Tidak kurang dari 100 kerbau dan 50 babi dipersembahkan dalam acara Rambu Solo’ di Kecamatan Balusu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Senin (27/12). Esoknya, ritual Rambu Tuka’ di Kecamatan Tallunglipu mempersembahkan 70 babi dan seekor kerbau. Esensi kedua ritual itu kontras, tetapi sama-sama menghimpun warga Toraja di tongkonan dalam suasana guyub.
Pagi itu jenazah Hendry Puang Balusu diletakkan di bagian atas Tongkonan Kollo-Kollo. Sarat dengan ornamen berwarna hitam dan merah yang lazim digunakan pada upacara Rambu Solo’, para kerabat dari beberapa daerah menghadiri pemakaman Hendry. Hari raya Natal dan Tahun Baru pun jadi momentum keluarga yang merantau untuk mudik ke Toraja, 328 kilometer (km) utara Kota Makassar.
James Linggi (41), seorang kerabat Hendry, rela berdiri berpenat-penat di dalam bak truk yang disewa rombongan keluarganya dari Palopo, sekitar 50 km dari Rantepao, ibu kota Toraja Utara. Ia datang bersama 10 saudaranya dan membawa seekor kerbau untuk disumbangkan.
Lain lagi Marten Samba (44). Kerabat Hendry yang bekerja di Jakarta ini datang bersama istri dan putra-putrinya.
Keesokan harinya, komunalitas serupa terjadi di Tallunglipu, tetangga Kecamatan Balusu. Bedanya, ratusan warga yang berkumpul di Tongkonan Massing ini larut dalam sukacita. Di tengah balutan ornamen putih dan kuning yang lazim dalam upacara Rambu Tuka’ atau syukuran, warga keturunan Ne’ Kaise mengadakan selamatan untuk tongkonan induk.
Oktavianus Paonganan (39), keturunan Ne’ Kaise, menyumbangkan seekor babi, seperti dilakukan setiap keluarga. Seekor babi dihargai Rp 4 juta-Rp 7 juta.
Esensi dari Rambu Tuka’ sesungguhnya bukan sekadar syukuran pernikahan anggota keluarga atau berdirinya tongkonan baru. Warga dari satu rumpun melaksanakan Rambu Tuka’ di tongkonan ketika mereka merasa tali kekerabatan mulai merenggang. Ritual ini biasanya diadakan setiap lima tahun ketika keluarga makin jarang berkumpul karena merantau.
Penjaga nilai
Bagi warga Toraja, tongkonan bukan sekadar pusat pelaksanaan ritual. Tongkonan menjadi penjaga nilai-nilai adat. Warga Toraja bisa saja tersekat-sekat secara administratif pascapemekaran wilayah, yakni Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara tahun 2009. Namun, dalam hal kekerabatan yang disimbolkan melalui tongkonan, mereka tidak tercerai-berai.
Lestarinya tongkonan merupakan hasil inkulturasi antara Aluk Todolo, kepercayaan warisan leluhur, dan ajaran agama Kristen. Menurut antropolog Universitas Hasanuddin, Makassar, Stanislaus Sandarupa, pandangan tentang kehidupan yang berputar yang hingga kini masih dianut dan dipraktikkan orang Toraja sesungguhnya merupakan ajaran Aluk Todolo.
Manusia berasal dari langit, turun ke bumi, dan kembali ke langit setelah melalui transformasi. Bagi penganut Aluk Todolo, kerbau dan babi dipersembahkan sebagai media arwah bertransformasi ke dalam wujud tomembali Puang atau dewa. Persembahan kerbau dan babi juga disimbolkan bekal orang yang sudah meninggal dalam perjalanan menuju puya (surga).
Adapun daging hewan persembahan yang terakumulasi dalam ritual Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ oleh ajaran Kristiani dipandang sebagai aspek sosial. Daging dibagikan kepada sesama dengan semangat cinta kasih. Dengan demikian, lahirlah keseimbangan antara urusan Sang Pencipta dan sesama. Proses perpaduan ini telah berlangsung sejak awal 1900-an ketika Belanda menyiarkan ajaran Kristiani bagi suku pedalaman di Sulawesi, termasuk Toraja dan Mamasa.
Agar ajaran Aluk Todolo dan Kristiani berjalan seiring, dalam setiap acara ritual tampillah Parenge dan Tominaa. Parenge berperan sebagai pengatur tata cara upacara dari sisi adat. Adapun Tominaa mengawal secara moril esensi ritual supaya tetap berpijak pada kemaslahatan sesama.
Sayangnya, tradisi yang luhur tersebut belakangan ini larut pada prestise dan jumlah persembahan. Tidak sedikit keluarga dari kalangan berada menggelar pesta Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ dengan persembahan hewan dalam jumlah tidak terkendali. Dalam upacara Rambu Solo’, misalnya, sebuah keluarga bisa mempersembahkan ratusan kerbau dan babi yang nilainya miliaran rupiah. Seekor kerbau Toraja paling murah Rp 25 juta. Adapun babi dihargai Rp 5 juta-Rp 10 juta per ekor. Menurut tokoh agama, Yoseph Pairunan (66), sebetulnya ajaran Aluk Todolo telah mengatur pelaksanaan Rambu Solo’ secara proporsional. Jumlah kerbau persembahan dibatasi paling banyak 24 ekor. Warga juga dilarang menjual tanah atau berutang untuk mengongkosi Rambu Solo’.
Kosmologi tongkonan
Tongkonan, yang berbentuk rumah panggung dan beratap melengkung, terdiri dari tiga bagian, yakni atas, tengah, dan bawah. Bagian tengah berfungsi sebagai tempat tinggal yang di dalamnya terdapat teras, ruang tamu, ruang tidur, dan dapur. Bagian atas biasanya digunakan sebagai tempat menyimpan jenazah sebelum dimakamkan. Bagian kolong biasanya untuk tempat warga bercengkerama.
Bagi penganut Aluk Todolo, bagian atas, tengah, dan bawah tongkonan bermakna langit, bumi, dan bawah bumi. Langit dipercaya tempat Puang Matua (pencipta) yang berwujud laki-laki. Bumi digambarkan sebagai Datu Baine, saudara perempuan Puang Matua. Inilah yang memunculkan idiomatik tongkonan berjenis kelamin perempuan.
Tongkonan tidak pernah berdiri sendiri. Di depan tongkonan selalu terdapat alang, tongkonan berukuran lebih kecil. Alang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Penganut Aluk Todolo umumnya menyebut alang Londong Nabanua (ayam jantan). Itulah mengapa alang diibaratkan berjenis kelamin laki-laki. ”Jika atap tongkonan dan alang disatukan akan membentuk bulatan, simbol keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos dalam hidup suku Toraja,” kata Stanislaus.
Keselarasan tersebut juga terlihat dari penataan sejumlah kampung di Tana Toraja dan Toraja Utara. Deretan tongkonan dan alang di Kampung Sillanan, Tana Toraja, serta Kete’ Kesu, Toraja Utara, misalnya, dikelilingi hamparan padi menguning.
Kelokan sungai di sela perkampungan membuat persawahan terasering di sekitarnya terairi sepanjang tahun. Konsep itu menambah elok panorama Toraja yang berketinggian 1.500-3.000 meter dari permukaan laut itu.
Sumber: cetak.kompas.com