintah Kota Tanjungpinang, situs ini akan menjadi obyek wisata baru bersamaan `pembuatan` obyek wisata hutan bakau. Memang baru tujuh hektar yang sudah dibebaskan, tetapi ada rencana merekonstruksi bekas bangunan istana, yang ditargetkan bisa selesai tahun 2012,” kata Abdul Kadir Ibrahim, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang. Studi awal dari aspek teknis-arkeologis memang sudah dilakukan oleh BP3 Batusangkar. Proses pemintakan (zoning) terhadap situs Kota Rebah pun sudah dibuat, dibagi dalam tiga kawasan: inti, penyangga, pengembangan. Masing-masing memiliki peran dan fungsi yang bersifat saling melengkapi, terutama dari aspek pelestarian kawasan situs sebagai benda cagar budaya.
”Kawasan inti hanya untuk konservasi. Sesuai prinsip dasar pelestarian, tidak boleh ada bangunan baru. Kalau memungkinkan, hanya berupa jalan setapak. Itu pun harus diselaraskan dengan kondisi artefak. Penanaman pohon atau bunga-bungaan juga harus melalui kajian khusus agar tidak mengganggu struktur konservasi arkeologi,” tutur Fitra Arda mengingatkan. Rencana sudah dibuat. Rambu-rambu pun sudah dipasang. Akankah kepentingan ekonomi lewat program kepariwisataan bisa jalan seiring dengan napas dan kepentingan pelestarian benda cagar budaya di bekas Istana Kota Lama alias Istana Kota Rebah? Waktulah yang akan menjawabnya. (eln/ken)
Sumber: http://koran.kompas.com