Oleh: Romanus Ndau Lendong
REFORMASI birokrasi merupakan salah satu program andalah SBY-Boediono 2009-2014. Targetnya, tahun 2011 agenda tersebut tuntas. Janji tersebut perlu diapresiasi dan dikawal realisasinya demi perbaikan masa depan negeri ini.
Mereformasi birokrasi mutlak diperlukan karena kondisinya memprihatinkan. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, Taufiq Effendy menggambarkan birokrasi saat ini sangat gemuk, malas, dan rakus. Dari 3,9 juta PNS, hanya 60% yang memiliki kinerja baik. Pekerjaan yang dilakukan satu orang swasta ternyata dikerjakan empat orang birokrasi. Inefisiensi sulit dicegah karena adanya ketimpangan antara pengeluaran negara dengan output yang dihasilkan birokrasi.(Media Otonomi, No 4 Th II, 2006).
Riset ICW (2007) tentang korupsi di daerah lebih muram lagi. Aktor utama korupsi adalah kepala daerah dan wakilnya serta anggota DPRD. Angkanya fantastis, 70%. Selebihnya adalah pihak swasta yang menjadi rekanan. Tragisnya, objek korupsi adalah APBD. Tidak berlebihan jika muncul sinisme bahwa desentralisasi tidak lebih dari pemerataan kesempatan korupsi bagi aparat birokrasi.
Kondisi demikian berimplikasi pada lemahnya birokrasi memainkan tiga perannya: pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan. Infrastruktur transportasi, telekomunikasi, pendidikan, dan kesehatan kian memprihatinkan. Pemberdayaan masyarakat berupa pelatihan kewirausahaan sarat manipulasi. Bahkan pelayanan dasar seperti pengadaan KTP, KK, masih belepotan.
Di samping merosotnya implementasi ketiga peran tadi, amburadulnya birokrasi berakibat pada lemahnya daya saing bangsa di tingkat global. Selama 5 tahun terakhir World Economic Forum (WEF) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan daya saing paling rendah. Alasannya karena buruknya birokrasi dan administrasi pemerintahan yang serbatertutup dan korup.
Rezim Kerahasiaan
Ibarat teori siklus, gambaran di atas merupakan pengulangan belaka dari era sebelumnya. Birokrasi kita belum ramah dengan kontrol publik. Segala hal dirahasiakan karena hanya dengan itu birokrasi tetap menjadi magnet bagi spekulan yang mau mengeruk untung dari uang negara. Proyek besar diselesaikan di kamar sempit yang jauh dari pantauan media dan publik.
Terhadap pihak-pihak yang berusaha menerobos jaring kerahasiaan tersebut, birokrasi memasang perangkap mematikan. Fuad Syarifudin, wartawan harian Bernas di Yoyakarta dihabisi karena berusaha mengungkap korupsi yang melibatkan Bupati Bantul belasan tahun silam. AA Prabangsa, wartawan Radar Bali, dilenyapkan karena mengungkap korupsi dana pendidikan di Kabupaten Bangli, Bali. Tentu masih banyak korban lain yang bisa kita deretkan di sini.
Melestarikan kerahasiaan, termasuk menggunakan kekerasan, merupakan ekspresi dari ketidaksiapan aparat birokrasi menghadapi era keterbukaan informasi. Penelitian Yayasan Visi Anak Bangsa (2006) tentang Persepsi Publik terhadap Keterbukaan Informasi mempertegas kesan ini. Keterbukaan dianggap bisa merusak citra aparat publik, mengadopsi budaya Barat, dan memperberat beban kerja birokrasi.
Jika demikian, tekad Komisi I DPR dan pemerintah untuk mengesahkan UU Rahasia Negara bulan September ini tentu perlu ditinjau kembali. Meski pengaturan rahasia negara dalam bentuk UU bisa ditoleransikan termasuk di negara-negara demokrasi, tapi hal itu harus dijauhkan dari tendensi untuk membatasi hak-hak publik dalam mendapatkan informasi. Keamanan dan kedaulatan nasional sebagai tujuan utama UU Rahasia Negara tentu bukan alasan memadai untuk melenyapkan hak asasi rakyat untuk mendapatkan informasi.
Alasan lainnya, mereformasi birokrasi tidak mungkin terwujud dalam sistem yang sarat kerahasiaan. Kerahasiaan memacetkan partisipasi publik dan mematikan kontrol pers. Kerahasiaan bisa beranak pinak kolusi, korupsi, dan nepotisme. Ujungnya, kerahasiaan berujung pada lahirnya birokrasi yang otoriter yang memosisikan diri sebagai pemilik dan penafsir tunggal kebenaran. (Dakidae, 2003:153).
Ringkasnya, kerahasiaan berakibat pada sulitnya menciptakan birokrasi yang profesional yang oleh Sediono MP Tjondronegoro (2003;3) dicirikan keahlian (vocation) sebagai buah dari pendidikan dan dimantapkan pengalaman; kesetiaan (dedication and loyalitiy); dan pelayanan yang tidak pilih kasih (faceless).
Belajar dari Daerah
Pemerintah pusat perlu belajar dari daerah yang telah memiliki peraturan daerah tentang transparansi seperti di Solok, Sumatra Barat; Kebumen, Jawa Tengah; Lebak, Banten; dan Gowa, Makassar. Daerah-daerah tersebut telah terbiasa: (1) melibatkan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan publik; (2) mengumumkan jenis pelayanan lengkap dengan biaya dan waktu yang dibutuhkan; (3) menyelenggarakan tender terbuka; (4) membuat laporan keuangan secara reguler; dsb.
Gebrakan mantan Bupati Kebumen Hj Rustriningsih, yang kini menjadi Wagub Jawa Tengah juga menarik dicontoh. Rustriningsih mengadakan tender proyek di lapangan terbuka sehingga dijamin netralitasnya. Semua tamu, apalagi kontraktor dilayani di kantor demi menghindari pemberian yang berbau sogok. Semua diperlakukan sama, tanpa pandang bulu.
Rekrutmen pejabat juga dilakukan secara terbuka dengan menempatkan kompetensi sebagai kriteria utama. Di samping mencegah budaya korupsi cara ini juga efektif untuk mendapatkan pejabat berkualitas. Arif Irwanto, 39, boleh jadi merupakan Kepala Bappeda termuda di negeri ini.
Keterbukaan informasi berdampak positif bagi penciptaan iklim usaha yang sehat. Penerapan keterbukaan informasi berperan meningkatkan PAD Kebumen dari Rp6 miliar tahun 2000 menjadi Rp23 miliar tahun 2003 dan 4 tahun kemudian menjadi Rp50 miliar. Cerita serupa terjadi di Lebak, Banten, yang mengalami kenaikan PAD dari Rp23 miliar tahun 2001 menjadi Rp46 miliar tiga tahun berikutnya.***
Romanus Ndau Lendong, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik UI
Sumber: Media Indonesia, Kamis, 03 September 2009