“Raja Melayu”, Restoran dengan Aneka Hidangan Masakan Melayu

Bandung - Satu restoran dengan banyak hidangan mudah dijumpai. Tapi, satu rumah makan dengan banyak hidangan dari berbagai daerah, sulit ditemukan. Namun kini, Anda tak perlu susah-susah mencari aneka hidangan di satu tempat yang disajikan dengan cara representatif.

Meminjam istilah one stop service, Rumah Makan Raja Melayu adalah tempatnya. Di restoran yang baru dibuka di Jl Citarum, Bandung, awal Mei ini, dihidangkan hampir 250 menu dari rencana akhir 800 menu. “Ini merupakan restoran Melayu pertama yang menawarkan aneka hidangan asli Melayu dari Aceh hingga Lampung. Ini sekaligus menjadi jembatan budaya Melayu di tanah Parahyangan,” papar Arief Wirawangsadita, pemilik RM Raja Melayu.

Sesuai dengan namanya, masakan yang ditawarkan adalah aneka makanan Melayu yang jarang ditemui di tempat lain. Namun demikian, masakan itu menjadi favorit di daerah asalnya. Jika Anda mengidamkan makanan dari Aceh, seperti gulai pli‘u, gulai Aceh, mi Aceh, roti jala, rujak Aceh, tak perlu jauh-jauh ke Aceh, cukup mampir ke Bandung di RM Raja Melayu.

Di sini juga tersedia aneka masakan dari Sumatra Utara: mi kocok Medan, cumi bumbu satai, gulai daun singkong; Jambi: puturan, buhur, rusip; Riau: gulai lada hitam, nasi kunyit, gulai rampai; Sumatra Selatan: pindang ikan patin, paru masak hijau, pale tempoya; Melayu Deli: kangkung belacan. Tak hanya makanan, berbagai minuman khas Melayu juga tersedia. Di antaranya adalah tape ketan float, Melayu colada, liang tea, teh/kopi tarik, dan es rayuan Palembang. Ragam masakan itu, kata Arief, didapat setelah melalui survei yang mendalam ke beberapa pihak yang memang ahli kuliner.

Bahkan, untuk menunjukkan keaslian cita rasa masakan, pihaknya mengundang secara langsung juru masak di berbagai provinsi yang tersebar di Sumatra untuk menjadi chef di RM Raja Melayu. Sebelumnya, pihaknya juga melakukan tur selama enam bulan ke berbagai daerah di Sumatra meminta dukungan dibukanya restoran ini. “Hasilnya, beberapa pemerintah daerah di Sumatera sangat antusias dan mengirimkan juru masak-juru masak andalannya ke RM Raja Melayu.”

Tidak itu saja, adakalanya ibu-ibu di berbagai belahan Sumatra datang sendiri ke Raja Melayu. Mereka tak segan untuk mengajarkan cara memasak versi orisinal. Bahan-bahan untuk membuat aneka makanan Melayu inipun didatangkan dari tempat asalnya. Untuk menjamin agar wong Palembang merasakan lezat dan gurihnya daging ikan patin misalnya, RM Raja Melayu mendatangkan langsung ikan patin dari Sungai Musi, Palembang. “Bumbu-bumbunya juga kita kirim dari sana,” tutur Arief.

Demikian pula bahan baku untuk membuat mi Aceh. “Mi-nya khusus langsung kita datangkan dari Aceh,” kata dia. Memang, keaslian bahan baku masakan ini berimplikasi kepada harga, walau dia menegaskan tak terlalu signifikan. Dia pun menyatakan, tak mematok harga khusus yang terlalu tinggi. Rata-rata, masakan di restoran ini berkisar antara Rp 4.000 sampai yang paling mahal Rp 50 ribu, yaitu kepala ikan kakap. “Beban ongkos produksi bisa kita bagi. Kita kan mau mendapatkan yang lebih otentik.”

Festival makanan
Untuk memanjakan pengunjung, di rumah makan yang menyediakan 210 tempat duduk itu diadakan festival makanan daerah setiap bulan. Mulai bulan ini, berturut-turut akan diadakan festival makanan Jambi, Sumatra Barat, dan Bengkulu. Daerah lainnya bakal menyusul. Pada saat festival itu, makanan yang ditonjolkan adalah makanan daerah yang menjadi topik festival.

Namun jangan takut makanan favorit Anda di luar topik tak tersedia. Makanan yang diunggulkan dari daerah Bengkulu dan Palembang tetap disediakan meski ada festival makanan Lampung. “Misalnya, rendang Padang tetap ada selama berbagai musim festival.”

Berbicara makanan Melayu, selalu yang tergambar adalah berlemak dan berkolesterol. Namun, Arief menampik anggapan yang tak sepenuhnya benar tersebut. Menurutnya, dalam setiap masakan asli Sumatra, selalu disertakan rempah-rempah. Rempah-rempah itulah yang sebenarnya menjadi unsur penetral. “Dengan pencampuran itu, kadar kolesterol bisa diminimalisir. Jadi, jangan khawatir.”

Keanekaragaman masakan Melayu tersebut, lanjut Arief, dikombinasikan dengan sistem pelayanan modern. Balutan suasana dan dekorasi interior modern tapi bernuansa Melayu tetap kental terasa. Apalagi, pelayan restoran diwajibkan mengenakan busana Melayu sehari-harinya, kecuali pada hari Sabtu. “Kita ingin mencampur dengan yang modern agar progresif.” Karena itu, tak tanggung-tanggung, dia berani mengeluarkan Rp 4,3 miliar untuk investasi ini.

Berbicara dalam lingkup global, nilai itu sebenarnya tak seberapa. Sebab, katanya, Malaysia saja berani menggalakkan gerakan dibangunnya 2.000 restoran Melayu sedunia. Mereka siap bertempur dengan Thailand yang telah lebih dulu melakukan gerakan serupa. Ke depan, dia punya cita-cita tak hanya membuka di Bandung, tapi juga ke tempat lain, seperti Jakarta. Jenis makanannya pun diperluas, mencakup juga jajanan pasar dari berbagai daerah di Sumatra.

Sumber: Republika.co.id (21 Mei 2007)
-

Arsip Blog

Recent Posts