Denpasar, Bali - Pengamat budaya dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr Ketut Sumadi menilai, wisatawan mancanegara (wisman) dalam menikmati liburannya di Bali ikut berbaur dengan masyarakat setempat menyaksikan prosesi ritual.
"Bahkan turis itu sering kali tampak ikut bersuka ria atau makan bersama dengan beberapa penduduk lokal merupakan salah satu bentuk makna religius dari transformasi nilai-nilai kearifan lokal Bali dalam pengembangan pariwisata," kata Dr Ketut Sumadi yang juga Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar, Minggu (23/2/2014).
Warga desa adat (pekraman) di Bali tampaknya telah menyadari bahwa agama atau yang religius lahir tidak hanya untuk mengagung-agungkan zat Yang Maha Agung, tetapi juga untuk mengangkat derajat kemanusiaan.
"Visi kemanusiaan yang kuat, bukan hanya terlihat dalam ajaran-ajaran normatif semua agama, tetapi juga pada teladan yang diberikan oleh umatnya," ujar Sumadi.
Dia menambahkan agama mendorong umatnya untuk menebar kasih sayang, saling menolong dan saling menghargai setiap saat di mana pun berada, termasuk menyayangi wisatawan yang sedang berwisata di Bali.
Spirit universal ajaran "tat twam asi" yang tercermin dari sayang kepada wisatawan dalam pengembangan pariwisata Pulau Dewata dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan prilaku religius orang Bali dalam menjaga kehidupan masyarakat yang tentram, damai, dan sejahtera.
"Jika ajaran tat twam asi telah tercermin dalam kehidupan sehari-hari, maka pariwisata akan terus berkembang dan dapat memberi kesejahteraan kepada masyarakat Desa Adat," ujar Sumadi yang pernah melakukan penelitian tentang ritual dan adat dalam lingkungan desa adat Kuta, Kabupaten Badung.
"Orang luar daerah mungkin kaget melihat sikap orang Bali yang sangat menyayangi dan memberi kebebasan kepada wisatawan berinteraksi dengan krama desa adat," katanya.
Sikap keterbukaan dan ajaran "tat twam asi" itulah yang disenangi wisatawan sehingga mereka tidak takut berkunjung ke Bali, walaupun di Kuta pernah terjadi tragedi kemanusiaan.
"Kondisi yang aman dan tenteram akan terus terjaga dengan baik secara niskala (gaib) melalui ritual maupun secara nyata (sekala) melalui penjagaan oleh aparat keamanan bersama petugas keamanan desa adat (pecalang)," tambah Sumadi.
Sumber: http://travel.kompas.com