Suku Ternate dengan populasi 50.000 jiwa bertempat tinggal di Pulau Ternate. Pulau ini termasuk di dalam wilayah propinsi Maluku Utara dengan ibukotanya Kota Ternate. Selain berdiam di pulau asalnya, orang Ternate juga berdiam di daerah lain, misalnya di pulau Bacan dan pulau Obi yang termasuk wilayah kabupaten Halmahera Tengah, serta wilayah lain di dalam dan di luar Propinsi Maluku Utara.
Bahasa Ternate
Orang Ternate mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Ternate. Para ahli berpendapat bahwa bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Halmahera Utara, yang merupakan kelompok bahasa non-Austronesia.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian orang Ternate bertani dan nelayan. Dalam bidang pertanian mereka menanam padi, sayur mayur, kacang-kacangan, ubi kayu, dan ubi jalar. Tanaman keras yang mereka usahakan adalah cengkeh, kelapa dan pala. Cengkeh merupakan tanaman rempah-rempah yang sudah mempunyai sejarah panjang di Ternate. Cengkeh merupakan daya tarik yang mengundang kedatangan bangsa Eropa ke daerah ini. Selain itu, orang-orang Ternate juga dikenal sebagai pelaut-pelaut yang ulung.
Pola Pemukiman
Pemukiman penduduk umumnya membentang di sepanjang garis pantai. Rumah-rumah mereka dibangun di sepanjang jalan-jalan dan sejajar dengan garis pantai di daerah perkotaan. Struktur bangunannya beraneka ragam sesuai dengan gaya para pendatang dari luar Halmahera di perdesaan. Di pedesaan, rumah-rumah penduduk terbuat dari rumput ilalang.
Agama
Sebelum agama Islam masuk ke P. Ternate, suku ini terbagi dalam kelompok-kelompok masyarakat. Masing-masing kelompok kerabat suku Ternate dipimpin oleh mamole. Seiring dengan masuknya Islam. mamole ini bergabung menjadi satu konfederasi yang dipimpin oleh kolano. Kemudian, setelah Islam menjadi lebih mantap, struktur kepemimpinan kolano berubah menjadi kesultanan. Dalam struktur kolano, ikatan genealogis dan teritorial berperan sebagai faktor pemersatu, sedangkan dalam kesultanan agama Islamlah yang menjadi faktor pemersatu. Dalam struktur kesultanan, selain lembaga tradisional yang sudah ada, dibentuk pula lembaga keagamaan. Kesultanan Ternate masih ada sampai saat ini meskipun hanya dalam arti simbolik. Namun belakangan ini kesultanan Ternate tampak bangkit kembali. Umumnya orang Ternate beragama Islam. Di masa lalu kesultanan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam di wilayah Indonesia bagian Timur.
Saat ini masyarakat Ternate membutuhkan bantuan penanam modal untuk menggali dan mengelola hasil-hasil kekayaan alam daerah ini yang berlimpah. Bidang kehutanan, kelautan dan pertanian merupakan tiga bidang utama bagi orang Ternate. Selama ini, dari tiga kekuatan utama tersebut, hanya sektor kehutanan yang telah digarap besar-besaran.
Daerah Ternate juga memiliki kekayaan wisata alam dan wisata budaya seperti bangunan bekas benteng Portugis, istana Kesultanan Ternate, dan lain-lain. Hal ini menjadi sektor pariwisata sangat potensial untuk dikembangkan, baik melalui pembangunan sarana transportasi maupun akomodasi yang memadai.
SONE MA-DINA / DINA SONE, Tradisi Masyarakat dan Acara Ritual Wafatnya Seseorang di Ternate Sejak agama Islam masuk dan berkembang di daerah Ternate dan sekitarnya (Jazirah Maluku Utara), maka berkembang pula syariat Islam di daerah ini, terutama penerapan syariat Islam yang pernah dilakukan oleh Sultan Zainal Abidin, raja Ternate yang ke-19 (1486–1500).
Sone ma Gunyihi Terbentuknya masyarakat Ternate memang ada sudah jauh sebelum datangnya dan berkembangnya agama Islam di daerah ini. Berbagai tradisi lama masyarakat Ternate yang telah berlangsung ratusan tahun sebelumnya tidak serta merta ditinggalkan begitu saja, kecuali yang bertentangan dengan hakikat ajaran Islam, perlahan-lahan mulai ditinggalkan oleh pemeluk Islam di daerah ini.
