Pegawai Negeri Sipil

Oleh: Jaya Suprana

SEORANG karyawan perusahaan saya bangga melaporkan putranya telah lulus perguruan tinggi administrasi negara dengan nilai prestasi cukup bagus. Si putra sigap mendaftarkan diri untuk menjadi PNS (pegawai negeri sipil) di salah satu departemen yang lebih baik tidak saya sebut namanya.

Setelah bangga melapor, sang ayah memohon pinjaman dana seratus juta rupiah untuk pendaftaran putranya menjadi PNS sambil berjanji akan melunaskan pinjaman tersebut setelah berhasil menjual sawah dan hewan ternak yang dimiliki di kampung halamannya.

Wajar
Saya terkejut karena sejauh pengetahuan terbatas saya, di masa kini yang disebut sebagai orde reformasi sudah tidak ada lagi adat istiadat pungli atau tradisi uang pelumas demi memperlancar proses melamar pekerjaan di lembaga pemerintahan. Di samping terkejut, saya juga terheran-heran atas sikap karyawan saya ketika mengajukan permohonan pinjaman dana seolah menghadapi suatu kewajaran bahwa untuk menjadi PNS memang tidak-bisa-tidak, suka- tidak-suka, mau-tidak-mau, tanpa bisa diganggu gugat memang hukumnya wajib membayar seratus juta rupiah!

Yang tidak wajar justru reaksi keterkejutan saya ketika meneri- ma pemberitahuan bahwa menjadi PNS masih harus membayar dana pelumas seratus juta rupiah! Sungguh janggal kok bisa- bisanya saya terkejut? Ada kesan curiga bahwa saya cuma pura-pura terkejut, padahal saya memang benar-benar terkejut seperti disambar petir di siang hari bolong.

Simalakama
Saya benar-benar berhadapan dengan sebuah dilema buah simalakama. Jika saya memberi pinjaman kepada karyawan saya demi memenuhi idaman putranya menjadi PNS, berarti saya mendukung budaya korupsi yang sedang susah payah diupayakan untuk dibasmi habis oleh pemerintah. Namun, jika saya tidak memberi pinjaman kepada karyawan saya, berarti saya menggagalkan idaman segenap sanak keluarga agar sang putra bisa menjadi PNS yang tampaknya masih begitu didambakan dan dibanggakan oleh mereka yang sudah telanjur menghamburkan dana tidak sedikit demi membiayai pendidikan sang putra sampai meraih gelar sarjana!

Saya merasa posisi diri saya terjepit. Di satu sisi saya terancam stigma pengkhianat negara dan bangsa sebab ikut mendukung bahkan membiayai ko- rupsi. Di sisi lain saya terancam tuduhan tidak peduli sebab tidak peka nasib rakyat kecil yang ingin mendukung putranya menjadi pegawai negeri yang tentu kelak dalam menempuh perjalanan kariernya masih harus memperhitungkan bagaimana cara memperoleh kembali modal dana yang telah dikeluarkan.

Kondisi psikologis para PNS yang diperas para tengkulak jabatan mirip kegelisahan kaum politisi yang menang pemilu setelah menghamburkan berlimpah duit demi menduduki kursi kedudukan berkuasa.

Gengsi
Kasus putra karyawan saya yang ngebet PNS tersebut sangat menarik untuk direnungkan.

Salah satu kekeliruan yang tampak paling menonjol adalah kenyataan bahwa masyarakat masa kini masih sangat mengutamakan apa yang disebut sebagai gengsi. Anakronis sekaligus tragis ternyata PNS masih dianggap sebagai profesi paling bergengsi seperti di zaman dahulu kala ketika sistem kerajaan masih mendominasi bumi Nusantara dan jabatan abdi dalem memang sempat menduduki posisi status profesi paling bergengsi.

Tampaknya paham monarki- feodal kedaluwarsa dari zaman purba itu masih bertahan di zaman ekonomi kreatif yang terbuka bagi profesi apa pun tanpa kenal atribut status sosial artifisial yang disebut gengsi itu. Karier Bill Gates hingga bisa menjadi salah seorang terkaya di dunia sama sekali bukan melalui jalur PNS. Fakta membuktikan insan-insan terkaya di Indonesia juga bukan berasal dari keraton. Namun, tampaknya segenap fakta aktual itu tidak terlalu berarti bagi keyakinan status masyarakat Indonesia masa kini hingga PNS masih khusyuk diberhalakan sebagai jabatan paling bergengsi!

Reaksi keterkejutan saya ketika mendengar putra karyawan saya masih harus membayar upeti untuk jadi abdi dalem itu bukan cuma mengherankan, tetapi juga mengecewakan karyawan saya. Bisa saja sang ayah yang sangat mengidamkan putranya menjadi PNS itu menganggap saya memang pelit alias kikir sambil tidak-peka derita wong cilik maka tidak sudi memberi pinjaman uang demi menolong kaum miskin meningkatkan derajat status sosial keturunan mereka!

Mungkin saja naskah ini dianggap merusak tatanan sosio-kultural yang sudah mapan sambil menghambat sumber nafkah para tengkulak bahkan terlebih parah lagi: menghalang-halangi ikhtiar rakyat jelata menjunjung tinggi harkat dan martabat putranya melalui jabatan PNS!

Jaya Suprana, Budayawan

Sumber: Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts