Jakarta - Ahli antropologi dari Belanda yang sudah melakukan riset di Sumatera Utara selama 30 tahun, Sandra Niessen mengatakan bahwa pada saat ini tradisi tenun Ulos Batak sudah hampir punah karena minimnya jumlah penenun.
"Di masa lalu setiap wanita Batak tahu dan bisa menenun. Dalam masa kini tidak ada penenun lagi di kebanyakan kampung Batak," kata Sandra Niessen kepada wartawan di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak usai melakukan pertemuan dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar, Senin.
Sandra menjelaskan, pada saat ini kebanyakan peraturan asli mengenai tenun sudah tidak diolah lagi dan teknik-teknik serta desain yang paling indah sudah pudar atau hampir punah. "Bahkan sudah bisa dibilang punah, karena pada saat ini sulit menjumpai penenun di kampung-kampung Batak," katanya.
Dia juga menambahkan, kebanyakan generasi muda tidak mau belajar menenun karena menganggapnya sebagai pekerjaan keras dan rumit.
Selain itu, status sosial penenun dianggap rendah atau hanya pekerjaan yang dilakukan oleh orang miskin. "Pendapatan dari tenun dinilai rendah dan pasarnya makin berkurang, selain itu tidak ada kesempatan belajar tenun kalau mereka pergi ke sekolah," katanya.
Dia juga menambahkan, para penenun yang sudah tua pada dasarnya sangat ingin membagi pengetahuannya supaya tradisi tenun bisa diteruskan. "Jika mereka sudah terlalu tua mereka tidak sanggup lagi mengajar," kata Sandra.
Karena itu, melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar , dirinya ingin menyampaikan gagasan revitalisasi tenun Ulos Batak agar bisa tetap dilestarikan.
"Saya rasa tepat bila saya menyampaikan presentasi mengenai revitalisasi tenun Ulos Batak kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar karena ini menyangkut juga pemberdayaan perempuan dimana para penenun hampir seluruhnya adalah wanita," katanya.
Dia menjelaskan, revitalisasi bisa dilakukan dengan cara menumbuhkan kebanggaan atas budaya dan ketrampilan Batak serta pengakuan atas keterampilan dan kapasitas seni.
Selain itu, rasa hormat kepada para pengrajin dan kecukupan biaya hidup serta akses ke pengetahuan tentang tradisi tenun dan pasarnya.
Ditambah lagi pendidikan tentang budaya agar pemuda bersemangat untuk meneruskannya dan adanya kegiatan terintegrasi untuk mendukung revitalisasi kain dari pemangku kepentingan lain.
Sumber: http://oase.kompas.com