Terdapat beberapa tradisi lama yang sifatnya positif terus dipertahankan oleh masyarakat Ternate, terutama menyangkut kehidupan sosial berupa tradisi gotong royong yang dikenal dengan tradisi “Bari” ataupun “Lian”, termasuk tradisi saat hari meninggalnya seseorang. Tradisi Pada Saat Hari Kematian Seseorang Dalam kehidupan masyarakat Ternate, bila ada salah satu warga masyarakat yang meninggal dunia, biasanya dikabarkan dari mulut ke mulut kepada keluarga, saudara dan kerabat. Walau berita duka ini disebarluaskan dengan cara demikian, namun kabar tersebut sangat cepat tersiar ke seluruh kalangan, di tempat kerja, kantor, pasar, bahkan terhadap sanak family yang berada di tempat lain dan di pulau-pulau.
Demikian pula setelah teknologi Cellular (HP) merambah dalam keseharian masyarakat Ternate, menjadikan semua informasi menjadi serba instan termasuk berita duka. Setelah mendengar berita duka ini diketahui, warga masyarakat mulai berdatangan ke rumah duka, terutama wagra di kampong tersebut berbondong-bondong berkumpul. Kegiatan pertama yang biasanya dilakukan adalah menyiapkan tenda yang dalam bahasa Ternate disebut “Sabua” di depan dan di belakang rumah duka.
Sementara warga yang lainnya menyiapkan liang kubur. Sedangkan kesibukan dalam rumah duka sendiri adalah menyiapkan kebutuhan untuk pemakaman seperti ; kain kafan, peralatan memandikan mayat, serta kebutuhan lain yang berhubungan dengan pemakaman. Sementara itu, kaum ibu-ibu datang membawa sembako seadanya untuk disumbangkan ke rumah duka yang akan dijadikan bahan baku konsumsi, berupa; beras, terigu, gula pasir, teh, dsb. Kaum ibu-ibu biasanya saat datang mulai menyiapkan dan membentuk semacam dapur umum di belakang rumah duka, bahkan di rumah tetangga kiri dan kanan untuk menyiapkan makan semua pelayat yang datang pada saat itu untuk makan setelah selesai upacara pemakaman. Kegiatan ibu-ibu ini dikenal dengan tradisi “Lian” atau sering disebut “Lilian”. Tradisi Lian ini merupakan salah satu dari bentuk gotong-royong dalam masyarakat Ternate. Ibu-Ibu sedang Lian di rumah duka, mempersiapkan konsumsi untuk Sone ma Dina Sedangkan kaum bapak mempersiapkan semua kebutuhan pemakaman yang sudah menjadi “Fardu Kifayyah” bagi umat muslim yakni untuk memandikan mayat, mengkafani, men-sholat-kan lalu kemudian segera menguburkan jenazah secara layak menurut syariat Islam.
Biasanya sebelum dilakukan pemakaman, ada musyawarah keluarga untuk menentukan masih adakah kerabat almarhum terutama anak kandung yang harus ditunggu kehadirannya sebelum pemakaman dilaksanakan. Hal ini sering terjadi mengingat tidak semua anggota keluarga berada di Ternate saat menjelang wafat. Bila keputusannya harus ditunggu, maka upacara pemakaman akan ditunda beberapa jam, namun dalam musyawarah tersebut diputuskan untuk tidak menunggu, maka akan segera dilaksanakan pemakaman.
Sebelum jenazah dikeluarkan dari rumah duka, biasanya dilakukan semacam seremonial yang dipimpin oleh salah satu yang mewakili tuan rumah. Setelah memberikan sedikit kata pengantar, diharapkan kepada seluruh warga yang hadir pada saat itu untuk memberikan maaf kepada almarhum sekaligus mengikhlaskan utang-piutangnya semasa hidupnya. Dalam masyarakat Ternate, setiap warga muslim yang meninggal dan hendak diarak menuju pemakaman biasanya diiringi dengan alunan “Laa ilaaha illallah hu laa ilaaha illallah, Laa ilaaha illallah Muhammadar Rasullullah ” yang diucapkan secara terus menerus oleh seruruh pelayat sejak dari rumah duka hingga sampai di lokasi liang kubur. Irama alunan ini-pun khas dan hanya dilantunkan pada saat mengantarkan mayat ke kubur.
