Menyelamatkan Pengadilan Tipikor

Oleh: Prof. Dr. Samsul Wahidin SH., MH

MASIH ada harapankah Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) untuk disahkan menjadi undang-undang pada masa jabatan DPR periode ini? Menurut anggota Panitia Kerja (Panja) Gayus Lumbuun, harapan itu masih ada, bahkan optimistis bisa selesai sebelum berakhirnya masa jabatan anggota dewan, yaitu 1 Oktober 2009.

Bahasa optimistisnya, pembahasan di tingkat panja sudah masuk tahap finishing. Ibarat membuat sebuah mobil, sejauh ini pembahasan di tingkat panja sudah sampai pada tingkat akhir. Selanjutnya, rancangan itu dikembalikan kepada panitia khusus untuk dibahas sebelum disahkan dalam sidang paripurna. Itulah saat penyerahan kunci tersebut untuk dioperasionalkan.

Tetapi, itu merupakan bahasa politis. Artinya, apakah RUU Pengadilan Tipikor selesai pada tingkat panja atau sampai pada paripurna, masih harus diuji. Beberapa permasalahan yang kiranya dapat dianalisis sebagai bahan ujian tersebut berkaitan dengan peluang RUU itu.

Tipis Peluang Selesai
Tidak bermaksud pesimistis, beberapa kendala yang tidak sederhana sebelum disahkannya RUU tersebut masih ditemui. Bahkan, boleh disebut kendala-kendala itu cukup berat. Di antaranya, secara teknis pada tingkat panja masih tersisa empat daftar inventarisasi masalah (DIM). Empat masalah tersebut krusial di antara masalah lain. Berdasar hitungan waktu saja, sangat sulit menyelesaikan hal itu dalam waktu sebulan. Belum lagi masuk ke tahap pansus yang berlanjut pada paripurna. Apalagi, sebagian di antara mereka ternyata tidak terpilih lagi.

Masalah krusial yang titik temunya sulit dicari itu berkaitan dengan naungan pengadilan tersebut kelak. Berdasar sistem yang ada, peradilan meliputi peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara (TUN). Perkara korupsi bersifat lintas peradilan. Berikutnya adalah persoalan komposisi majelis hakim yang akan menangani perkara korupsi nanti. Yakni, berapa orang dan di mana kedudukannya, provinsi atau kabupaten/kota? Termasuk yang krusial juga, yakni berkaitan dengan hukum acara dan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Melihat beratnya pemasalahan itu, agaknya sangat tipis peluang bisa dirampungkannya DIM yang benar-benar mencerminkan kinerja optimal. Menurut hitungan sederhana, untuk membahas permasalahan tersebut seharusnya dilakukan kajian dengan berbagai sistem hukum lain sehingga benar-benar menghasilkan klausul dan operasionalisasi yang optimal.

Kedua, masa sidang anggota DPR adalah Juni-Agustus. Artinya, masa sidang formal yang memungkinkan para wakil rakyat tersebut berkonsentrasi menyelesaikan sebuah RUU sudah lewat. Sementara itu, jumlah anggota Pansus RUU Pengadilan Tipikor 50 orang. Lagi-lagi, sangat kecil kemungkinan bisa mengumpulkan anggota lengkap. Apalagi, 12 orang di antaranya berasal dari Golkar, yang sebagian anggotanya sudah tidak terpilih.

Ketiga, ada semacam stigma masyarakat terhadap kinerja DPR yang berkaitan dengan alotnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Melihat proses yang berlangsung, para anggota DPR seolah ketakutan dengan kinerja pengadilan itu nanti. Jangan-jangan yang melahirkan pun bakal terkena jaring korupsi. Dari sisi tersebut, sangat sulit diharapkan selesainya Pengadilan Tipikor pada periode DPR kali ini.

Menunggu Komitmen SBY
Apa kiranya upaya yang bisa dilakukan jika sampai batas waktu yang ditetapkan RUU Pengadilan Tipikor tidak bisa disahkan? Sebagaimana diketahui, segeranya RUU Pengadilan Tipikor disahkan bertujuan memenuhi amar putusan Mahkamah Konstitusi. Berdasar putusan nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, disebutkan pemerintah dan DPR harus segera memperkuat basis konstitusional pemberantasan korupsi melalui pembentukan UU Pengadilan Tipikor. Batas waktunya sampai 19 Desember 2009.

Konsekuensi tidak dipenuhinya waktu itu, Pengadilan Tipikor yang sudah ada harus bubar dan tindak pidana korupsi diadili di pengadilan umum. Bangun korupsi sebagai extra ordinary crime menjadi terdegradasi dan dipandang sebagai tindak pidana biasa, sama dengan maling ayam. Hal tersebut berarti menjadi jalan percepatan bangkrutnya republik ini akibat jarahan para koruptor.

Upaya yang sangat mungkin adalah segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) pengganti undang-undang. Proses teknis terhadap dibuatnya PP itu secara umum tidak sulit. Paling tidak, tidak sesulit melahirkan UU. Modal utamanya adalah komitmen kuat untuk memberantas korupsi, khususnya dari lembaga kepresidenan sebagai representasi eksekutif (pemerintah).

Asumsinya, jika niat memberantas korupsi benar-benar ada dan diimbangi dengan keyakinan bahwa sudah saatnya ada Pengadilan Tipikor, tidak sulit mewujudkan PP yang substansi pembahasannya di parlemen sangat alot tersebut.

Mencermati kepemimpinan Presiden SBY, komitmen itu sudah terbukti kuat. Sehingga, hanya dari presidenlah diharapkan kelahiran Pengadilan Tipikor dapat dibidani. Namun, waktu yang sangat mepet, mulai pelantikan presiden sampai deadline 19 Desember, memang bukan waktu yang cukup untuk itu. Tapi, sekali lagi, komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi dengan dukungan lapisan masyarakat tidak akan sulit mewujudkan niat tersebut.

Teknisnya, materi yang sudah dihasilkan oleh DPR dapat diambil dengan beberapa penyempurnaan, terutama bagian-bagian yang menimbulkan perbedaan di kalangan anggota dewan. Berikutnya, terserah dewan yang baru untuk membahasnya pada masa sidang berikutnya. Tentu itu merupakan pekerjaan awal sekaligus ujian bagi komitmen anggota DPR baru untuk antikorupsi dengan bukti segera menyelesaikan RUU monumental tersebut. (*)

Prof. Dr. Samsul Wahidin SH., MH, guru besar ilmu hukum Fakultas Hukum Unmer, Malang

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 02 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts