Alat musik ini mirip seruling, terbuat dari bambu. Bedanya, seruling ini memiliki dua tabung. Kedua tabung itu disambungkan sedemikian rupa sehingga embusan angin dari sang peniup bisa terbagi ke dua tabung tersebut. Alat musik itu disebut Foy doa.
Tim Ekspedisi Jejak Peradaban Nusa Tenggara Timur menemukan alat musik itu ketika bergerak ke Kabupaten Ngada, Pulau Flores, NTT. Kabupaten ini terletak di barat Ende. Kawasan ini ditempuh sekitar tiga jam perjalanan darat dengan mobil.
Di Kabupaten Ngada terdapat banyak jenis alat musik etnik bambu yang unik. Ada Bhiru lilu, misalnya, seruling sepanjang 15 sentimeter (cm) yang memiliki dua lubang sekitar 0,5 cm di tengah-tengahnya.
Satu lubang berfungsi untuk meniupkan udara, sedangkan satu lubang lagi yang berdiameter lebih kecil mampu melahirkan nada kres. Sementara bagian kiri-kanannya menjadi tangga nada. Ada juga alat musik Teko reko, semacam kulintang yang memiliki tujuh tangga nada.
Nada pentatonik itu agaknya ”turunan” alat musik tradisional Gong Gendang, yang didominasi gong kecil (mirip gambang keromong, alat musik Betawi), dengan tangga nada wela (sol), uto-uto (fa), duru/dere (mi), dan doga (nada do dan re).
Sayangnya, alat musik etnik tersebut nyaris punah. Di Ngada sudah tidak banyak lagi orang yang bisa memainkan alat musik itu, apalagi membuatnya. Tinggal Daniel Watu, pria berusia 62 tahun yang tinggal di Kampung Woloroa, Desa Sarasedu, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, yang masih setia dan gigih menekuni alat musik etnik tersebut.
Belum ada orang yang mau mengikuti jejak musisi tua itu untuk memelihara dan menyelamatkan musik bambu Ngada dari kepunahan.
Warisan
Bisa dikatakan, Daniel adalah satu-satunya sosok yang memiliki keterampilan paripurna dan sangat mencintai alat musik tradisi Ngada itu. Dia belajar musik bambu itu dari ibunya, Elisabeth Baba (85).
Saking cintanya kepada sang bunda dan musik bambu, Daniel bercerita, dahulu dia sampai sering membolos dari sekolah. ”Saya kemudian bertemu kepala sekolah, saya minta berhenti,” kata Daniel mengenang.
Dia kemudian mengisi hari-harinya dengan bertani, juga memainkan Foy doa dan mencipta lagu. Banyak lagu berhasil dia ciptakan dari keakrabannya memainkan musik bambu.
”Kalau tidak salah, sekitar 30 lagu yang saya ciptakan,” kata Daniel seraya membolak-balik lembaran buku lusuh berisi dokumentasi lagu-lagu karyanya.
Lagu-lagu ciptaan Daniel kebanyakan bertema rohani, ajaran cinta kasih, atau tentang keseharian kehidupan petani peladang yang merupakan mata pencarian umumnya penduduk di Ngada.
Lagu berjudul ”Wula kasu da te’a” (Saat Padi Menguning), misalnya, berkisah tentang keriangan para petani yang terbebas dari pekerjaan di ladang untuk sementara waktu sebelum kembali disibukkan dengan musim petik padi.
Lagu dia lainnya, ”Manu Naru” (Ayam Betina), mengisahkan seekor ayam betina yang dipinang ayam jantan dan induk ayam yang mengajak anak-anaknya untuk mengais-kais makanan.
Bersama rekannya bermain seruling, Johanes Wawo, lahir lagu ”Tuga Mori Rua” (Dua Anak Cukup) yang merupakan lagu pesanan dari pemerintah agar suami-istri mau mengatur jumlah kelahiran anaknya guna mengatasi ledakan jumlah penduduk. Mengandalkan perasaan
Pengembangan keterampilan membuat alat musik bambu diperoleh Daniel secara otodidak. Pria yang putus sekolah saat kelas I SMP ini bercerita, ia lebih mengandalkan perasaan saat menyelaraskan nada pada alat musik yang dibuatnya.
Setelah itu, dia baru mengecek kemampuan alat musik tersebut dengan membawanya ke paroki terdekat, menggunakan alat musik organ. Ternyata, 99 persen alat musik bambu karyanya memenuhi standar nada.
Bahan bambu alat musik buatan Daniel selalu diambil saat ”gelap bulan” pada musim kemarau atau dua minggu sebelum bulan purnama. Alasannya, ketika ”gelap bulan”, batang bambu bersih dari serbuk dan kutu kayu. Kondisi ini membuat bambu tahan lama. Bambu yang digunakan untuk membuat seruling adalah bambu pilihan, yaitu bambu betho (petung) berusia matang—sekitar dua tahun.
Dari pengalaman mengutak-atik bambu, Daniel berhasil mendesain seruling yang masing-masing memiliki nada tersendiri: B, G, A, Ais (Bes), B, C, dan D. Pada 2009, satu set (enam unit) alat musik bambu karyanya dibeli seorang pastor asal Manggarai, Flores, seharga Rp 3,5 juta.
Sebagian alat musik buatan Daniel dia simpan sendiri dan dipakai untuk berlatih bersama kelompoknya yang tergabung dalam Sanggar Persada. Latihan itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan mengisi acara pesta perkawinan, ritual potong gigi bagi gadis yang memasuki masa akil balik, serta syukuran setelah seseorang ditahbiskan sebagai imam dalam agama Katolik.
Sayang, karena kurang terawat, kondisi koleksi alat musik itu banyak yang dimakan kutu kayu.
Bercerita tentang bahan baku bambu untuk membuat seruling, Daniel tak pernah kesulitan mendapatkannya. Bambu tumbuh di sejumlah lokasi sekitar hutan kampung itu. Rumpun bambu setiap hari dia lewati saat pergi-pulang dari rumah ke kebun. ”Nenek moyang masih banyak punya (bambu),” katanya.
Kerisauan justru muncul karena ia belum tahu bagaimana bisa mewariskan keahliannya itu kepada generasi muda. Tak seorang pun dari anak-anaknya yang mau meneruskan keterampilannya itu. Padahal, menurut Daniel, mereka relatif sudah mahir memainkan seruling karena diajari sejak berusia dini.
”Setelah saya tidak ada, saya tak tahu nasib kesenian ini nanti,” katanya galau.
Sumber: kompas.com