Kebiasaan ini oleh masyarakat Ternate disebut dengan “Kalmaha”. Bagi masyarakat Ternate, alunan dan irama Kalmaha ini merupakan suatu tanda berkabung, dan setiap orang yang mendengar Kalmaha pasti terharu, sedih bahkan banyak yang meneteskan air mata duka atas perginya sang kerabat untuk selamanya. Pemakaman dilaksanakan sebagaimana biasanya orang muslim Indonesia melakukannya. Hanya saja ada kebiasaan tertentu yang mungkin berbeda dengan daerah lain di Indonesia ini. Contoh misalnya; setelah mayat diturunkan ke liang lahat, kain putih yang dijadikan seprei pada saat mayat ditandu dihamparkan menutupi ke permukaan liang lahat yang ditarik keempat ujung kain tersebut menutupi liang lahat, sehingga hampir tidak ada yang melihat aktifitas yang dilakukan oleh petugas dalam liang lahat.
Ada satu kebiasaan lagi yaitu; setelah mayat diletakkan di dalam liang lahat, dan setelah tali pocong dilepaskan kemudian mayat yang terbaring dihadapkan menghadap kiblat, maka saat itu juga salah satu dari petugas yang berada di dalam liang lahat mengumandangkan azan dari awal hingga akhir. Kalau ditanya mengapa demikian ? Mereka berargumen bahwa pada saat kita lahir ke dunia ini, suara yang pertama kali didengarkan di telinga kita adalah suara azan sehingga pada saat kita meninggal dunia dan hendak dikuburkan di liang lahat sebelum ditimbun dengan tanah, azan-pun harus dikumandangkan.
Menurut mereka, hal ini mengandung makna bahwa kita manusia hidup di dunia ini berada diantara dua azan, yaitu azan awal dan azan akhir. Para Bobato Akhirat Satu lagi tradisi lama masyarakat Ternate, adalah tali pocong tersebut dibawa pulang ke rumah duka, kemudian dipotong dan diikat seperti gelang di setiap tangan kerabat dekat almarhum, sebagai tanda duka. Tali pocong ini tidak bias dilepas kecuali nanti setelah “Hoi Gunyihi” yaitu setelah 11 hari meninggal. Tradisi dan kebiasaan tersebut saat ini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat di kota Ternate, namun di daerah tertentu masih melakukannya.
Setalah upacara pemakaman selesai, seluruh pelayat kembali ke rumah duka untuk melaksanakan santap bersama dengan keluarga yang berduka yang sejak dari tadi disiapkan oleh kaum ibu-bu. Makna dari makan bersama ini adalah bertujuan menghibur keluarga yang berduka kare ditinggal almarhum. Setelah itu, sebagian pelayat kembali ke rumahnya masing-masing, namun masih ada sebagian yang masih berkumpul di rumah duka untuk mempersiapkan kue-kue untuk konsumsi pada acara Tahlilan hari pertama pada menjelang malam hari nanti. Tahlilan terhadap kematian seseorang di dalam masyarakat Ternate dikenal dengan sebutan “Tahlil Sone ma-Dina”. Tahlilan malam pertama ini dikenal dengan “Sone ma-Dina – Futu Rimoi” (Tahlilan Malam ke-1). Inti dari tulisan ini adalah pembahasan tentang masalah ini. Sedangkan uraian tersebut di atas adalah pengantar dan gambaran tentang tradisi seputar saat hari kematian.
Seputar Pelaksanaan Tahlilan “Sone ma-Dina” Setiap meninggalnya warga masyarakat muslim Ternate, bahkan di daerah lain di Maluku Utara seperti di Tidore, Jailolo, Bacan, Makian, Moti, Mare, Kayoa, Obi, Sanana dan masyarakat muslim di Halmahera, di daerah-daerah tersebut, kebiasaan pelaksanaan tahlilan Sone ma-Dina ini hampir dilaksanakan di semua tempat. Namun demikian juga terdapat beberapa kelompok masyarakat yang sudah tidak melaksanakan tahlilan Sone ma-Dina ini. Mereka ini, oleh masyarakat yang masih melaksanakannya menyebutnya sebagai “Orang Muhammadiyah” yang menurut mereka tidak pernah melaksanakan tahlilan dan ziarah kubur. Demikian pemahaman mereka terhadap “aliran” Muhammadiyah. Pengertian “Sone ma-Dina” atau “Dina Sone” secara harafiah mengandung arti; Sone=meninggal sedangkan Dina=sebutan terhadap jumlah hari setelah meninggalnya seseorang. Pelaksanaan tahlilan Sone ma-Dina dilaksanakan pada malam-malam ganjil setelah hari pemakaman.
