Jembatan Merah Berpagar Gedung Tua

Oleh Kris Razianto Mada dan Nina Susilo

Gedung Internationale Crediet en Verening Rotterdam atau dikenal Internatio masih berdiri di barat Jembatan Merah, Surabaya. Kantor Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij berdiri di timur jembatan atau di Jalan Kembang Jepun. Persis seperti digambarkan Remy Sylado dalam novel ”Kembang Jepun”.

Bedanya, pada Rabu (3/11) siang, Internatio berdiri muram terkepung pedagang kaki lima (PKL), angkot, dan becak. Tak ada aktivitas dalam gedung tempat pemimpin pasukan sekutu Brigadir Jenderal AWS Mallaby tewas pada 31 Oktober 1945 itu. Kematian itu memicu peristiwa 10 November 1945. Gedung itu kini dipagar seng dan sudah bertahun-tahun sama sekali tidak ada kegiatan di dalamnya. Ia bahkan menjelma menjadi gedung tua walau secara arsitektural masih tampak menawan.

Sementara Kantor Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij tetap beroperasi sebagai bank. Tentu dengan nama baru, Bank Mandiri, nama keempat sejak bank itu beroperasi di Indonesia pada 1857. Pada tahun 1958, bank itu berganti nama menjadi PT Escomptobank. Kemudian namanya berubah menjadi Bank Dagang Negara pada April 1960. Selanjutnya bersama Bank Exim, Bapindo, dan Bank Bumi Daya (BBD), BDN dilebur menjadi Bank Mandiri.

Tentu tidak semua gedung di sekitar jembatan merah masih berdiri. Tepat di utara jembatan pernah berdiri kantor Residen Surabaya. Sekarang, sama sekali tidak ada bekas kantor itu. Lahan bekas kantor itu termasuk halaman Jembatan Merah Plaza, salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya.

Kawasan ini sesungguhnya menjadi identitas ”baru” kota Surabaya, setelah bergerak dari zaman Majapahit, Mataram, lalu masa pemerintahan kolonial. Sebab dari Jembatan Merah inilah meluncur ucapan Surabaya sebagai kota pahlawan. Muhammad Subur (78), seorang tukang becak yang setiap hari mangkal di Jembatan Merah bisa dengan antusias bercerita soal Surabaya tempo dulu. Bahkan, ia mengatakan ikut bertempur melawan pasukan sekutu pada 10 November 1945.

Pemerintahan
Hingga 1905, kantor Residen Surabaya menjadi pusat pemerintahan Surabaya. Pembangunan terus berkembang di sekitar kawasan yang dulu disebut Willem Plein itu. Apalagi, sebelum pelabuhan Tanjung Perak selesai dibangun pada 1910, kapal layar bersandar di sekitar jembatan merah sekarang.

Di barat Jembatan Merah, seperti Jalan Jembatan Merah (dulu disebut Willenstraat) dan Jalan Rajawali (Heerenstraat), dipenuhi pedagang besar Eropa. Maskapai dan bank-bank kebanyakan berada di wilayah ini. Sebagian besar gedung masih digunakan aneka perusahaan dan keasliannya relatif terjaga.

Sementara kawasan timur jembatan diperuntukkan bagi warga Asia, seperti Tionghoa, Arab, dan Melayu. Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Dukut Imam Widodo, mencatat masyarakat China sebagai golongan yang sangat penting di Surabaya. Pada awalnya mereka mendiami suatu wilayah yang disebut Chinese Kamps atau Kampung Cina, di sebelah timur Kali Mas. Jalan-jalan yang didiami warga Tionghoa itu antara lain Chinesevorstraat atau kini Jalan Karet, dan Hendelstraat atau kini dikenal Kembang Jepun.

Kini sebagian gedung di Jalan Karet tidak difungsikan dan tampak berdebu dalam bentuk aslinya. Sementara sebagian lagi berfungsi sebagai gudang atau aneka kantor. Sayang gedung itu sudah berganti rupa menjadi ruko. Pergantian rupa juga terlihat di Jalan Kembang Jepun bagian timur.

Bukti bahwa kawasan ini pernah menjadi kawasan kebanggaan, tidak saja karena menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga karena heroisme arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan mengorbankan darah, pencipta lagu Gesang pun melukiskannya dengan lirik, ”Jembatan Merah, sungguh gagah, berpagar gedung indah. Sepanjang hari, yang melintasi, silih berganti....”

Dijaga
Pengamat perkotaan, Johan Silas, yang turut serta merumuskan pedoman pembangunan kota Surabaya sejak tahun 1965 mengatakan, kawasan Jembatan Merah sejak semula ”disisihkan” dalam pengembangan kota. ”Kawasan itu tetap kita perlakukan sebagai kawasan preservasi. Tidak boleh diapa-apakan dulu....” ujar Silas.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pun menuturkan bahwa ia sungguh berhati-hati di dalam pengelolaan kawasan tua, seperti Jembatan Merah. Pihaknya sedang membangun Taman Jayengrono untuk mempercantik kawasan. ”Kita bangun taman agar kawasan itu juga hidup, tidak berkesan kusam,” tutur Tri Rismaharini.

Tri juga berencana membuat subterminal untuk menampung angkutan umum yang sekarang meluber di jalanan, tepat di sisi Gedung Internatio. ”Semua harus pelan-pelan karena menyangkut kepentingan banyak orang,” katanya.

Dalam kondisi demikian, pemerhati cagar budaya Freddy H Istanto menilai data tidak terwujud (intangible) yang dipendam kawasan Jembatan Merah harus tetap dilestarikan. Data itu berupa semangat kesetiaan, keberanian, dan kegagahan yang kemudian menjadi identitas kota.

Jembatan Merah boleh tua dan dipagari gedung-gedung tua, tetapi kawasan ini telah turut andil membangun citra Surabaya dalam pentas internasional: heroisme!

Sumber: cetak.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts