”When I’m Sixty—Four“

Oleh: Budiarto Shambazy

TENTU Anda memiliki pandangan sendiri tentang hikmah terpenting yang dapat dipetik setelah bangsa ini merdeka 64 tahun. Bagi saya, hikmah yang terpenting adalah keindonesiaan yang menampilkan dua wajah yang amat jauh berbeda. Seperti dalam drama atau film, dua wajah itu disimbolkan oleh satu muka yang menangis dan satu lagi yang tertawa.

Ya, Indonesia berwajah dua. Sampai kini, misalnya, masih banyak yang menyukai gurauan yang getir “sudahkah kita merdeka”. Sang Singa Podium sebelum berpidato meneriakkan kata “merdeka” sembari mengepalkan tangan. Dan, audiens pun sambil tertawa menjawab, “Belum!”

Dua wajah Indonesia itu dapat dengan mudah ditemukan di mana-mana. Sebagian percaya kita sudah teguh pada keyakinan terhadap eksistensi NKRI. Namun, sebagian berpendapat NKRI bubar juga tak apa-apa.

Bagi sebagian kita, amandemen UUD ’45 yang sudah empat kali dilakukan tak lebih dari sekadar hobi mengubah apa saja seenaknya tanpa memikirkan berbagai akibat buruknya. Namun, untuk sebagian lainnya, amandemen itu bermakna. Apa hasil amandemen, positif atau negatif, silakan nilai kisruh keputusan KPU vs MA vs MK tentang penetapan hasil Pemilu 2009.

Buat sebagian rakyat, Pancasila merupakan salah sebuah ideologi universal terbaik di dunia yang menjadi panutan kehidupan ideal berbangsa dan bernegara kita. Namun, mereka yang sinis memandang Pancasila sebagai teks hafalan saja. Di sekitar Anda, debat tentang dua wajah Pancasila itu masih ada.

Untuk sebagian rakyat, Bhinneka Tunggal Ika tak perlu didebatkan lagi karena lekatnya kultur keberagaman. Namun, sebagian lagi bernafsu pada “keseragaman”. Perbedaan dua huruf saja, “ke” dengan “se”, menimbulkan korban tragedi 1 Juni 2008 di Monas, rumah ibadah, dan sekte agama.

Jadi, setelah 64 tahun kita masih saja berputar-putar di “alam antara” alias dunia “ada tetapi tiada” tentang NKRI, UUD ’45, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kita ingin mereka abadi, tetapi ternyata mereka masih fana. Rupanya kita ibarat orang yang asyik mimpi sambil jalan.

Namanya orang mimpi sambil jalan, ia pasti terkena bencana: menabrak pintu, lemari, atau meja. Saking seringnya terjadi bencana alam atau bencana buatan manusia, jangan-jangan Indonesia kayak orang mimpi sambil jalan terus.

Juga tidak aneh fenomena dua wajah ini melahirkan para pemimpin yang selalu diombang-ambingkan oleh kuasa. Mana yang lebih memikat, turun ke lapangan atau rapat? Mana yang lebih tepat, curhat kepada rakyat atau mendengarkan curhat rakyat? Mana yang lebih penting: amanat rakyat, konglomerat, atau pejabat?

Kebimbangan kuasa para pemimpin secara otomatis melahirkan elite yang memerintah (the ruling elite) yang beretika ganda. Merekalah pegawai negeri yang kaya raya, politisi yang berprofesi sebagai komedian, selebriti yang jadi politisi, hakim pengikut mafia peradilan, atau jaksa makelar kasus. Politik dan hukum acara hiburan check and recheck, birokrasi adalah “kalau bisa pelan-pelan kenapa cepat-cepat?”

The ruling elite yang beretika ganda secara otomatis melahirkan pula rakyat yang berkepribadian ganda. Merekalah kelas menengah yang tak demokratis karena suka bikin portal di kompleksnya, pengendara sepeda motor yang naik ke kaki lima, demonstran yang mengatasnamakan agama, mahasiswa yang doyan tawuran, atau teroris pengantar bunga. Sampai kini happening arts di ruang tertutup maupun terbuka tak pernah usai.

Drama-drama yang tak kunjung habis belakangan ini terjadi karena dua wajah Indonesia lagi. Sebagian dari kita menyatakan diri sudah siap berdemokrasi. Sudah ada pemilu, pilpres, trias politica, sistem presidensial, fungsi kontrol DPR, aneka rupa komisi-komisi yang mengurus siaran televisi sampai korupsi, pers bebas, atau civil society.

Namun, sebagian lagi sering bertanya sebenarnya kita siap berdemokrasi atau enggak sih? Maka lahirlah kisruh DPT, orang Sulsel belum siap jadi presiden, etnis Arab tak berjasa, gerakan satu putaran, konflik kepolisian versus KPK, ilmu sihir, drakula gentayangan, sampai RUU Rahasia Negara yang sia-sia. Kita kembali ke lambang film atau drama: setelah menangis, langsung tertawa.

Drama menangis langsung tertawa berlangsung juga di dunia perekonomian kita. Indonesia negeri kaya raya, tetapi banyak utang. Pasal-pasal UUD ’45 tentang ekonomi menyatakan tiap sumber alam milik rakyat, tetapi belum tentu begitu kenyataannya. Sudah 64 tahun merdeka, jurang pemisah antara si miskin dan si kaya makin menganga.

Nah, kisah tentang dua wajah Indonesia yang menangis dan lalu tertawa ini belum akan usai walaupun usia kita sudah 64 tahun. Janganlah merasa malu dengan wajah sendiri karena, seperti kata sepotong lirik lagu “Dari Sabang sampai Merauke” yang dipakai kampanye Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang berbunyi, “Itulah Indonesia”. Ya, Indonesia “negeri elok yang amat kucinta” dan “tempat lahir beta, tempat berlindung di hari tua, tempat akhir menutup mata”.

Kita harus segera menemukan jalan tengah. Masalahnya, seperti kata iklan yang populer belakangan ini, “Mau?” Kalau mau, tiru saja gabungan slogan ketiga capres-cawapres belum lama ini, yakni “Lanjutkan Ekonomi Kerakyatan, Lebih Cepat Lebih Baik”. Tak bisa lain, pemerintahan SBY-Boediono mesti terus-menerus diingatkan kita semua tentang cita-cita luhur Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kita menghendaki Indonesia yang berwajah satu saja, tak perlu dua. Saya makin khawatir kita makin hari makin melupakan Indonesia yang genap 64 tahun. Ia, seperti kata sepotong lirik lagu karya The Beatles, tak bosan bertanya, “Will you still need me, will you still feed me, when I’m sixty-four?”

Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas

Sumber: Kompas, Sabtu, 15 Agustus 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts