Siak, Riau - Perlawanan budayawan Riau agar kawasan bisnis tak dibangun di Bandar Serai terus bergulir.
"Jika tetap dibangun kawasan bisnis, Pemprov sudah mengingkari visi Riau menjadi pusat kebudayaan Melayu," sergah budayawan Riau, Tenas Effendi, Selasa (24/01), di kediamannya.
Akhir pekan lalu, kalangan budayawan dan seniman Riau melakukan pertemuan dengan Gubernur Riau H.M. Rusli Zainal di kediaman Tenas Effendi, Jalan Pasir Putih, Siak Hulu, Kampar.
Pertemuan dengan Gubri itu membahas rencana Pemprov Riau membangun kawasan bisnis di arena Purna MTQ Bandar Serai. Selasa (24/01) kemarin, di tempat sama, budayawan dan seniman Riau kembali berkumpul, menggelar konfrensi pers dengan media lokal.
Pertemuan itu dihadiri Al-Azhar, Fakhrunas MA Jabbar, Dandun Wibawa, Zuarman Ahmad, Danjte Muis, Deddy Ariandi, dan Tenas Effendi selaku tuan rumah.
Suasana pertemuan terasa dibalut kabut tipis, bagaikan hilang harapan. Kendati demikian, kalangan budayawan dan seniman tetap menunjukkan kegagahan dibalik ketakberdayaan.
"Dalam pertemuan dengan Gubernur Riau kemarin, kita belum sempat membuat kesimpulan karena keterbatasan waktu untuk sholat Jumat. Dalam kesempatan ini kita sampaikan bahwa usai menjadi tuan rumah MTQ tahun 1994, kawasan Bandar Serai sudah disepakati menjadi kawasan kebudayaan. Hal inipun diperkokoh dengan dicetuskannya Visi Riau 2020. Jika sekarang tiba-tiba Pemrov Riau membangun kawasan bisnis dalam areal 13,4 hektar itu, ini sama saja mengingkari visi Riau menjadi pusat kebudayaan Melayu," ungkap Al-Azhar, budayawan muda Riau.
Kerisauan yang disuarakan Al-Azhar ini juga diamini budayawan Tenas Effendi. Tenas mengaku sangat kecewa begitu mengetahui kawasan yang berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Pekanbaru menjadi kawasan budaya, bakal tercemarkan dengan kehadiran mal, hotel berbintang, dan arena biliard yang dinilai tidak sejalan dengan kebudayaan Melayu yang Islami.
Tenas juga menyesalkan sikap Pemprov Riau yang tidak mau berunding dan melibatkan budayawan serta seniman Riau dalam mengembangkan kawasan Bandar Serai.
"Kebijakan memperuntukkan Bandar Serai menjadi kawasan budaya juga sejalan dengan RTRW Kota Pekanbaru. Jadi, apapun bentuk bangunan yang akan dikembangkan di sini, jangan sampai mencemari histori purna MTQ-nya yang Islami. Kita juga meminta setiap bangunan yang akan dikembangkan di sini harus mencerminkan roh Melayu. Pada dasarnya, kita tidak ada yang setuju jika Bandar Serai dibangun kawasan bisnis. Tapi dalam pertemuan kemarin ternyata Pemprov Riau sudah membuat keputusan tetap akan membangunnya. Semestinya kita juga diajak berunding dan dimintai pendapat sebelum hal itu dikerjakan. Seharusnya, dalam membuat perencanaan tata ruang haruslah dilakukan dengan matang. Jangan sampai kawasan budaya malah tenggelam oleh kawasan bisnis yang terus menjalar dan menggurita. Jika perencanaan tata ruang dilakukan dengan sempurna, takkan mungkin dalam kawasan budaya dibangun juga mal, hotel, dan arena biliardnya," sesal Tenas.
Dalam kesempatan tersebut, Tenas juga menyampaikan kepedihan hatinya karena Pemprov Riau berbuat seolah tidak punya alternatif tanah lain untuk membangun kawasan bisnis.
"Hati kami pedih seakan-akan kita tidak punya tanah yang lain untuk membangun kawasan bisnis. Kenapa harus dalam tanah yang sejengkal itu juga ditumpukan bangunan yang lain. Mungkin ini juga kelemahan kita sebagai orang Melayu yang selalu menjaga perasaan orang lain. Jika orang tidak minta pendapat, kitapun tidak mau bercakap selama ini," ujar mantan Ketua Lembaga Adat Melayu Riau.
Beri Waktu Dua Minggu
Sikap tidak berdaya para seniman dan budayawan Riau dalam mempertahankan kawasan Bandar Serai menjadi kawasan budaya tanpa dicampuradukkan dengan kawasan bisnis terlihat dalam dialog dengan insan pers.
Para budayawan dan seniman yang terdiri dari Tenas Effendi, Al-Azhar, Fakhrunas MA Jabbar, Zuarman Ahmad, dan lainnya, menyampaikan tiga alternatif atas sikap Pemprov Riau yang tetap membangun kawasan bisnis di Bandar Serai.
Di antaranya, jika opsi pengembangan kawasan Bandar Serai tidak dapat dibatalkan lagi, maka seniman/budayawan meminta konsultan perencana yang digandeng Pemprov Riau yaitu PT Bangun Megah Mandiri Propertindo agar berkonsultasi sebelum membuat design baru.
"Kalau memang rencana tersebut tidak bisa dibatalkan, maka kita minta konsultan perencana berkonsultasi dengan budayawan dan seniman Riau selambat-lambatnya dua minggu ke depan. Soalnya, design yang ditampilkan minggu lalu belum mencerminkan arsitektur Melayu. Kita juga mengingatkan, agar janganlah memandai-mandai membuat desain jika belum mengenali roh Melayu itu seperti apa," tegas Tenas.
Selain itu, para budayawan dan seniman kembali mengingatkan Pemprov Riau agar kawasan bisnis yang akan dibangun nanti, menjadi kawasan yang terintegrasi dengan kawasan kebudayaan. Dengan begitu, mereka juga menolak wacana kawasan bisnis akan ditimbun dan dinaikkan setinggi dua meter.
"Kita minta kawasan bisnis itu tetap merupakan kawasan yang menyatu dengan kawasan kebudayaan. Jangan sampai kawasan tersebut dipisah-pisahkan oleh pagar dan tembok yang akan menutupi pandangan. Begitu juga rencana Pemprov Riau akan menimbun setinggi dua meter kawasan bisnis yang akan dikembangkan, itu akan membuat kawasan budayanya tenggelam," paparnya seraya mengingatkan monumen bekas MTQ seperti gerbang utama, menara, astaka dan relief anjungan kabupaten/kota juga diminta agar dipertahankan jika Pemprov Riau tidak mau dikatakan melanggar Perda Visi Riau 2020.
Dalam diskusi tersebut, juga muncul usulan agar budayawan dan seniman Riau melakukan aksi nyata dalam mempertahankan roh Melayu di kawasan Bandar Serai.
Jika hanya melalui perundingan, dikhawatirkan Pemprov Riau akan ’menutup mata’ karena selama ini dinilai sering melakukan pembohongan publik.
"Jika berpikir fantastik, mau dibangun apapun disana kita tidak ada masalah. Bagi seminam dan budayawan, dibawah kolong pun masih bisa berkreativitas. Namun, karena ini merupakan tanggungjawab kita untuk mempertahankan nilai budaya Melayu kepada generasi mendatang, maka kita tetap akan mempertahankan mimpi itu walau sudah dirobek. Namun, jalannya tentu tidak perlu dengan turun ke jalan melakukan demo. Jika mau, kita juga punya cara lain dan cukup saya sendiri saja yang beraksi tapi bisa menghentikan pekerjaan yang sudah dimulai di Bandar Serai," jawab Az-Azhar mementahkan usulan tiga orang peserta diskusi.
Standar Kerja Arsitek
Design arsitektur gedung bowling yang akan dibangun di kawasan Bandar Serai, tidak mencerminkan arsitektur Melayu. Menurut arsitek Dedi Arsandi dari Oranye Design Lab, hal itu sudah menyalahi standar kerja arsitek, karena tidak didiskusikan dengan pemakainya.
"Berdasarkan standar kerja arsitek, maka design yang dibuat harus didiskusikan dengan pemakai. Karena di kawasan Bandar Serai pemakainya adalah para pekerja seni dan budayawan Riau, seharusnya juga didiskusikan dengan mereka," ucap arsitek yang sejak 11 tahun terkahir sudah malang-melintang mempelajari arsitektur Melayu ke seluruh perkampungan yang ada di Riau.
Karena itu pula, begitu melihat design venus bowling yang lebih mirip arsitektur Tanah Toraja, Dedi yang sehari-harinya juga berkecimpung dengan seniman dan budayawan di Bandar Serai, mengaku pesimis designnya akan dirubah konsultan perencana. Soalnya, untuk mengetahui roh arsitektur Melayu, konsultan harus turun langsung ke perkampungan Melayu.
"Terlepas dari profesi saya sebagai arsitek, saya menilai sebaiknya konsultan yang ditunjuk melakukan kajian dan turun ke perkampungan-perkampungan Melayu yang ada di Riau. Soalnya sangat sulit menjabarkan roh arsitektur Melayu itu melalui kata-kata tanpa mengenalnya lebih jauh," ucapnya.
Budayawan Riau, Al-Azhar juga mengakui hampir 12 tahun terakhir, Dedi selalu keluar masuk kampung-kampung Melayu dan selalu berdiskusi dengan seniman dan budayawan Riau yang bermarkas di Bandar Serai. Menurut Al-Azhar, posisi Dedi selaku arsitek membuat dirinya menahan diri mengungkapkan banyak hal tentang arsitektur yang dirancang konsultan perencana yang digandeng Pemprov Riau dalam mengembangkan Bandar Serai.
"Hampir 12 tahun terakhir dia keluar masuk perkampungan Melayu sehingga dia tahu persis bagaimana arsitektur Melayu itu. Nah, begitu melihat design yang dipaparkan konsultan Pemprov minggu lalu, makanya dia langsung mengeluarkan pendapat itu bukanlah arsitektur Melayu. Pendapat dia juga menyuarakan pendapat kami, karena dia juga besar di Bandar Serai. Hari-harinya juga banyak dihabiskan dengan kami," kata Al-Azhar.
Sumber: http://sindikasi.inilah.com