Tahlilan Sone ma-Dina pertama kali dilaksanakan pada malam hari pertama (ke-1) setelah hari pemakaman yang disebut dengan “Sone ma-Dina – Futu Rimoi”. (Futu=malam, Rimoi=satu). Tahlilan Gogoro Dina Adapun penyebutan dan pelaksanaan Sone ma-Dina di Ternate didasarkan pada angka bilangan hitungan dalam bahasa Ternate. Contoh angka bilangan hitungan pelaksanaan Sone ma-Dina dalam bahasa Ternate adalah sebagai berikut : Pelaksanaan Tahlilan “Sone ma-Dina – Futu Rimoi” dilaksanakan pada malam hari setelah hari pemakaman. Pada tahlilan hari pertama ini didalam kamar tidur dibuat semacam pusara yang terhampar di atas tempat tidur yang digunakan almarhum semasa hidupnya. Diatas tempat tidur di dekat pusara diletakkan pakaian dan perlengkapan pribadi milik almarhum berupa kemeja dan celana serta barang berharga lainnya seperti, jam tangan, gelang, kopiah dsb. Tempat ini oleh masyarakat Ternate disebut dengan “Gunyihi” atau “Sone ma-Gunyihi”. Sejak malam itu, ditentukan seorang yang bertugas untuk bertanggung jawab menunggui dan membacakan doa di Gunyihi tersebut. Biasanya ditunjuk dari salah satu dari yang dituakan, misalnya Imam atau pemuka agama kampung yang berpengaruh dan sudah biasa melakukan hal tersebut. Kegiatan ini dilakukan setiap hari hingga hari ke-11 yang disebut dengan “Hoi Gunyihi” (bongkar tempat). Bongkar tempat yang dimaksud disini adalah membersihkan dan membongkar pusara di atas tempat tidur (Gunyihi), dan kamar tersebut bias difungsikan sebagaimana biasa kamar tidur yang digunakan sebelumnya.
Pelaksanaan Dina-Dina selanjutnya adalah hari ganjil malam berikutnya yaitu malam hari ke-3 yang disebut dengan “Sone ma-Dina – Futu Ra’ange” dan malam hari ke-5 yang disebut dengan “Sone ma-Dina – Futu Romotha”. Tahlilan malam ganjil tersebut biasanya dilaksanakan pada malam hari selepas sholat Isya. Sedangkan pada hari ke-7 merupakan pelaksanaan Dina paling besar yang oleh masyarakat Ternate disebut dengan “Dina Lamo” (Lamo=besar). Para Bobato Dunia Pada hari ke-7 ini dilaksanakan dua kali tahlilan, yaitu pada sore hari adalah Tahlilan Dina Lamo dan pada malam hari dilaksanakan tahlilan biasa seperti di malam sebelum pada Dina ke-1, Dina ke-3 dan Dina ke-5. Pada tahlilan Dina Lamo di sore hari, dilakukan dengan besar-besaran yang disertai dengan makanan adat, yang disebut “Jaha se Kukusang” atau juga sering disebut dengan “Ngogu Adat”. (lihat gambar). Para undangan yang akan hadir pada tahlilan Dina Lamo ini terdiri dari “Bobato Akhirat” dan “Bobato Dunia”.
Bobato Akhirat adalah para pemuka agama, mulai dari Imam besar, khotib dan modim/muazim. Sedangkan Bobato Dunia adalah para pemuka masyarakat, pemuka adat dan para haji-haji di lingkungan tersebut. Undangan untuk melaksanakan setiap tahlilan disebut dalam bahasa Ternate disebut “Gogoro Dina” untuk membedakan dengan undangan untuk hajatan syukuran (Gogoro Haji) atau perkawinan (Gogoro Kai). Ngogu Adat (= Jaha se Kukusang) Tempat duduk yang diatur-pun tidak sembarangan. Biasanya para Bobarto Akhirat bertempat duduk di sebelah kiri berderet ke kiri mulai dari para Imam lalu para khotib dan para modim. Mereka biasanya menggunakan jubah dan sorban. Sedangkan para Bobato Dunia biasanya berada di deretan sebelah kanan, mulai dari yang dituakan hingga para haji-haji di lingkungan tersebut. (lihat gambar).
