Oleh: Hikmahanto Juwana
KOMISI Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara kembali menjadi topik pembicaraan pascaberedarnya testimoni Ketua nonaktif KPK Antasari Azhar. Sejumlah pengamat berpendapat KPK sedang mengalami serangan dan pelemahan, terutama karena kedudukannya sebagai superbody atau lembaga super.
Mispersepsi
Banyak yang beranggapan bahwa KPK merupakan lembaga super karena tidak adanya mekanisme check and balances. Padahal, setiap lembaga negara tidak mungkin independen tanpa sistem check and balances.
Bila ditilik dari kelembagaan, KPK sebenarnya bukanlah lembaga super. Kalaupun dimispersepsikan sebagai lembaga super, hal itu lebih karena KPK memiliki kewenangan yang diemban polisi dan kejaksaan sekaligus. Kewenangan satu atap ini adalah kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Kewenangan KPK dalam konteks demikian tidaklah super bila dibandingkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU melebihi KPK karena bertindak sebagai investigator, penuntut, dan pemutus sekaligus. Bahkan, apabila putusannya diajukan keberatan ke pengadilan negeri dan Mahkamah Agung, KPPU menjadi pihak dalam perkara. Sebagai pihak, KPPU akan leluasa melakukan pembelaan atas putusannya.
Di negeri ini lembaga yudikatif yang lebih rendah tak akan melakukan pembelaan sendiri terhadap putusan yang dibuatnya di hadapan lembaga yudikatif yang lebih tinggi. Kewenangan demikian, dari kacamata hukum, merupakan super. Namun, kewenangan yang dimiliki KPPU tidak mendapat perhatian masyarakat karena perkara yang ditangani bukan perkara yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan sanksinya bukan sanksi pidana.
Sementara untuk KPK tetap ada mekanisme check and balances. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat meminta pertanggungjawaban KPK atas kegiatannya secara umum. Secara keuangan, KPK akuntabel terhadap Badan Pemeriksa Keuangan. Pengadilan pun dapat menggugurkan dakwaan jaksa penuntut umum KPK meski hingga saat ini belum pernah ada. Bahkan, pers dan masyarakat dapat melakukan kontrol sosial terhadap KPK.
Para personel dari KPK pun tidak memiliki kekebalan hukum. Mereka yang diduga melakukan kejahatan dapat dilakukan proses hukum. Ketua KPK nonaktif Antasari adalah contoh nyata, selain seorang oknum polisi yang bekerja untuk KPK.
Faktor Super
Kalaupun KPK disebut sebagai super, bisa jadi bersumber dari tiga faktor. Pertama, kewenangan yang terkait dengan proses hukum. Kewenangan ini, antara lain, adalah kewenangannya untuk melakukan ”penjebakan”, melakukan penyadapan, dan tidak dapat mengeluarkan SP3.
Kewenangan demikian mengingatkan masyarakat pada kewenangan yang dimiliki Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan instansi yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana subversi pada masa lampau. Meski demikian, KPK tentu berbeda dengan Kopkamtib. KPK tetap dapat dikontrol. Bahkan, pengadilan dapat menolak atau tidak mengabulkan apa yang menjadi keinginan KPK.
Kedua, kalaupun KPK dianggap super, hal itu karena personel yang mengisi komisi ini. Harus diakui, personel KPK—baik pimpinan maupun staf—direkrut dengan sistem berbeda dari instansi penegak hukum lainnya. Polisi dan jaksa yang diperbantukan ke KPK adalah pilihan dan terbaik. Pimpinan KPK pun direkrut dengan sistem yang terbuka dan melalui proses yang panjang.
Perlu dipahami sumber daya manusia yang prima amat penting dalam penegakan hukum. Mereka harus pandai sehingga tidak terombang-ambing dalam menegakkan hukum. Inilah yang patut dicontoh dari KPK untuk kepolisian, kejaksaan, dan kekuasaan kehakiman.
Ketiga, dari segi kesejahteraan juga dapat dikatakan super bila dibandingkan kesejahteraan dari instansi hukum pada umumnya. Tanpa kesejahteraan yang super, sulit dibayangkan KPK dapat melakukan tugasnya memberantas korupsi secara efektif.
Integritas
Dalam penegakan hukum yang tegas, diperlukan manusia yang berintegritas. Integritas akan berkorelasi erat dengan kesejahteraan. Penegakan hukum bisa tumpul karena tidak adanya integritas. Karena itu, pemberian kesejahteraan yang memadai pada instansi penegak hukum harus menjadi prioritas pemerintah. Sulit diterima logika sehat, aparat penegak hukum yang mendapatkan kesejahteraan minim dari negara bisa memiliki sejumlah kemewahan.
Masyarakat harus memahami bahwa berbagai faktor super yang dimiliki KPK diberikan karena untuk memberantas korupsi diperlukan lembaga yang memiliki kewenangan, personel, dan sistem penggajian yang tidak biasa. Korupsi telah dianggap sebagai suatu kejahatan luar biasa sehingga penanganannya pun harus luar biasa.
KPK harus tetap eksis selama kebutuhan untuk itu masih ada. Meski demikian, harus diakui kewenangan super memang rentan untuk disalahgunakan dan disalahtafsirkan oleh mereka yang mengembannya. Di sinilah semua personel KPK harus betul- betul dapat memaknai tugasnya.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum pada FHUI, Jakarta
Sumber: Kompas, Senin, 10 Agustus 2009