Gurita Korupsi dalam Sebuah Novel

Oleh: Muhammadun*

Judul buku : Korupsi
Penulis : Tahar Ben Jelloun
Penerbit : Serambi Jakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : 233 halaman

Gurita korupsi menjadi persoalan paling krusial Indonesia memasuki abad ke-21. Bukan saja korupsi terhadap uang, jabatan, dan kekuasaan, tetapi juga sampai para korupsi agama dan hati nurani. Korupsi tak lagi bersifat struktural, tetapi sudah bersifat endemik, mengakar kuat dalam hati nurani terdalam. Sifat endemik inilah yang kemudian melahirkan berbagai macam perkataan dan perbuatan manusia bersifat paradoksal, saling tidak pernah sesuai, dan terus menebarkan virus negatif yang memetis. Mereka yang tadinya bersih dan lugu, ketika masuk birokrasi kekuasaan, tak bisa lari dari gurita korupsi yang sudah endemik tadi. Sedikit sekali yang berani melawan, dan kisah para pejuang anti korupsi selalu runtuh di tengah jalan. Sifat endemik korupsi selalu memakam secara memetis yang melawannya.

Kritik untuk melawan korupsi yang endemik seringkali dilancarkan dalam berbagai buku yang beraneka ragam, tetapi sedikit sekali dalam sebuah karya fiksi yang secara “blak-blakan” menggugat gurita korupsi. Di Indonesia, sosok Pramoedya Ananta Toer menjadi yang sangat “garang” melawan ketidakdilan korupsi lewat novelnya bertajuk “korupsi”. Novel yang terbit tahun 1954 itu ditulis Pram di Belanda saat menedapatkan beasiswa kebudayaan untuk tinggal setahun di sana. Novel “korupsi” Bung Pram ini mengkritik wajah koruptif manusia Indonesia yang terus mengabadikan korupsinya dalam jejak berkehidupan.

Tahun 1994, 40 tahun kemudian, seorang berkebangsaan Maroko yang kemudian tinggal di Prancis, Tahar Ben Jelloun, menerbitkan karya yang seirama dengan Pram untuk mengisahkan gurita korupsinya yang menimpa negaranya, Maroko. Novel Tahar tersebut bertajuk L’Homme rompu (lelaki yang patah) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul “korupsi”, ya novel ini. Tahar sendiri mengakui bahwa karyanya ini diilhami oleh karya Pram berjudul “korupsi” yang pernah ia temukan saat ia melayat ke Indonesia. Tahar ingin sekali bertemu dengan Pram waktu itu, tetapi demi “kebaikan Pram sendiri”, Tahar mengurungkan niatnya menemui Pram yang waktu itu mendera di penjara karena dianggap menjadi pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tahar memang mengagumi sosok Pram, sehingga novel ini juga dipersembahkan kepada Pram. Tahar juga menyerahkan sebagian royalti novelnya kepada Pram. Sebuah bentuk penghargaan dan penghormatan seorang Tahar yang merasa Pram memberikan “jasa besar” lahirnya novel yang ditulisnya tersebut. Baik novel Pram dan Tahar memang berkisah ihwal gurita korupsi, tetapi setting tulisan keduanya yang berbeda. Pram jelas mengkritik bangsanya sendiri yang masih disandera korupsi, sementara Tahar mengkritik negara, Maroko, yang kelihatannya indah, tetapi ternyata juga menyimpan bara korupsi yang sangat berbahaya.

Dalam novel ini, Tahar mengisahkan sosok bernama Murad, seorang insinyur yang bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum di Casablanda, Maroko. Murad sebenarnya sosok yang teguh, jujur dan disiplin dalam kerjanya. Jalan hidup yang dilalui penuh dengan kebajikan dan kebaikan. Tetapi pengalaman hidupnya yang penuh kebaikan tidaklah cukup buat dia untuk terjun dalam sebuah birokrasi negara. Terbukti, saat kondisi ekonomi Maroko makin semprawut, sementara istrinya bukannya menjadi pendamping yang setia dengan perjuangan suaminya, tetapi istri yang mata duitan yang mudah goyah dengan godaan uang dan perhiasan, Murad semakin kehilangan eksistensi dalam jalan kerjaannya. Di samping itu, lingkungan kerja Kementerian Pekerjaan Umum yang ada juga penuh dengan tipuan yang melenakan. Tidak semua teman kerja Murad mempunyai jiwa teguh dalam berjuang untuk bangsanya, tetapi sudah terkena imbas nalar koruptif yang inginnya selalu menumpuk kekayaan.

Kondisi demikian inilah yang membuat Murad galau dan kehilangan keseimbangan dalam gerak hidupnya. Terlebih, arus dunia politik dan ekonomi politik yang terkisar dalam pekerjaannya juga sangat berpengaruh dalam menjalankan amanah negara yang diembannya. Setting sosial politik yang mendera Maroko tidak jauh berbeda dengan Indonesia, dimana masyarakatnya juga sedang terjangkiti virus endemik bernama korupsi. Dimana-mana Murad selalu merasa “terkecilkan” karena “lingkungan sosial” yang selalu ia temui hanya melahirkan kegalauan demi kegalauan. Murad sebenarnya berusaha menjadi pahlawan yang berjuang melawan tindak korupsi dalam lingkungan pekerjaannya, tetapi kekuatan yang dimiliki Murad tidak cukup untuk membentengi gerakannya.

Murad akhirnya terjebak dalam berbagai kebingungan hidup dalam negeri koruptif. Istrinya yang semakin menggila dengan harta dan perhiasan juga membuat Murad terlibat dalam kisah cinta dengan sepupu jauhnya, Nadia, seorang janda cantik yang masih mengusik hati Murad. Kisah cinta Murad yang mendua ini membuat jalan hidup Murad semakin teralienasi dari otentisitasnya sendiri, sehingga ia kehilangan pegangan dalam berjuang hidup di negeri yang penuh dengan tipuan.

Penulis memberikan beragam corak warna korupsi yang banyak terjadi di Maroko, tak lain untuk memberikan gambaran yang semakin jelas bahwa wajah koruptif telah “memaksa” rakyat Maroko dalam jurang kehancuran yang nista. Tahar ingin mengingatkan bangsanya lewat novel ini, sehingga bangsanya bisa kembali merengkuh kesejahteraan dan kebahagiaan. Novel ini bukan saja mengkritik pribadi kita, tetapi juga kepribadian bangsa kita yang telah kita rusak akar-akarnya yang telah dibangun para sesepuh bangsa. Baik Pram atau Tahar ingin menjadikan korupsi sebagai musuh bersama (common enemy) yang diperjuangkan bersama dengan kesungguhan, kejujuran dan keikhlasan.

*Pustakawan

-

Arsip Blog

Recent Posts