Oleh: Joko Susanto
PELANTIKAN pejabat legislatif hasil pemilu 9 April lalu di berbagai daerah telah dimulai. Tak lama lagi, pejabat negara di eksekutif (menteri) pun segera menyusul pada Oktober nanti. Masalah klasik yang dikhawatirkan terjadi—karena memang sering terulang di negeri ini—adalah pemberian fasilitas dinas yang ekstra mewah. Fasilitas yang paling mudah dipelototi publik karena kerap memicu kontroversi adalah mobil dinas.
Kasus terbaru adalah kontroversi pengadaan 50 mobil dinas baru untuk anggota DPRD Surabaya periode 2009-2014. Bahkan, Gubernur Jatim Soekarwo ikut angkat bicara menanggapinya. Meski tidak melarang secara gamblang, pejabat yang akrab dipanggil Pak De itu mengingatkan Pemkot dan DPRD Surabaya agar lebih berorientasi kepada pengurangan kemiskinan. Alasannya, rencana tersebut tidak sesuai dengan program recovery kemiskinan dan bertentangan dengan ketentuan Mendagri (Jawa Pos, 28/8).
Diakui atau tidak, sepanjang sejarah Indonesia, telah berkali-kali muncul wacana dan imbauan agar para pejabat bersikap sederhana, efisien dalam menggunakan anggaran, berperilaku hemat, dan sejenisnya. Namun, hasilnya seakan ''nyaris tak terdengar'' dan semangat itu mudah sekali luntur serta cepat berlalu. Belum ada sistem pengawasan dan evaluasi efektif atas imbauan tersebut sehingga tak berlebihan bila muncul persepsi kampanye itu masih bersifat simbolis belaka.
Peremajaan mobil dinas keluaran terbaru—padahal mobil lama masih bagus dan layak—bukan cerita aneh di negeri ini. Markup berbagai tender dan proyek tidak tepat sasaran pun kisah biasa di berbagai daerah. Yang aneh bila ada pejabat yang menolak jatah mobil dinas mahal dan minta diganti yang kelas biasa-biasa saja.
Makna Sosial
Di negara-negara lain, menurut Oksidelfa Yanto (2008), mobil dinas bagi pejabat terkesan sederhana dan memiliki makna sosial untuk rakyat. Di Thailand, mobil dinas para pejabat berwujud pick-up, dengan maksud para pejabat yang mengendarai mobil dinas bisa menolong masyarakat di jalan yang telah lama menunggu angkutan atau tidak mempunyai ongkos.
Di Kuba, mobil dinas pejabat sekelas menteri adalah keluaran 70-an dan 80-an. Bandingkan dengan di Indonesia, mobil pejabat-pejabat menengah di daerah saja tak sedikit yang baru. Belum lagi disibukkan dengan pro-kontra penggunaan mobil dinas saat hari raya atau liburan lainnya.
Gerakan moral menolak fasilitas mewah bagi pejabat relevan dengan Keppres No 47 Tahun 1992 tentang Pedoman Hidup Sederhana, yang telah dilengkapi Surat Edaran Menpan No 357/M.PAN/12/2001. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah mengeluarkan surat perintah untuk penghematan yang berlaku untuk seluruh kementerian dan lembaga. Namun, ada beberapa kegiatan yang justru tak boleh hemat.
Perintah itu dikeluarkan melalui Surat No. S-1/MK.02/2008 tanggal 2 Januari 2008 perihal Langkah Dasar Penghematan Anggaran. Dalam suratnya kepada menteri dan pimpinan lembaga, Menkeu meminta segera melakukan penyisiran atas kegiatan-kegiatan yang tidak prioritas sehingga alokasi dananya dapat dihemat sampai 15 persen.
Peduli Rakyat
Banyaknya pelantikan pejabat DPRD yang dilakukan bertepatan dengan bulan puasa ini mestinya menjadi momentum istimewa untuk berempati kepada kehidupan rakyat, konstituen yang mengantarkan menuju kursi empuk. Ironis bila momen itu dianggap kebetulan semata.
Penerapan pola hidup sederhana di lingkungan aparatur negara butuh keteladanan. Efisiensi anggaran menjadi taruhan tanggung jawab dan kepekaan terhadap krisis. Tujuannya tentu untuk mewujudkan clean government dan good governance karena inefisiensi akan menimbulkan kecemburuan sosial makin melebar. Dana yang seharusnya dapat digunakan menyejahterakan rakyat tidak sampai sasaran.
Efisiensi anggaran, antara lain, dapat dilakukan dengan cara penghentian pembelian mobil dinas baru. Apalagi bila mobil yang lama masih sangat layak pakai. Fenomena lain yang harus dicermati adalah penggunaan mobil dinas untuk urusan-urusan pribadi. Kabarnya, tidak sedikit mobil DPRD Surabaya yang kembali dalam kondisi rusak dan perlu anggaran perbaikan yang tidak kecil.
Secara teori, perilaku efisien bukanlah hal sulit bagi pejabat kita baik legislatif maupun eksekutif. Kenapa? Bukankah sebagian besar mereka masih ''sederhana'' sebelum menerima jabatan baru itu? Mayoritas caleg DPR 2009-2014 diketahui tidak punya pekerjaan tetap sebelum terpilih. Bila sudah jadi pejabat, kenapa mesti berubah drastis? Tak ada salahnya bagi siapa pun untuk sesekali mengingat asal-usul agar tumbuh rasa syukur, bukan malah ''menari'' di atas luka rakyat.
Apa yang salah bila pejabat baru menggunakan mobil dinas pejabat sebelumnya? Apakah martabatnya akan turun dan tidak dihargai rakyat? Saya kira justru sebaliknya. Pejabat yang saat mencalonkan diri dahulu gembar-gembor prorakyat mestinya terkenang nasib rakyatnya itu.
Tak ada salahnya para pejabat kita baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif belajar dari Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua. Jangankan menerima amplop, makan, minum, dan antar-jemput yang ditawarkan panitia acara pun kerap ditolak. Meski disediakan kendaraan operasional KPK, dia mengaku tidak ingin memakainya untuk kepentingan pribadi. Kini dia kredit mobil. Menurut dia, banyak kasus korupsi yang terjadi karena pembiaran terhadap pemberian hal-hal kecil seperti itu.
Anggota DPRD di banyak daerah telah dilantik. Tak lama lagi, anggota DPR akan dilantik dan kabinet baru akan dipilih. Kita tunggu gebrakan mereka. Berhati-hatikah mereka terhadap ''bola panas'' mobil dinas yang mudah memicu kontroversi? Menolakkah mereka terhadap mobil dinas luks dan fasilitas yang ekstra mewah? Sejarah kelak akan mencatat.
Joko Susanto, alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Jakarta
Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 29 Agustus 2009