Oleh: Yenti Garnasih
MENCERMATI pemilihan presiden, tampaknya agenda politik mereka hanya dititikberatkan pada kebijakan dan pola perekonomian yang akan diterapkan seandainya mereka terpilih. Tidak satu pun pasangan calon yang memprioritaskan agendanya pada penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang nyata-nyata masih sangat marak.
SBY, yang pada lima tahun lalu begitu bersemangat memberantas korupsi, sampai sempat menunjukkan borgol bagi koruptor dan bagi dirinya bila terlibat korupsi, kini malah malu-malu kucing untuk berteriak lantang tentang pemberantasan ini. Demikian juga pasangan JK dan juga Megawati, sikap politik mereka terhadap pemberantasan korupsi ternyata dingin-dingin saja, dan agenda pemberantasan korupsi hanya diselipkan dalam urutan kesekian yang nyaris tak terdengar.
Permasalahan ekonomi memang penting, tetapi bukanlah satu-satunya, dan sangat tidak logis membicarakan pembangunan ekonomi tanpa bicara soal kebijakan lain yang sangat terkait, yaitu korupsi, yang justru bisa menjadi musuh besarnya, karena korupsi bisa menggoyahkan sendi perekonomian yang dibangun dengan susah payah itu. Kita harus tetap waspada terhadap bahaya korupsi, begitu besar kerugian negara akibat korupsi dan upaya mengembalikan uang rakyat yang dikorup tersebut selalu gagal. Selain itu, korupsi ditengarai sangat dekat dengan kekuasaan dan dengan kroni pejabat. Maka, bila para pasangan calon tidak mengagendakan pemberantasan korupsi, itu sama saja dengan sengaja menyengsarakan rakyat, karena korupsilah yang mengakibatkan kemiskinan rakyat. Jadi, bagaimana mungkin bicara pembangunan ekonomi rakyat tetapi membuka peluang besar bagi para koruptor yang akan menyedot uang rakyat.
Dengan tidak adanya dengung pemberantas korupsi dari para pasangan calon tersebut, semakin besar kecurigaan kita bahwa bangsa ini tidak sungguh-sungguh dalam upaya pemberantasan korupsi. Sebetulnya, kecurigaan adanya pelemahan komitmen pemberantasan korupsi justru diarahkan ke DPR dan pemerintah, kebetulan kedua lembaga negara ini kini sedang sangat sibuk dan berfokus pada pelaksanaan pemilihan presiden. Perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia memang sungguh sangat terjal dan banyak rintangan, di mana tidak hanya berkaitan dengan profesionalitas dan integritas para penegak hukum menghadapi permasalahan substansi pembuktian, tetapi juga berbagai sandungan yang justru muncul dari lembaga lembaga negara yang seharusnya turut membentengi agar upaya ini tidak surut. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, banyak kebijakan dan juga produk hukum lainnya yang justru meluluhlantakkan semangat untuk pemberantasan korupsi.
Pelemahan upaya pemberantasan korupsi yang terjadi dalam kurun 5 tahun terakhir berasal dari DPR dan pemerintah dan juga merupakan dampak putusan Mahkamah Konstitusi. DPR, yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga tempat penyaluran aspirasi rakyat, malah kerap kali bertindak tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Kita tidak lupa bahwa DPR pernah meminta Departemen Keuangan menangguhkan pemberian tambahan anggaran Rp 90 miliar kepada KPK untuk kebutuhan rumah tahanan dengan alasan belum pernah dibahas oleh Komisi III meski sudah diajukan.
Pernah juga DPR menghalangi penggeledahan yang dilakukan KPK terhadap ruang kerja anggota DPR yang terlibat korupsi, kemudian bagaimana dengan lantangnya mereka mempersoalkan kepemimpinan KPK yang dipegang oleh 4 orang secara bergantian setelah ditahannya Ketua KPK, padahal Undang-Undang KPK dan terpilihnya Antasari juga sangat berkaitan dengan keputusan mereka. Selain itu, dalam Undang-Undang KPK memang dinyatakan bahwa KPK dipimpin secara kolektif bukan kolektif kolegial, jadi tidak ada masalah.
