Kekuatan tari Gaya Yogyakarta dan Surakarta menjadi perpaduan yang sangat apik dalam pergelaran Tari Jawa Klasik karya Retno Maruti berjudul Savitri di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (23/11). Pergelaran tari ini dipersembahkan Sanggar Tari Jawa Padnecwara pimpinan Retno Maruti bersama Kantor Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk MDGs. Selain itu, juga ditampilkan di Teater Besar ISI Surakarta, Jumat (25/11).
Melalui pergelaran tari Savitri, Retno Maruti berhasil mempertemukan kekuatan dua gaya tari ini. Hingga keduanya tidak saling bertentangan, tapi menguatkan. Retno juga mengaku bahwa dalam setiap karya yang ia buat, bisa dipentaskan dengan bentuk sama atau berbeda dengan berbagai perubahan di dalamnya.
“Tari ini pernah dipentaskan pada tahun 70-an, tapi dengan konsep berbeda. Dulu, ditampilkan dengan 9 penari bedaya. Sedangkan pada pementasan kali ini ada 18 penari, dengan 9 penari putri yang mengambil bentuk tari bedaya Gaya Surakarta. Sedangkan 9 penari kakung mengambil bentuk tari Gaya Yogya, khususnya dari tari Lawung Guntur Segara dan Lawung Ageng. Gending dan tembangnya juga dibuat baru. Tembang lebih pada ungkapan kalimat yang ditembangkan,” jelas Retno.
Cerita dalam pergelaran tari ini, lanjutnya, akan selalu relevan dengan kondisi sekarang karena menceritakan ketangguhan dan kekuatan tekad dan cinta dari Savitri kepada suaminya, Satyawan. Namun, cinta itu tidak hanya terpaku pada cinta terhadap suami tapi mengarah pada kecintaan terhadap negara.
“Savitri memiliki makna dalam kelembutan perempuan, ada kecerdikan dan kemampuan bernegosiasi untuk mempertahankan cintanya. Menarikan karya ini membuat saya seperti ikut ujian, karena tidak boleh salah dalam pengucapan saat nembang. Selain itu, semoga tari ini juga bisa lebih diapresiasi anak muda dan memicu perkembangan tari yang lainnya,” jelas salah satu penari Nungki Kusumastuti.
Di usianya yang ke-35, Padnecwara merasa terpanggil untuk mempersembahkan proses dan hasil karyanya di berbagai kota. (M-2)-m
Sumber: http://www.kr.co.id