Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki sejarah panjang tentang proses perubahan bentuk wilayah mereka. Salah satu sejarah panjang yang menyangkut wilayah tersebut adalah sejarah mengenai kerajaan Amanatun yang bagi masyarakat setempat dikenal dengan nama kerajaan Onam atau kadang disebut Tun Am-Fatumean. Kerajaan Amanatun (Onam) yang berada di Timor Tengah mungkin bisa menjadi sebuah contoh, bagaimana wilayah yang dulunya memiliki pemerintahan yang sudah mapan kemudian memutuskan untuk menggabungkan diri menjadi bagian dari negara Indonesia.
Kerajaan Amanatun (onam) merupakan salah satu kerajaan tua yang terletak di Pulau Timor bagian barat wilayah Indonesia. Dalam buku “Raja-Raja Amanatun Yang Berkuasa” karya Don Yesriel Yusa Bunanaek, menceritakan asal usul sejarah kerajaan Amanatun berasal dari tiga orang bersaudara yang menjelajahi timor. Ketiga saudara tersebut adalah Tei Liu Lai, Kaes Sonbai, Tnai Pah Banunaek. Salah satu saudara tersebut yaitu Tnai Pah Banunaek mendirikan kerajaan Amanatun dan menjadi pemimpin pertama kerajaan Amanatun di ibukota Nunkolo yang terletak di wilayah Timor Tengah Selatan.
Nama Amanatun berasal dari kata Ama dan Mnatu yang memiliki arti Bapak dan emas. Konon nama ini bermula dari raja Tnai pah Banunaek yang senang mengenakan busana dan perhiasan dari emas.
Penjelajah dari Cina yang menulis teks Dao Zhi dari tahun 1350, bahkan sejak Dinasti Sung sudah mengenal Timor. Ada beberapa jalur pelayaran dan pintu gerbang pelabuhan laut untuk menuju Timor saat itu. Salah satunya adalah di Batumiao-Batumean Fatumean Tun Am (Tun Am). Pelabuhan di Timor saat itu ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Makasar, Malaka, Jawa, China, dan kemudian –pada abad ke-17 dan 18– Eropa seperti Spanyol, Inggris, Portugis, dan Belanda turut memeriahkan perdagangan.
Awal mula kerajaan Amanatun meliputi wilayah-wilayah kecil yang tersebar, yaitu Noebone dan Noebanu (wilayah Anas). Pada tahun 1913, berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda wilayah Anas bergabung dengan wilayah Timor Tengah Selatan dan menjadi bagian dari kerajaan Amanatun.
Kerajaan Amanatun memiliki masa kejayaan dan keemasan yang membuat kerajaan tersebut menjadi terkenal karena kemakmurannya. Kemakmuran tersebut berasal dari hasil produksi jagung, cendana dan lilin. Cendana merupakan komoditas paling populer dan dicari orang di daerah tersebut. Setengah hasil produksi cendana dan lilin ditukar dengan emas. Produksi cendana yang melimpah serta kualitasnya yang bagus terdengar sampai ke luar negeri. Portugal, Spanyol, Inggris dan Belanda adalah negara yang datang ke kerajaan Amanatun untuk mencari cendana.
Kedatangan orang asing di kerajaan Amanatun ternyata membawa malapetaka. Belanda menjajah kerajaan Amanatun dan nusantara. Penjajahan Belanda terhadap kerajaan Amanatun dilakukan dengan membatasi kekuasaan raja Amanatun. Salah satu pembatasan yang dilakukan oleh penjajah Belanda kepada kerajaan Amanatun adalah membagi Timor kepada beberapa daerah kekuasaan kerajaan. Adapun hal lainnya adalah terjadi kesepakatan antara kerajaan Amanatun dengan pihak Belanda yang mengakibatkan kerugian bagi Kerajaan Amanatun.
Tercatat dalam arsip kuno Portugis “Summaria relaçam do Que Obrerao os relegiozas dan ordem dos pregadores” bahwa pada tahun 1641 ketika bangsa Portugis dan balatentaranya tiba di Kerajaan Amanatun, seorang Padri bernama Frey Lucas da Cruz berhasil membaptiskan (mengkristenkan) seorang raja Amanatun.
Pada tahun 1641 kerajaaan yang terletak di Gunung Sunu (Sonaf Plikuna – Sonaf Ni Fanu) ini kemudian tercatat mendapat serangan dari armada tentara Makassar dibawah pimpinan Raja Tallo dari Kerajaan Gowa-Tallo.
Terjadi perang Penfui pada tanggal 11 Nopember 1749 maka kerajaan Amantun menjadi sekutu Portugis. Salah satu alasan terjadi perang Penfui karena para Raja yang pro kepada Portugis tidak menghendaki adanya pembagian wilayah di Timor khususnya wilayah Timor Barat antara Belanda dengan Portugis.
