Tepukan Berkali-kali untuk "Selendang Merah"

Jakarta - Tepuk tangan berkali-kali terdengar di pementasan drama tari "Selendang Merah" yang berlangsung di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 13 April 2013. Terutama pada beberapa adegan lucu yang dipamerkan oleh para pemeran drama tari tersebut. Misalnya saat mereka beradegan berfoto dengan berbagai gaya lucu.

Tak cuma itu, tiap kali adegan berlangsung menggetarkan lantaran pemain di panggung sedemikian total penjiwaannya, penonton juga tak segan-segan memberi hadiah tepukan tangan.

Terlebih saat pertunjukan usai, tepuk tangan panjang pun berkumandang memberi penghormatan kepada para pendukung pertunjukan yang didukung oleh Djarum Apresiasi Budaya ini.

Situasi ini berbanding terbalik ketika "Selendang Merah" dipentaskan di Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada 6 April 2013, di mana penonton pada malam itu tampak sangat serius mengikuti pertunjukan. Menurut dalang muda Nanang Hape, begitulah 'adat' penonton seni Solo.

"Kalau pertunjukannya bagus mereka diam, tapi kalau jelek mereka cela-cela. Solo adalah test case untuk pertunjukan seni bermutu," tutur Nanang seusai pertunjukan di Teater Jakarta.

Barangkali lantaran penonton di Teater Jakarta sedemikian responsifnya, maka para pemain pun terasa lebih rileks dan leluasa mengekspresikan gerak dan aktingnya.

Jika ada yang mengganjal pada pertunjukan di Sabtu sore itu, lantaran ada suara yang bocor saat adegan di panggung justru sedang serius, "buat apaan sih pak, di mana?" kata suara perempuan yang mendadak muncul itu.

Tentang "Selendang Merah"

Lakon drama tari "Selendang Merah" adalah bagian terakhir dari trilogi drama tari "Opera Jawa" karya Garin Nugroho. "Selendang Merah" menggenapi 'perjalanan' delapan tahun "Opera Jawa" yang terus bertransformasi. Dimulai dari karya film untuk peringatan 250 tahun meninggalnya seniman dunia Amadeus Mozart, sebuah karya instalasi, disusul dengan drama tari "Ranjang Besi", "Tusuk Konde", dan "Selendang Merah".

Trilogi Opera Jawa sesungguhnya meletakkan Jawa sebagai multikultur di tengah multikultur

Indonesia. Maka meski berfokus Jawa, maka tetaplah muncul unsur unsur dari ke-Indonesia-an,

misal unsur budaya Minang hingga Nias. Selain mengolah cerita, Garin juga cukup piawai dalam

mencari pemain-pemain yang cocok untuk setiap pertunjukannya, tak terkecuali pada “Opera Jawa: Selendang Merah” ini. Sruti Respati didapuk sebagai pemeran utama didukung oleh nama-nama yang sudah matang di dunia teater, yakni Endah Laras, Heru, dan Anggono Kusumo.

Dua drama tari sebelumnya bertalian secara perkisahan, karena sama-sama bersandar pada kisah Ramayana. Sedangkan untuk "Selendang Merah", Garin mengaku seri terakhir triloginya itu secara kisah lepas dari dua seri sebelumnya. "Ide cerita Selendang Merah mengacu pada peristiwa yang sedang terjadi di masyarakat, yakni tentang jungkir balik kehidupan, binatang jadi manusia dan manusia jadi binatang," ujar Garin.

Kisah dimulai dengan upaya penangkapan monyet oleh kelompok ledhek yang dipimpin Tuan Ledhek. Selanjutnya monyet itu disebut Hanoman. Hanoman kemudian dilatih secara kejam, yang melahirkan simpati dari istri Tuan Ledhek, bernama Sri Ledhek. Sri Ledhek lalu menyelimuti Hanoman dengan selendang merah. Layaknya arti" dilempar sampur " dalam tradisi Jawa, sampur merah membawa cerita ini dalam perjalanan beragam persoalan.

Rombongan Ledhek Tayub dan monyet lalu berkeliling desa. Di tengah perjalanan, konflik suami istri (Tuan Ledhek dan Sri Ledhek) semakin meruncing.

Tuan Ledhek menganggap istrinya bukanlah milik cinta pribadinya, karena sebagai penari Tayub, lemparan selendang merahnya untuk mengajak penonton menari menjadikan tubuh Sri Ledhek telah jadi milik umum.

Di tengah kesepiannya, Sri Ledhek menganggap kekuasan suaminya telah menjadi kekejaman dan lupa diri, tanpa sadar simpati Sri Ledhek pada Hanoman menjadi percintaan liar. Hanoman terasa lebih manusia. Maka, perjalanan Ledhek ini dibawa selendang merah layaknya dunia sirkus, serba terbalik balik seperti kehidupan ini.

Rombongan Ledhek Tayub ini sampai ke desa yang terkena musibah, ladang ladang mereka diserbu binatang yang dipimpin sekawanan monyet. Pemimpin desa lalu meminta rombongan Ledhek Tayub untuk melakukan upacara tolak bala. Mereka percaya bahwa tolak bala yang dilakukan dengan cara tarian persetubuhan penari tayub dengan monyet akan mengembalikan keseimbangan alam dan manusia.

Hanoman menolak untuk melakukan tari tolak bala, karena yang menyerang adalah monyet-monyet yang tidak lagi mendapatkan makanan, disebabkan hutan-hutan yang sudah hilang, yang menjadi kesalahan manusia itu sendiri.

Tuan Ledhek memaksanya dengan mencambuk tubuh Hanoman secara brutal, lecutan brutal ini juga karena kecemburuan Tuan Ledhek yang sesungguhnya merasakan adanya hubungan Hanoman dengan Sri Ledhek. Sri Ledhek mencoba mencegahnya, namun sia sia.

SriLedhek memberi wanti wanti pada Tuan Ledhek, bahwa darah dari penderitaan manusia akan menjadikan manusia dibawa oleh selendang panjang yang marah, layaknya alam yang marah menjadi sungai penuh darah tanpa ujung.

Pada puncak tolak bala, Hanoman melakukan percumbuan dengan Sri Ledhek di tengah cambukan brutal Tuan Ledhek. Saat puncak percumbuan, Hanoman mengalami tiwikrama (enlightment). Si Monyet merasa dirinya layaknya Hanoman, tidak sekedar binatang, tapi manusia dan dewa.

Hanoman tiba tiba berbalik menantang Tuan Ledhek bertanding kesaktian, merekapun bertarung. Sri Ledhek merasa bahwa sampur merahnya telah membawa sebuah drama kehidupan yang menuntut sebuah keputusan yang tidak mudah bagi dirinya, ditengah dunia yang serba jungkir balik.

-

Arsip Blog

Recent Posts