Oleh Munawir Aziz
Manusia Jawa kini terasing di rumahnya sendiri. Ingatan orang Jawa (wong Jawa) tentang rumah memberi energi dan tafsir multidimensi akan asal kehidupan.
Rumah memberi arti sosiologis dan religius dalam kehidupan wong Jawa. Batasan-batasan dalam rumah dijebol agar keakraban menyapa kehidupan di luar diri. Hubungan dengan tetangga ada dalam filosofi rumah Jawa. Membaca manusia Jawa adalah membaca rumah dalam telaah panjang.
Rumah manusia Jawa tak terelak dari silang budaya dalam historiografi Jawa. Sebagaimana pakaian, rumah Jawa hadir dengan model akulturasi dari berbagai peradaban agung, ketika Jawa menjadi simpul transportasi dagang dan kuasa.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia (2008: 34) menulis, ”Jawa persimpangan kuasa, yang berhubungan dengan Gujarat maupun Indochina. Salah satu fakta terpenting dari periode itu adalah munculnya Jawa sebagai kekuatan laut yang besar. Sampai saat itu, ’She po’ dari sumber- sumber di China masih mengacu pada Pulau Jawa. Marcopolo menamai Jawa sebagai ’Java Major’, Ibnu Batutta menamakan Muljawa (Jawa yang asasi)”. Riset Lombard jadi fakta dan kesaksian soal Jawa lintas batas. Silang budaya dalam historiografi Jawa juga menentukan struktur dan imajinasi manusia Jawa akan rumah sebagai hunian.
Imajinasi rumah
Rumah wong Jawa berbentuk limasan dengan pendapa. Di pendapa, ritus komunikasi manusia Jawa terjalin dinamis dan egaliter. Pendapa jadi ruang pertemuan yang akrab dan komunikatif: membahas masalah dan rencana strategis. Pendapa jadi ruang tamu: nguwongke wong (memanusiakan manusia).
Selain pendapa, ruang rumah Jawa dibagi longgar, tetapi sadar fungsi: gandhok, omah jero, longkang, senthong, dan pawon.
Struktur rumah Jawa bersandar pada lima entitas: panggung pe, kampung, limasan, joglo, dan tajug. Ruang-ruang dalam imajinasi rumah Jawa punya fungsi dan makna hidup. Rumah peninggalan Sosrokartono di Kaliputu, Kudus, misalnya, memberi imajinasi lintas batas memaknai ruang. Kamar Sosrokartono tak hanya ruang menstabilkan energi fisik, tetapi juga kekuatan spiritual. Kamar itu bersimbol ”alif”, tanda filosofis yang menyimpulkan ajaran Sosrokartono. Kamar punya fungsi ruang semedi untuk kekuatan spiritual dan refleksi diri.
Senthong bermakna penghubung publik dan privat: jembatan kepentingan luar dan keintiman keluarga. Pawon (dapur) punya fungsi integral. Penghormatan pada perempuan adalah menghormati pawon sebagai wilayah kuasa perempuan Jawa. Di sana perempuan Jawa bebas berkreasi dan mengendalikan nafsu makan keluarga.
Rumah, dalam imajinasi manusia Jawa hadir dalam imajinasi dan diskursus eksistensi serta kenyamanan. Revianto Budi Santoso (2009) menyebut, ”Omah adalah nucleus yang akan membentuk ranah domestik yang lebih luas, yang diikat kedekatan spasial, jejaring aktivitas dan pemahaman makna bersama”. Rumah jadi kode yang menghadirkan tafsir semiotik tentang identitas diri.
Rumah yang hilang
Sekarang, rumah manusia Jawa kian hilang fungsi. Bertahan sebagai cagar budaya tiap kota untuk simbol pariwisata, tetapi dangkal secara substansi.
Manusia Jawa kehilangan rumah dalam fungsi fisik dan substansial: wong Jawa ilang omahe. Bagaimana nasib rumah Jawa sebagai identitas kultural? Bagaimana efek kehidupan manusia Jawa setelah rumah dihadirkan sebagai onggokan material yang kehilangan fungsi?
Wong Jawa tak akan kehilangan rumah saat punya kesadaran ruang dan substansi hunian. Rumah Jawa diburu dengan dalih menghadirkan pertanyaan, kenangan, dan kesaksian.
Munawir Aziz Esais dan Peneliti, Lahir di Pati, Jawa Tengah
Sumber: kompas.com