Residen J A Hazart merupakan residen Timor kelahiran Timor 8 agustus 1873. Saat resident Hazart menjadi residet di Timor maka raja Amanatun pada saat itu adalah raja Muti Banunaek I (atau biasa disebut Raja Kusat Muti ). Residen Hazart memerintah antara tahun 1810-1811, dan pada tahun 1811 Nusantara diserahkan ke Inggris dan baru dikembalikan kepada Belanda pada tahun 1816 dan residen Hazart kembali berkuasa. Banyak hal yang diperbuat Hazart saat menjadi residen Timor seperti : – Daerah pertahanan VOC di pantai utara Timor ( Manulae hingga Pariti pada tahun 1819 dipenuhi oleh orang-orang Rote yang didatangkan oleh Belanda sebagai pagar hidup Belanda untuk mencegah serangan dari raja-raja Timor sepeti Amarasi, Amanuban dan Amanatun.
Belanda melakukan politik adu domba (devide et empera) sebagai upaya membatasi kekuasaan kerajaan Amanatun. Bekas wilayah Kerajaan Amanatun dibagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yakni; Miomaffo, Mollo, dan Fatule’u. Ketiga kerajaan ini berada di bawah onderafdeeling (pemerintahan setingkat kabupaten) yang berbeda. Kerajaan Miomaffo berada di bawah Onderafdeeling Noord Midden Timor (Timor Tengah Utara). Kerajaan Mollo dimasukkan ke dalam Onderafdeeling Zuid Midden Timor (Timor Tengah Selatan). Dan Kerajaan Fatule’u di bawah Onderafdeeling Kupang (Wadu, 2003:63). Sedangkan Onderafdeeling Zuid Midden Timor (Timor Tengah Selatan) hanya meliputi tiga landscappen (kerajaan kecil) yakni; Kerajaan Mollo, Amanuban, dan Amanatun (Fobia, 1995: 48).
Pada saat Raja Muti Banunaek II diasingkan ke Flores, pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan pemindahan batas kerajaan yang sudah ditetapkan oleh Raja Liurai (Belu) dengan Raja Banunaek (Amanatun). Adapun pemindahan tersebut berlangsung pada bulan Juni 1917 (zaman Raja Kusa Banunaek). Dengan memindahkan batas antara kedua kerajaan tua, yaitu perpindahan batas dari Betun ke We Baria Mata, Malaka. Disahkan dengan penandatanganan persehatian perbatasan ini oleh Belanda pada 25 Juli 1917. Perpindahan batas ini sebagai reaksi balas dendam pemerintah kolonial Belanda terhadap Raja Amanatun karena gugurnya tentara Belanda saat melakukan infasi ke Amanatun.
Tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah kalah kepada Jepang dan pemerintah Nipoon mulai berkuasa. Kekuasaan Jepang di wilayah Indonesia Timur dibawa kekuasaan Kaigun dan berpusat di Makasar. Khususnya di wilayah Indonesia Timur –Sunda Kecil –Nusa Tenggara dipimpin oleh Minseifu Cocan di Singaraja. Di dalam Mainsebu Cokan terdapat dewan perwakilan yang mewakili raja-raja.
Atas kehendak dari Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja Laka Banunaek) –raja terakhir kerajaan Amanatun– pada tahun 1951 daerah Oinlasi dipilih dan ditetapkan menjadi ibukota dan pusat pemerintahan swapraja Amanatun. Dengan pertimbangan aksesibilitas dengan kota SoE. Kota Oinlasi letaknya berjarak 46 km dari Kota SoE dan hingga kini menjadi ibu kota kecamatan Amanatun Selatan.
Memasuki masa kemerdekaan Indonesia maka Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek kemudian menjadi Kepala Daerah Swapraja Amanatun. Yang menjadi Kepala Daerah Swapraja adalah Raja, sedangkan kalau Rajanya sudah wafat maka diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Swapraja dari keturunan bangsawan, tetapi dia bukan seorang Raja.
Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek bersama dengan Raja-Raja di Nusa Tenggara Timur lainya kemudian tergabung dalam Dewan Raja-Raja. Mereka memiliki peranan yang penting dalam pembentukan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah wilayah yang sebelumnya termasuk ke dalam Propinsi Sunda Kecil.
Keputusan Presiden No 202/1956 bahwa Nusa Tenggara dalam PP Ris No 21/1950 Lembaran Negara RIS tahun 1950 No.59 menjadi tiga daerah tingkat satu. Kemudian dengan UU No 1 tahun 1957 – UU No 64/1958 Nusa Tenggara menjadi tiga daerah Swatantra tingkat I. Kemudian berdasarkan UU no 69 tahun 1958 maka terbentuklah daerah Swatantra tingkat II di Nusa Tenggara Timur dengan 12 Kabupaten.
***
Sumber: wacananusantara.org
Foto: wacananusantara.org