Oleh Febri Diansyah
Saat ini, perhatian publik tertuju kepada fantastisnya kekayaan calon presiden dan wakil presiden. Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Megawati tercatat punya kekayaan tertinggi jika dibandingkan dengan pasangan lainnya, lebih dari Rp 1,5 triliun. Kekayaan calon incumbent Susilo Bambang Yudhoyono pun meningkat jika dibandingkan dengan sebelum menjadi presiden pada 2004.
Apakah itu berarti kekayaan dan kesejahteraan rakyat Indonesia juga meningkat? Tunggu dulu. Mengacu kepada data Bappenas, per Maret 2008 jumlah penduduk miskin masih sekitar 34,52 juta. Angka ini akan meningkat drastis jika standar penghasilan yang digunakan mengacu kepada indikator Bank Dunia, yakni USD 2 per hari. Bagaimana menjelaskan ketimpangan itu?
Dari sudut pandang pemerataan ekonomi dan kesejahteraan, ketimpangan penguasaan kekayaan antara mayoritas rakyat Indonesia dan calon pemimpin terlihat jelas. Potret tingginya tingkat kemiskinan menjadi fakta yang sulit dibantah. Ini tentu menjadi pesan buruk jika dibandingkan dengan janji kampanye setiap calon presiden.
Padahal, isu pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan bersama, bahkan apa yang disebut ekonomi kerakyatan selalu kita dengar. Pada kenyataannya, sistem ekonomi, politik, dan kebijakan hingga saat ini cenderung menguntungkan sekelompok kecil elite.
Atas dasar itulah, apa yang pernah disebut seorang filsuf Yunani seperti Plato ada benarnya. Dalam sistem oligarki, struktur ekonomi dan politik dikuasai dan didesain untuk kepentingan segelintir orang kaya. Tetapi, alih-alih berdebat panjang tentang konsep kekuasaan dan pemerintahan tersebut, pada tahapan pemilu presiden ini, yang paling mungkin dilakukan adalah memastikan kekayaan para kandidat berasal dari penghasilan yang sah. Dalam norma hukum internasional, hal itu disebut Illicit Enrichment (UNCAC, 2003).
United Nation Against Corruption (UNCAC) tersebut bahkan meyakini perolehan kekayaan pribadi yang tidak sah akan merusak lembaga demokrasi, sistem ekonomi nasional, dan penegakan hukum. Karena itulah, konvensi tersebut merekomendasikan agar peningkatan signifikan terhadap kekayaan secara tidak sah dijerat dengan aturan pidana.
Agaknya, semangat ini juga yang melatarbelakangi adanya aturan di Undang-Undang Pemilu dan Pilpres kita, semua calon harus mengungkap harta kekayaan pribadinya. Dengan demikian, institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjalankan kewenangannya untuk memeriksa, menguji, dan melakukan audit mendalam terhadap semua kekayaan pribadi tersebut.
Setengah Hati
Tetapi, sayang, beberapa pernyataan KPK terdengar mengkhawatirkan. Mereka hanya akan lakukan pemeriksaan parsial, item-item yang penting saja, dan tidak menyeluruh. Sikap tersebut tentu sangat mengecewakan. Jika benar, KPK dapat disebut bertindak “setengah hati” dalam menjalankan semangat keterbukaan, pertanggungjawaban, dan perintah undang-undang.
Secara eksplisit, kewajiban KPK melakukan klarifikasi daftar kekayaan tersebut memang tidak diatur. Tetapi, merujuk pada prinsip pemilihan presiden yang harus dilaksanakan secara demokratis melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya, maka klausul pelaporan, pemeriksaan, dan pengumuman harta kekayaan menjadi wajib dilaksanakan.
Lebih menukik pada persoalan, hal itu berarti mekanisme hukum kita harus memastikan rakyat berpartisipasi di semua tahapan pilpres ini. Mulai proses penyusunan daftar pemilih hingga pengucapan sumpah pasangan terpilih. Khusus untuk laporan harta kekayaan, Pasal 5 UU Pilpres menegaskan hal itu sebagai syarat menjadi calon presiden atau wakil presiden.
Artinya, undang-undang ingin semua calon terbuka dan transparan perihal harta kekayaannya kepada rakyat Indonesia. Kaitannya dengan partisipasi rakyat terletak pada pemberian ruang bagi masyarakat untuk mengetahui, mengoreksi, dan memperbaiki data kekayaan capres/cawapres, atau bahkan hak untuk mendapatkan informasi yang tidak bohong.
Atas dasar itulah, kewenangan KPK yang diberikan oleh UU 2002:30 untuk melakukan pemeriksaan laporan harta kekayaan menjadi relevan dan wajib digunakan. Dengan demikian, salah kaprah jika KPK mengatakan hanya akan melakukan pemeriksaan secara parsial item-item yang signifikan dan tidak menyeluruh terhadap kekayaan calon (Jawa Pos, 20/5).
Hal itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab, berdasar UU KPK, bahkan komisi ini harus memastikan semua kekayaan tersebut diperoleh dari penghasilan yang sah. Bukan dari korupsi dan bukan dari abuse of power yang dilakukan selama berkuasa. Bahkan, jika terdapat sejumlah temuan mencurigakan, mungkin saja KPK meneruskan hasil pemeriksaan tersebut pada jalur pertanggungjawaban pidana korupsi.
Pencegahan Korupsi
Pada UU KPK, kewenangan komisi ini untuk menyelenggarakan pelaporan dan pemeriksaan harta kekayaan merupakan salah satu bagian dari strategi pencegahan. Diatur pada pasal yang sama dengan kewajiban lapor gratifikasi untuk penyelenggara negara. Artinya, UU menempatkan kekayaan pejabat/calon sebagai salah satu alur potensi korupsi yang perlu diwaspadai. Sebagai pihak yang akan menjadi orang nomor satu di Indonesia, mengelola lebih dari Rp 1.000 triliun APBN, dan mengambil keputusan tentang hidup/matinya rakyat, maka dia harus dipastikan bersih dari potensi korupsi sekecil apa pun.
Dan, sebagai calon pemilih, rakyat berhak tahu orang seperti apa yang akan dipilih dan bagaimana para kandidat mendapatkan harta kekayaannya. Bahkan, di tataran ideal, seharusnya bukan hanya kekayaan pribadi calon yang dibuka, tetapi juga seluruh aset yang dikuasasi keluarga di lingkaran pertama. Sebab, potensi penggunaan kekuasaan untuk memperkaya keluarga dan konco selalu menjadi celah terbuka untuk korupsi. Di satu titik tertentu, bukan tidak mungkin sang calon presiden atau wakil presiden tercatat sangat sederhana, tetapi suami, anak, dan keluarga dekat mereka punya perusahaan, saham, dan kekayaan yang sulit dijelaskan berdasar penghasilan yang sah.
Febri Diansyah, peneliti hukum, anggota Badan Pekerja ICW
Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 23 Mei 2009