Pelaksanaan Tahlilan Dina Lamo pada sore hari, dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan tahlilan dan doa yang dipimpin oleh Imam besar. Doa yang dibawakan adalah “Doa Alham Tarekat” dan “Alaikayaa”. Doa ini dilakukan karena menurut mereka pada hari ke-7 kematian seseorang sang almarhum di alam kubur (barzah) mengalami apa yang disebut “Leo-Leo Toma Kubu ma-Daha”. Pada pelaksanaan tahlil Dina lamo ini, para peserta tahlilan mengenakan kalungan bunga khusus di atas kepala mereka (lihat gambar). Setelah selesai mereka istirahat sebentar, sementara yang lainnya (hadirin yang tidak ikut tahlilan) mempersiapkan dan mengatur maklanan adat di atas meja panjang tempat dilaksanakannya tahlilan Dina Lamo tadi. Namun dalam pelaksanaan bacaan doa untuk menyantap makanan adat, kalungan bunga di kepala peserta tahlilan tidak dikenakan lagi. Makanan yang disajikan sama persis seperti pembahasan pada artikel sebelumnya (Makna Filosofis Tradisi saro-Saro dan Joko Kaha….).
Pada menjelang ba’da Isya, dilanjutkan dengan tahlilan malam. Tahlilan berikutnya adalah malam hari ke-9 dan malam hari ke-11. Pelaksanaan tahlilan ini sama seperti pada malam-malam sebelumnya. Pada hari ke-11 ini dilaksanakn apa yang disebut “Hoi Gunyihi” (bongkar Tempat/pusara di kamar tidur) pada sore harinya seperti penjelasan di atas. Selain Hoi Gunyihi ini, terdapat satu tradisi lama masyarakat Ternate, yaitu “Parasi”. Tradisi ini dilakukan di bagian belakang rumah duka. Tradisi Parasi adalah tradisi saling menyiram dengan air bekas cucian beras, saling kejar-mengejar untuk menggosok kotoran hitam dari belanga yang sudah di oleskan ke tangan untuk dioleskan lagi ke wajah siapa saja yang ditemui di sekitar dapur ataupun di sekitar belakang rumah duka. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh keluarga duka, sanak family dan kerabat yang sejak hari pertama kematian datang membantu memasak (Lian) selama pelaksanaan Dina-Dina di rumah duka.
Suasana di belakang rumah menjadi hiruk-pikuk dan penuh tawa dan saling kejar-mengejar satu sama lainnya. Satu batasan yang harus dipatuhi adalah, saling mengejar dan beraksi dalam tradisi ini hanya di bagian dalam rumah hingga ke belakang saja, tidak boleh sampai ke depan rumah atau di jalan raya depan rumah. Makna dari tradisi ini adalah saling menghibur dan mmenghuilangkan kesedihan setelah ditinggal sang almarhum selamanya. Saat ini tradisi “Parasi” ini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat kota Ternate, namun di daerah-daerah tertentu masih melakukannya. Kembali kepada pembahasan tentang Sone ma-Dina…. Setelah pelaksanaan Hoi Gunyihi, tahlilan dilaksanakan pada hari ke-15 yang disebut “Sone ma-Dina Futu Nyagirimoi se Romtoha” yang dilakukan pada malam hari setelah sholat Isya. Setelah itu, dilaksanakan tahlilan lagi pada tahlilan hari ke 40 yang disebut dengan “Sone ma-Dina Futu Nyagiraha”. Ada sebagian masyarakat Ternate melakukannya pada hari yang ke-44.
Pada tahlilan Dina Sone pada hari yang ke-40 ini, disertai dengan kegiatan membersihkan kuburan. Kegiatan ini oleh masyarakat Ternate disebut dengan ”Ruba Kubu” (Bersihkan Kuburan) karena sejak hari pertama meninggal hingga hari yang ke 40 begitu banyak bunga rampai dan irisan daun pandan yang ditaburkan di atas pusara/kuburan almarhum sudah sangat banyak dan menumpuk yang dalam bahasa Ternate disebut dengan “Bunga Rampe se Pondak Tofu”. Setelah empat puluh hari kematian, tahlilan dilakukan lagi pada hari yang ke-100, namun sebagian masyarakat Ternate masih melakukannya pada kelipatan sepuluh setelah 40 hari kematian, yaitu hari ke-50, hari ke-60, hari ke-70, hari ke-80 dan hari ke-90. Setelah seratus hari meninggal, masyarakat Ternate malaksanakan tahlilan maninggalnya almarhum pada hari ke 1 tahun meninggalnya almarhum. Namun ada sebagian masyarakat Ternate yang masih melakukannya sebelum satu tahun yaitu pada hari yang ke-200.
***
Sumber : http://indoculture.wordpress.com