Vonis Korupsi untuk Pengemplang Pajak

Oleh : Oce Madril

Pengusutan dugaan manipulasi pajak PT Asian Agri dalam kurun 2002-2006 senilai Rp 1,3 triliun hingga saat ini masih terus berlangsung. Kasus yang ditargetkan selesai pada pertengahan 2008 itu ternyata sampai saat ini masih terkatung-katung. Penyidikan terhadap kasus ini sebenarnya sudah dimulai oleh Direktorat Jenderal Pajak sejak 2007. Sebanyak 10 tersangka pun telah ditetapkan. Namun, setelah kurang-lebih dua tahun kasus ini terbongkar, sejauh ini aparat penegak hukum belum menunjukkan upaya serius untuk menuntaskan kasus tersebut.

Perkembangan terbaru datang ketika Kejaksaan Agung dan Dirjen Pajak sepakat melakukan gelar perkara (ekspose) pada awal April lalu. Gelar perkara yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung itu dilakukan untuk menyamakan persepsi demi kepastian hukum kasus tersebut.

Setelah gelar perkara, banyak pihak mendorong agar Kejaksaan Agung menerapkan pasal korupsi terhadap dugaan pidana pajak ini. Salah satunya datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW mendesak agar Kejaksaan Agung mau melakukan terobosan hukum dengan menuntut para pengemplang pajak tersebut dengan pasal pidana korupsi. Akan tetapi, apakah pidana korupsi dapat diterapkan terhadap kasus pidana pajak?

Unsur korupsi
Secara yuridis, sebuah perbuatan pidana dikategorikan sebagai perbuatan pidana korupsi atau bukan jika perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur pidana korupsi sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor tersebut dinyatakan tiga unsur pokok pidana korupsi, yakni perbuatan melawan hukum, perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ketiga unsur tersebut merupakan syarat mutlak dalam pidana korupsi.

Lalu, apakah pidana pajak memenuhi unsur-unsur pidana korupsi di atas? Pertama, mengenai perbuatan melawan hukum. Manipulasi pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri jelas merupakan perbuatan melawan hukum. Setidaknya, sebagaimana yang dilansir Kejaksaan Agung, perbuatan ini melanggar ketentuan Pasal 39 ayat 1 huruf (d) dan Pasal 43 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Pajak). Kedua, manipulasi pajak ini jelas merupakan upaya memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi. Jelas ada pihak yang diuntungkan secara ekonomis. Setidaknya, dengan menggunakan modus manipulasi pajak, perusahaan Asian Agri serta perangkat-perangkatnya telah menikmati dana pajak yang seharusnya dibayarkan kepada negara.

Kemudian, perihal dapat merugikan keuangan negara. Menilik penjelasan Undang-Undang Tipikor, ditegaskan bahwa agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, tindak pidana yang diatur dalam UU Tipikor dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formal dan materiil.

Sehingga kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Dengan demikian, kata "dapat merugikan keuangan negara" dalam konteks kasus pidana pajak dapat diartikan bahwa kejahatan pajak berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara walaupun belum tentu ada kerugian negara secara nyata.

Ketentuan ini sebenarnya sejalan dengan pengaturan pidana pajak dalam UU Pajak. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 39 ayat 1 huruf (d) bahwa "setiap orang yang dengan sengaja menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menyebabkan kerugian pada pendapatan negara, maka dipidana dengan pidana."

Frasa "dapat merugikan pendapatan negara" seperti yang tercantum dalam pasal tersebut di atas jelas termasuk dalam kategori "dapat merugikan keuangan negara". Sebab, berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara (yang bersumber dari penerimaan pajak, bukan pajak, dan hibah) merupakan bagian dari keuangan negara.

Memperhatikan keterkaitan antara unsur pidana pajak dan unsur pidana korupsi di atas, terbuka kemungkinan untuk menerapkan pasal-pasal pidana korupsi terhadap kejahatan pajak. Terobosan hukum ini patut dipertimbangkan oleh Kejaksaan Agung untuk memberikan efek jera (shock therapy) kepada para pencuri uang negara. Apalagi, ditegaskan dalam bagian penjelasan Pasal 39 UU Pajak bahwa, mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara, perbuatan atau tindakan pidana pajak yang dilakukan secara sengaja dikenai sanksi yang berat.

Tantangan bagi jaksa
Menyeret kasus ini ke dalam dakwaan pidana korupsi tentu bukan merupakan tindakan mudah. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung harus mampu membuktikan bahwa tindakan manipulasi pajak tersebut memenuhi unsur-unsur pidana korupsi, yakni unsur melawan hukum, memperkaya diri-sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, serta dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Progresivitas pengusutan kasus ini tentunya akan menjadi catatan prestasi penegakan hukum Jaksa Agung di bawah Hendarman Supandji. Dengan catatan, kasus ini tidak berujung pada SP3.

Oce Madril, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 02 April 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts