Bandung, Jabar – Alunan saron disambut tepukan gendang. Kedua alat musik gamelan itu kemudian mengiringi senandung sepuluh perempuan yang duduk di depan panggung. "Timang, timang burung, sayang," ucap mereka. Lagu tradisional Malaysia berjudul Timang Burung itu berjalan lambat. Seorang perempuan yang berada di tengah berperan sebagai putri raja. Sisanya sebagai dayang-dayang istana.
Selanjutnya, sejumlah pemain gamelan pria berbusana tradisional naik ke atas panggung. Kehadiran mereka membuat panggung kian semarak. Setelah Timang Burung, lagu-lagu yang disuguhkan tak lagi mendayu-dayu, namun dalam irama yang lebih cepat. Puncaknya adalah lagu lagu berjudul Pon Pong Along yang rancak.
Inilah komposisi lagu gamelan tradisional garapan Sanggar Kirana dari Universiti Teknologi Petronas, Perak, Malaysia. Kelompok beranggotakan 19 pemain gamelan sekaligus penyanyi itu datang ke Bandung sebagai peserta Festival Gamelan Jawa Internasional di Aula Barat Institut Teknologi Bandung, Sabtu dan Ahad ( 11-12 Juni 2011). “Ini gamelan Melayu, lagunya mendayu-dayu,” kata Mohammad Fakrurradhi Hamthan, alias Rudi, si pemain gendang.
Festival yang diadakan Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan (PSTK) Jawa Institut Teknologi Bandung dimeriahkan sembilan kelompok peserta dan empat penampil. Tak hanya diikuti kelompok gamelan tanah air, kegiatan ini juga diikuti kelompok gamelan asal Malaysia dan Singapura. “Tiga calon peserta dari Amerika Serikat dan Inggris batal hadir karena masalah waktu,” jelas ketua panitia Teguh Wibowo.
Peserta yang tampil pada perhelatan ini adalah UKJGS Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sanggar Kirana dari Universitas Teknologi Petronas Malaysia, Gamelan Asmarandana Singapura, Laras Udan Asih dan Seta Kresna Wirama dari Universitas Indonesia Himpunan Mahasiswa Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Puspatarini Jakarta, Laksita Mardhawa Jakarta, dan Metri Budaya dari PT Telkom Bandung.
Masing-masing kelompok diberi waktu maksimal satu jam untuk menunjukan kepiawaian mereka memainkan gending tradisional dan kontemporer. “Juri akan memilih dua kelompok terbaik,” jelas Teguh. Festival gamelan sendiri digelar untuk kembali mempopulerkan musik gamelan dan membangkitkan kembali kelompok-kelompok gamelan di Indonesia.
Kehadiran kelompok gamelan asal Malaysia memberikan warna tersendiri .Ketua tim gamelan Malaysia Ahmad bin pg. Abdullah mengatakan yang disuguhkan kelompok di atas panggung adalah gamelan melayu. “Iramanya tidak laju seperti gamelan Jawa karena di Malaysia gamelan dulunya musik istana,” katanya.
Gamelan masuk ke Malaysia di awal abad ke-20. Saat itu Kesultanan Pahang yang dipimpin Sultan Ahmad Muadzam Shah, melawat ke Kesultanan Aceh. Di sana Sultan tertarik dengan bunyi gamelan yang didengarnya. Sebagai buah tangan, Kesultanan Aceh lalu mengirim satu set gamelan ke Pahang.
Rudi menuturkan permainan gamelan di Malaysia yang disajikan untuk raja atau sultan itu selalu dilengkapi oleh kehadiran penari.Namun, pada Festifal Gamelan di Bandung mereka tak mengikutsertakan penari karena terbentur oleh ongkos yang mahal.
Sejarah masuknya gamelan ke Malaysia tertuang lewat irama gending tradisional. Uniknya, di sela-sela lagu, mereka juga menyelipkan pertunjukana drama. Hanya sedikit dialog yang diucapkan oleh beberapa pemain. Selebihnya, lewat syair lagu.
Pada sesi kontemporer, ciri gamelan Melayu itu berubah lebih dinamis. Berturut-turut Sanggar Kirana membawakan gubahan lagu Gamalai Sari, Sanggar Kirana, I Love You More Than I Can Say, dan Dayung Sampan sebagai penutup. Mereka mengemas susunan lagu itu dengan balutan cerita tentang percintaan anak raja atau sultan.
Dibandingkan gamelan Jawa, gamelan melayu memang sedikit berbeda. Kalau pertunjukan gamelan Jawa lazimnya dibuka oleh pukulan gendang atau bonang, gamelan melayu selalu diawali dengan pukulan gong. Gamelan Melayu juga menggunakan empat gendang, bukan satu gendang seperti pada gamelan Jawa. Perbedaan lainnya, para pemain gamelan Melayu terbiasa bermain laras gamelan di nada dasar B, sedangkan pada gamelan Jawa berada di nada C.
Meskipun demikian, baik gamelan Jawa maupun gamelan Melayu punya daya tarik tersendiri. Dan tepuk tangan panjang pun mengakhiri pertunjukan mereka.
Sumber: http://www.tempointeraktif.com