Oleh Ecep Heryadi*
Judul Buku : China’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat China
Penulis : John & Doris Naisbitt
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : I, Juli 2010
Tebal : 282 halaman
Tahun 1982, bagi mereka yang pernah membaca Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives yang ditulis suami-isteri Jhon Naisbitt dan Doris Naisbitt, tentu akan senantiasa menantikan buku-buku berikutnya oleh duo penulis kenamaan AS dan pakar tentang China itu. Dalam buku laris yang dirilis tahun 1982 itu, duo-Naisbitts mampu menghadirkan sepuluh prediksi (prediction) yang sangat berani. Dan lebih mencengangkan lagi, karena sebagian besar dari prediksinya itu berbuah menjadi kenyataan secara hampir sempurna. Misalnya, “globalisasi” yang pada medio 1980-an awal sampai menjelang 1990-an bukan ide yang mudah difahami mayoritas orang, namun kontur-kontur apa yang kita sebut “globalisasi” itu sudah mampu dipetakan oleh Jhon dan Doris Naisbitt.
Dalam dua dekade terakhir ini, menurut John dan Doris, China merupakan negara yang mampu mengalami perubahan fundamental terkait beragam hal; kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, serta dampaknya yang signifikan bagi pesaing-pesaing utamanya; negara-negara Barat terutama AS.
Dalam urusan ekonomi, China sebagai aktor terkuat di BRIC yang memiliki cadangan devisa sampai 2,5 triliun dollar AS, diprediksi menjadi eksportir terbesar di dunia, mampu memuncaki sektor-sektor potensial semisal keuangan, perdagangan, teknologi informasi, jelas menjadi ancaman utama AS. Selain juga, dalam konteks kekuatan politik, negeri Tirai Bambu yang sosialis-komunis ini sudah mampu digdaya karena memiliki populasi dan jumlah militer sangat signifikan dalam konteks kekuatan global, akhir-akhir ini telah berani melakukan klaim teritorial di Laut China Selatan, serta pemilik hak veto di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).
Sehingga dengan berbagai alasan diatas, sah-sah saja jika kemudian John dan Doris lebih concern dalam mendalami segala pergerakan fundamental-radikal yang dilakukan China. Masih menggunakan teknik serupa dalam best seller book Megatrends, megakarya terbarunya China’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat China diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, diekspektasikan bakal menyamai bahkan melebihi “Megatrends” 1982 sebagai pendahulunya. China’s Megatrends ini terlihat sangat teliti dan komprehensif, sampai-sampai dalam prosesi penulisannya John dan Doris Naisbitt menjelajahi pelosok negeri berpenduduk 1,5 miliar itu, melakukan pelbagai wawancara dengan aneka profesi seperti dengan akademisi, politisi, wartawan, budayawan, pengusaha, sampai pengamat.
Bahkan, lebih dari itu, puluhan staf di lembaga yang didirikannya, Naisbitt China Institute yang office-nya di Provinsi Tianjin, melakukan monitoring terhadap berbagai surat kabar nasional dan lokal untuk melakukan identify serta mapping beragam perspektif serta power yang menjadi backbone reformasi ekonomi-politik China. Riset berkala dan ketat itu mampu menghasilkan kesimpulan bahwa bukan hanya mengalami perubahan fundamental—sebagaimana terlingkup diatas—saja, melainkan jauh lebih penting mampu mengkreasikan apa yang disebut banyak ahli sebagai “demokrasi vertikal” sebagai penentang demokrasi liberal ala Barat.
Banyak hal yang diungkap penulis dalam buku terbarunya ini, semisal, membongkar habis “secret” yang telah dilakukan para pemimpin China dan apa saja yang sedang dan akan terus dilakukan oleh China dalam menghadapi peta persaingan globalisasi dimana mereka—bersama BRIC lainnya—telah menjadi pusat perhatian dunia karena pertumbuhan ekonominya yang melonjak signifikan.
Buku ini, laiknya buku “Megatrends” sebelumnya, menjadi menarik karena selalu berupaya melakukan “ramalan-ramalan” masa depan China terkait lanskap budaya dan politik di China. Instrumentasi yang digunakannya yakni identifikasi terhadap indikasi-indikasi akan lanskap yang menjadi modal penting bagi China. Sehingga, menurut duo-Naisbitts tersebut, negara-negara manapun harus memahami lanskap komponen tersebut jika ingin membangun hubungan produktif dengan pemerintah China.
China secara keseluruhan dikenal sebagai negara yang berorientasi pada hasil dari reformasi ekonomi dan politik, bukan pada cara dan bingkainya. Dengan brilian, hal ini menjadi pembahasan diawal bab buku ini bahwa para pendukung reformasi China tersebut lebih menekankan pada tujuan-tujuan substansial masyarakatnya seperti kemakmuran dan kesejahteraan sebagai salah satu pilar pentingnya, dengan kurang memperhatikan pada aspek lainnya, pada demokrasi (ala Barat) misalnya. Itulah, mungkin yang menjadi penyebab mengapa China belum juga tertarik mengimplementasikan demokratisasi di negaranya sebagaimana didesakkan oleh mayoritas negara-negara di dunia.
Lantas, apa yang disebut 8 pilar masyarakat baru sebagaimana menjadi judul buku ini? Yakni “emansipasi pikiran”, “membingkai hutan dan membiarkan pohon tumbuh”, “menyeimbangkan top-down dan bottom-up”, “menyeberangi sungai dengan merasakan batu”, “bergabung dengan dunia”, “kebebasan dan keadilan”, “antusiasme artistik dan intelektual”, dan “dari medali Olimpiade menuju hadiah Nobel”. Kedelapan pilar itulah yang berusaha dielaborasi dan diimplementasikan oleh pemerintah China untuk menguasai dunia dan menjadi pesaing utama Barat.
Lebih jauh dielaborasi, bahwa identifikasi Naisbitts tentang “Barat” yang condong individualistis dengan “Timur” yang sosialis. Sehingga itulah mengapa China selalu berupaya mendengungkan kekuatan—dalam berbagai hal—dalam negerinya sendiri dan meminimalkan bantuan asing yang bisa mencengkeram kepentingan nasionalnya. Di China, kepentingan ekonomi menjadi “panglima” dibandingkan politik, karena para pemimpinnya berasumsi bahwa keberhasilan di bidang ekonomi akan melegitimasi kekuasaannya yang ‘tak dipedulikan’ mayoritas bangsa China.
Bagi Indonesia yang berdekatan dengan China secara geografis—dibandingkan AS—tak berlebihan jika mencoba mengintip apa yang dilakukan China dalam membangun imperium kekuatan ekonomi-politiknya untuk menghadapi aras globalisasi yang sarat dengan persaingan. Maka, membaca buku ini, terlepas dari lebih dan kurangnya, bisa menjadi solusi dalam menemukan kiat-kiat China menghadapi kedinamisan dunia, kini.
* Penulis analis politik UIN Jakarta.
Sumber: http://oase.kompas.com