Muslim-Buddhis Merajut Indonesia

Oleh Geger Riyanto Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia

Judul: Berpeluh Berselaras: Buddhis-Muslim Meniti Harmoni
Penulis: Zaenal Abidin Ekoputro dkk.
Penerbit: Kepik Ungu
Jumlah halaman: 256 hal
Waktu terbit: Januari 2011
Harga: Rp 55.000

Apakah yang terbayang ketika kita menyinggung wacana hubungan antar agama di Indonesia? Konflik? Kecamuk? Kekerasan? Carilah berita-berita dengan topik tersebut di media massa, maka kita akan menemukan wajah para penganut agama yang jauh dari sejuk—jauh dari ajaran-ajaran agama itu sendiri.

Nah, lewat buku Berpeluh Berselaras: Buddhis-Muslim Meniti Harmoni, tim riset Zaenal Abidin dkk. berusaha mengetengahkan sisi lain hubungan antar agama yang akan mencengangkan mereka yang membayangkan Indonesia dari tayangan-tayangan media massa. Pengantar Zaenal Abidin dan Audriane F. Sani yang membuka buku ini langsung menggambarkan suasana Dusun Barakan di Malang, di mana warga-warga dengan agama yang berbeda tinggal berdempetan, tak mempersoalkan perbedaan.

Tentu saja, sejumlah wilayah pedesaan di Jawa yang menjadi subyek penelitian ini tidak begitu saja, plek, terbentuk sebagai wilayah yang damai. Niat untuk mengupas hubungan di antara Muslim dengan Buddhis—yang tidak lazim diteliti banyak orang—menggiring para penulis untuk pertama-tama merunut sejarah Buddhisme di Jawa yang pada kenyataannya dilatari oleh pertikaian kental antar aliran.

Ulasan para penulis akan membawa kita ke periode pertengahan 60an, yang mana kita mengenalnya sebagai episode vivere pericoloso bagi Indonesia; the years living dangerously! Persaingan tajam di antara golongan-golongan politik merangsek hingga ke serat-serat kehidupan terkecil, menjadikan suasana di negeri ini amat mencekam dan tegang.

Sejarah Buddhisme di Indonesia secara umum dimulai setelah tragedi 1965. Pada saat yang sama dengan dimulainya upaya sistematik menyingkirkan komunisme, jutaan warga Indonesia mulai memeluk identitas agama yang formal agar tidak dicurigai sebagai simpatisan gerakan kiri yang dianggap memusuhi beragama. Di daerah-daerah yang diteliti dalam buku ini, para penganut Buddhisme mengakui bahwa mereka awalnya para anggota PNI yang tidak diterima oleh kelompok Islam; mereka ingat betul penolakan getir yang mereka alami, banteng masuk masjid hanya akan meninggalakan kotoran.

Di sejumlah daerah, PNI lantas mengirimkan utusannya untuk mempelajari agama Buddha—salah satu dari lima agama yang sah menurut pemerintah. Inilah awal terbentuknya komunitas-komunitas Buddhis di Jawa. Politis, memang. Tetapi, dalam perjalanannya, komunitas Buddhis menjalin hubungan yang baik dengan kelompok Muslim.

Petinggi agama Buddha, di satu daerah, memiliki banyak anak yang beragama Muslim dan sama sekali tidak mempermasalahkannya. Dalam perayaan di desa-desa Jawa, daging sapi kerap menjadi hidangan lezat untuk menyempurnakan kemeriahan. Ketika seorang Buddhis mengadakan perayaan, sementara mereka dilarang menyembelih binatang, maka umat Muslim akan datang membantu.

Sayang, setelah menemukan jejak-jejak sejarah kemunculan Buddhisme, buku ini langsung mengulas harmonisme di antara Muslim-Buddhis. Periode pasca 60an, atau Orde Baru, atau sejarah bagaimana hubungan selaras itu dibangun ditinggalkan kosong. Tetapi sebagai sebuah riset/buku rintisan tentang hubungan antar umat Muslim dengan Buddhis, kita tentu perlu mengapresiasi keberaniannya meneroka ruang yang masih melompong dalam khazanah pengetahuan kita.

-

Arsip Blog

Recent Posts