Tantangan Empat Pimpinan KPK

Oleh Oce Madril

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar (AA) akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. AA diduga terlibat sebagai intellectual dader (aktor intelektual) dalam kasus pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.

Dugaan keterlibatan AA tersebut telah mengejutkan dunia penegakan hukum. Bagaimana tidak, kasus ini berhubungan dengan orang nomor satu di lembaga yang menjadi tumpuan harapan ratusan juta rakyat Indonesia terhadap pemberantasan korupsi.Dengan cepat, kasus ini merembes ke institusi KPK. Lembaga yang dianggap bak oase nan bersih di tengah gurun tandus nan kotor tersebut harus menjadi sasaran kritik publik karena ulah salah satu pimpinannya.

Citra buruk
Memang, harus diakui bahwa munculnya kasus ini telah mendegradasi tingkat kepercayaan publik terhadap KPK. Lembaga ini mampu menjaga integritasnya di tengah rontoknya integritas lembaga-lembaga penegak hukum lain. Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum, khususnya yang lahir usai reformasi.

Ini disebabkan keterlibatan para pimpinan lembaga tersebut dalam tindak pidana. Tercatat, sampai saat ini, ada tiga komisi negara yang pimpinannya tersangkut persoalan hukum. Pertama, kasus suap yang melibatkan salah satu komisioner Komisi Yudisial, Irawadi Joenoes. Kedua, kasus suap yang melibatkan salah satu komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M Iqbal. Dan terakhir, kasus yang melanda pimpinan KPK, AA.

Terkhusus untuk KPK, mencuatnya kasus ini membuka peluang serangan balik koruptor (corruptors fight back). Pihak-pihak yang selama ini 'dirugikan' dengan upaya pemberantasan korupsi bisa memanfaatkan momentum ini sebagai upaya untuk mendelegitimasi KPK. Apalagi, indikasi ke arah itu sudah mulai terlihat. Delegitimasi atas KPK dilakukan dengan tujuan menjatuhkan modal dan model pemberantasan korupsi yang sekian lama telah ditanam negeri ini. Karena itu, para pimpinan KPK yang lain tidak boleh lengah dan harus tetap fokus dengan tugas-tugas penegakan hukum antikorupsi.

Perlu dipahami bahwa pimpinan KPK terdiri atas lima komisioner. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (6) UU No 20/2002 tentang KPK (UU KPK), dinyatakan bahwa pimpinan KPK tersebut bekerja secara kolektif. Kemudian, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bekerja secara kolektif adalah setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan KPK. Artinya, mereka berada dalam posisi yang sama.

Tidak ada yang lebih istimewa dari yang lainnya. Posisi ketua dan wakil ketua hanyalah untuk memudahkan proses koordinasi dan administrasi. Oleh karena itu, jika ada satu pimpinan yang tersandung persoalan hukum, hal itu tidak serta-merta menyeret pimpinan yang lain. Apalagi, kasusnya menyangkut persoalan pribadi. Untuk mengantisipasi agar kasus AA tidak menyeret lembaga KPK, langkah-langkah yang sesuai dengan prosedur hukum harus segera dilakukan. Salah satunya adalah menonaktifkan AA dari jabatan ketua KPK.

Sebagaimana diatur dalam UU KPK Pasal 32 ayat (2) bahwa dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, ia diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian ini harus ditetapkan oleh presiden. Walaupun berpengaruh terhadap citra KPK, dukungan harus tetap diberikan terhadap empat pimpinan KPK lainnya. Di pundak mereka-lah nasib KPK digantungkan. Mereka harus tetap fokus pada tugas-tugas pemberantasan korupsi.

Pimpinan KPK harus tetap menerapkan strategi penindakan terfokus. Terfokus pada kasus-kasus besar dan mempunyai deterrence effect (efek turunan) yang signifikan. Serta, tetap fokus menyelesaikan tunggakan perkara yang sampai saat ini belum jelas perkembangannya. Kita masih mengingat bahwa ada sekian banyak perkara yang tertunda di KPK. Sebut saja, perkara whistle blower Agus Condro, megaskandal BLBI, sejumlah kasus suap-menyuap yang menyeret sejumlah anggota DPR bahkan menteri, serta berbagai dugaan korupsi pemilu.

Kasus AA seharusnya tidak menjadi faktor penghambat kinerja KPK. Karena, KPK menganut sistem kolektivitas kepemimpinan dan KPK memiliki sistem yang tidak bergantung pada personal/pimpinan tertentu. Sistem tersebut harus tetap berjalan. Apabila kemudian AA ditetapkan sebagai terdakwa, berlaku ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KPK, yakni dalam hal pimpinan KPK dinyatakan sebagai terdakwa dalam suatu tindak pidana kejahatan, ia diberhentikan oleh presiden. Jika hal ini terjadi, perlu dipikirkan penggantinya karena mengingat Pasal 21 UU KPK yang menyatakan bahwa pimpinan KPK terdiri atas lima orang.

Untuk mengisi kekosongan tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 33 UU KPK, presiden harus mengajukan calon pengganti kepada DPR. Prosedur pengajuan dan pemilihannya dilaksanakan melalui serangkaian proses seleksi sebagaimana yang diamanatkan Pasal 29, 30, dan 31 UU KPK.

Sebagai catatan, proses seleksi pimpinan KPK dilakukan melalui beberapa tahap, yakni tahap administrasi, penyeleksian di tingkat panitia seleksi (pansel) yang dibentuk oleh presiden dan fit and proper test serta pemilihan oleh DPR.
Terkait mekanisme pemilihan calon pengganti, ada dua cara yang bisa ditempuh oleh presiden. Pertama, mengajukan kembali mantan calon pimpinan (capim) KPK yang telah melalui proses seleksi, tapi tidak dipilih DPR pada pemilihan yang lalu (Desember 2007). Pada saat itu, ada 10 calon yang diajukan oleh presiden.

Lima di antaranya adalah yang saat ini menjabat sebagai pimpinan KPK. Kelebihan cara ini adalah akan menghemat waktu dan biaya. Karena presiden tidak perlu lagi membentuk pansel yang akan melakukan proses seleksi dari tahap awal hingga akhir.Kemudian, dari sisi biaya, sistem ini akan menekan biaya seleksi yang dapat mencapai miliaran rupiah. Namun, ada risikonya, yakni lima orang mantan capim KPK tersebut bisa jadi tidak lagi memenuhi standar persyaratan pimpinan KPK. Karena, dalam rentang waktu lebih kurang 1,3 tahun (terhitung dari Desember 2007), tidak ada yang memonitor track record kelima mantan capim KPK tersebut. Sehingga, apabila dipaksakan, akan membuka peluang timbulnya risiko, baik yang berhubungan dengan kinerja maupun integritas.

Cara kedua, presiden melakukan seleksi untuk memilih calon pimpinan KPK yang baru yang akan diajukan kepada DPR. Jika cara ini yang ditempuh, Presiden harus membentuk pansel yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Pansel inilah yang akan melaksanakan proses seleksi. Kelebihan cara ini adalah presiden benar-benar dapat memastikan bahwa calon yang akan diajukan layak secara integritas, kredibilitas, dan kinerja. Kelemahannya, cara ini akan memakan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Mekanisme apa pun yang ditempuh oleh presiden haruslah bertujuan untuk menyelamatkan KPK. Keberpihakan presiden terhadap KPK benar-benar dinantikan. Karena, KPK berperan besar dalam mengikis habis korupsi dan menjerakan para koruptor.

Oce Madril, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Sumber: Republika, Rabu, 06 Mei 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts