Membingkai Pluralisme di Negeri Laskar Pelangi

Oleh Ida Nurcahyani

Bangka Belitung - Mendengar Pulau Bangka Belitung, mungkin gambaran pertama yang terlintas di benak Anda adalah keindahan pantai-pantai perawan nan eksotis, atau hasil timah yang melimpah, atau panen lada putih yang berkualitas super.

Namun, selain keelokan alam dan kemahsyuran sumber daya hayatinya, provinsi muda yang terletak di bagian timur Pulau Sumatra tersebut juga menyimpan keharmonisan tersendiri dalam pluralisme tradisi masyarakatnya.

Provinsi kepulauan dengan total pulau yang telah dinamai berjumlah 470 dan yang berpenghuni hanya sekitar 50 pulau tersebut beribukota di Pangkalpinang, sebuah kota jasa dan perdagangan yang sibuk.

Pangkalpinang terbagi dalam lima kecamatan yaitu Taman Sari, Rangkui, Pangkalbalam, Bukit Intan dan Gerunggang.

Populasi kota berluas wilayah 118,408 km2 tersebut, dibentuk oleh etnis Melayu dan Tionghoa suku Hakka (khek) yang datang dari Provinsi Guangzhou, China.

Suku Khek dulunya adalah para pekerja di tambang timah. Para buruh migran tersebut kemudian berbaur dan menikah dengan penduduk setempat.

Selain etnis Melayu dan Tionghoa juga terdapat sejumlah suku pendatang seperti Batak, Minangkabau, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Banjar, Bugis, Manado, Flores dan Ambon.

Menurut Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Pangkalpinang, Akhmad Elvian, Rabu (18/4), ada empat etnik grup pembentuk masyarakat Bangka, khususnya Pangkalpinang, yaitu orang Laut, orang Darat, orang Melayu, dan orang China.

"Keempat etnis tersebut membentuk budaya di kota ini dan meninggalkan jejak-jejak tradisi yang kental dan bisa dirasakan di seluruh penjuru kota," kata Elvian saat ditemui di kantor Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Pangkalpinang, Rabu.

Elvian melanjutkan, sejak dulu, keempat etnis tersebut hidup berdampingan secara harmonis.

Perkenalkan kemajemukan
Berbagai kegiatan dilakukan oleh Pemerintah Kota Pangkalpinang untuk melestarikan budaya keharmonisan tersebut, salah satunya adalah dengan diadakannya kegiatan Jejak Tradisi Daerah Pangkalpinang.

"Kegiatan Jejak Tradisi Daerah Pangkalpinang dilaksanakan dalam rangka memberikan pengetahuan pada generasi muda mengenai multikulturalisme masyarakat kota Pangkalpinang," kata Elvian.

Kegiatan Jejak Tradisi Daerah Pangkalpinang tersebut diadakan selama empat hari, 16-20 April 2012, dan diikuti oleh 50 peserta pelajar yang berasal dari empat provinsi meliputi Kepulauan Riau, Riau, Jambi dan Bangka Belitung.

Menurut ketua panitia kegiatan dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Pangkalpinang, Sita Rohana, dalam kegiatan tersebut para pelajar telah melakukan kunjungan ke berbagai situs wisata budaya Kota Pangkalpinang.

"Pada Selasa (17/4), rombongan telah berkunjung ke beberapa tempat bernilai tradisi di Kota Pangkalpinang antara lain adalah Kelenteng Kwan Ti Miauw, Perkampungan Cina Bintang, dan berkunjung ke Tokoh Tionghoa untuk mengenal tradisi Barongsai, hari ini kami akan beranjak ke Rumah Residen dan Desa Melayu Tuatunu," kata Sita.

Di Kepulauan Bangka Belitung, khususnya Kota Pangkalpinang, Barongsai biasa dimainkan pada saat upacara dan biasa digelar pada tiap bulan purnama.

Salah seorang Budayawan Tionghoa, Muslim Gojali, Barongsai juga kerap dimainkan pada acara acara khusus masyarakat keturunan Tionghoa seperti peringatan Imlek, Cap Go Meh, Sembahyang Rebut (Ghost Hungry), Sembahyang Kubur (Ceng Beng), Upacara Tolak Bala (Pot Ngin Bun), Peh Cun dan upacara kemasyarakatan lainnya.

"Pada acara keagamaan, biasanya pertunjukan Barongsai diadakan di kelenteng-kelenteng besar Kota Pangkalpinang, seperti Kelenteng Kwan Tie Miau, dan Kelenteng Satya Budi," kata Muslim.

Muslim, telah memimpin kelompok Barongsai Kongshiang sejak tahun 1952.

Halaman rumahnya yang luas di Kampung Pecinan Bintang telah disulap menjadi arena latihan bagi pemuda sekitar lengkap dengan pijakan-pijakan besi untuk akrobat Sang Naga China.

"Siapa saja bisa datang belajar ke sini, Melayu, Tionghoa, Batak, Jawa, Sunda dan lain-lain bisa bermain dengan gratis, tidak dipungut biaya," kata Muslim.

Namun, menurut Muslim meski Barongsai telah menjadi daya tarik pariwisata budaya di Pangkalpinang, perhatian pemerintah terhadap seni yang memadukan tarian dan seni bela diri Kungfu tersebut masih kurang.

"Hingga saat ini kami mendanai sendiri sanggar ini, dari alat-alat dan kostum yang kami datangkan dari Malaysia hingga biaya lomba yang mencapai Rp30 juta tiap lomba, kami galang secara swadaya dari para tetua yang rata-rata adalah pengusaha," kata dia.

Muslim berharap, pemerintah bisa lebih aktif dalam ikut serta melestarikan seni tradisi Barongsai tersebut.

Selain tradisi Barongsai, di Pangkalpinang juga dikenal dengan tradisi Nanggung yang populer di kawasan Kampung Melayu Desa Tuatunu; tempat tinggal kelompok etnis melayu yang tertua di Bangka Belitung. Pada umumnya penduduk Kampung Tuatunu bermatapencaharian sebagai petani lada.

Nganggung adalah tradisi gotong royong masyarakat Kota Pangkalpinang dengan membawa makanan lengkap di atas Dulang kuningan yang ditutup dengan tudung saji.

Tiap keluarga membawa satu dulang yang terbuat dari Kuningan, berisi makanan sesuai dengan status dan kemampuan keluarga tersebut.

Tradisi Nganggung sering juga disebut dengan adat Sepintu Sedulang.

Tradisi ini biasanya dilakukan pada upacara upacara keagamaan, seperti hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Maulid Nabi, Nisfu Sya`ban, dan pada kegiatan 1 Muharam.

"Kalau di sini, hari raya-nya banyak karena masyarakatnya terdiri dari berbagai latar belakang budaya, kalau Idhul Fitri kami lebaran, kalau Imlek kami bersuka ria, kalau Nyepi semua ikut khusyuk," kata Jata (30), salah seorang warga Pangkalpinang.

"Ibaratnya, Bangka Belitung adalah gula bagi pendatang, di sini masyarakat hidup aman saling berdampingan karena mereka memiliki rasa memiliki yang tinggi atas negeri ini," kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Pangkalpinang, Irianto Tahor.

Ida Nurcahyani, Jurnalis

-

Arsip Blog

Recent Posts