Dan, yang paling mengkhawatirkan adalah sikap DPR yang sangat lamban atas pembahasan dan pengesahan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dan bila sampai waktu yang diberikan MK, yaitu 18 Desember 2009, belum selesai, Pengadilan Tipikor, yang selama ini memberikan angin segar bagi pemberantasan korupsi, bisa tinggal kenangan. Bila ini terjadi, terbukti sudah, memang tidak ada goodwill dari legislator untuk mengesahkannya, padahal RUU ini telah masuk ke DPR sejak Agustus 2008 dan tampaknya memang tidak diprioritaskan.
Sebetulnya, bila DPR serius, hal ini tidak perlu terjadi. Bila saja dua partai besar di DPR ingat akan amanat rakyat bahwa pemberantasan korupsi sangat penting dan mau mendorong untuk dilakukan pembahasan RUU itu, Pengadilan ini bisa diselamatkan. Tapi tampaknya pengesahan ini sangat sarat dengan muatan kepentingan politik semata, dan kepentingan rakyat menjadi tumbalnya. Selain DPR memang tidak memprioritaskan RUU ini, konsentrasi fraksi-fraksi di DPR lebih kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden serta beberapa RUU yang justru tidak terlalu mendesak.
Seandainya Pengadilan Tipikor nanti benar-benar tamat riwayatnya, tentunya hal ini tidak terlepas dan sebagai akibat munculnya putusan MK. Mungkin juga perlu direnungkan lagi, apakah pertimbangan putusan MK semata mata sekadar adanya pertentangan dengan konstitusi tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat yang lebih besar. Bahkan sebelumnya MK juga menghapuskan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Korupsi yang menyatakan bahwa "perbuatan melanggar hukum termasuk hukum tidak tertulis", dalam uji materiilnya. Hal ini bisa saja diartikan adanya sikap kurang mendukung terhadap gerakan pemberantasan korupsi yang dicanangkan.
Pemerintah juga gamang. Misalnya, honor personel KPK dan hakim tipikor yang sempat lama tertunda. Bagaimana mungkin menyetujui lembaganya, sedangkan tersendat pada pembiayaannya. Namun, bila untuk proyek pengadaan, anggaran begitu mudah turun dan pada umumnya pasti berakhir dengan korupsi. Selalu saja ada kebocoran dana. Terakhir bahkan BPKP akan menarik personelnya sebanyak 58 orang yang selama ini ditempatkan di KPK. Kebijakan seperti ini semakin menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah tidak serius dalam pemberantasan korupsi.
Agenda Percepatan Pemberantasan Korupsi yang dicanangkan SBY ternyata juga tidak diikuti dengan upaya mempercepat pengesahan RUU Pengadilan Tipikor. Sungguh sangat disayangkan bila pada akhirnya Pengadilan Tipikor tidak dapat diselamatkan, padahal pengadilan ini dibentuk untuk mengikis citra buruk pengadilan dan aparat penegak hukum di Indonesia terutama berkaitan dengan penanganan korupsi. KPK dan Pengadilan Tipikor telah mendapat simpati masyarakat Indonesia dan menumbuhkan kembali kepercayaan terhadap peradilan di Indonesia. Apa pun wacana yang muncul, bila Pengadilan Tipikor bubar dengan sendirinya, peran KPK juga mandul, sangat sulit dipercaya pengadilan umum mau bersinergi dengan KPK.
Di Indonesia, korupsi telah menyebar hampir ke semua sendi kehidupan bangsa, dan akan berdampak negatif terhadap perekonomian serta kehidupan perpolitikan, proses demokrasi, merusak lembaga-lembaga, dan pada akhirnya menyengsarakan rakyat. Maka, bila pemberantasan korupsi tidak menjadi agenda penting bagi para pasangan calon, jangan harap agenda perekonomian kerakyatan yang ditawarkan berujung pada kemakmuran. Yang ada malah masyarakat akan semakin sengsara karena kekayaan negara digerogoti para koruptor. *
Yenti Garnasih, Dosen/Sekretaris Pusat Studi Hukum Pidana FH Universitas Trisakti
Sumber : Koran Tempo, Sabtu, 13 Juni 2009