Dijadikan Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu Alami Degradasi

Jakarta - Pakar Bahasa Melayu Yusmar Yusuf mengatakan, bahasa Melayu yang menjadi akar dari bahasa Indonesia semakin mengalami degradasi karena banyak kata sudah berubah dari makna awalnya.

"Sebagai bahasa yang dituturkan oleh banyak manusia, mau tak mau, dia akan mengalami `pengeroyokan` oleh penutur bahasa kedua dalam jumlah yang ramai," kata Guru Besar Kajian Masyarakat Melayu Universitas Riau itu saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Fakta ini sebagaimana Bahasa Inggris yang ditutur oleh orang di Hongkong, Malaysia dan lain-lain, yang mengalami degradasi makna dan struktur.

Yusmar Yusuf memberi contoh, kata "alih-alih", dalam bahasa Melayu berarti "tak disangka-sangka", hari ini sudah berubah makna dalam Bahasa Indonesia, dan bahkan orang Melayu sendiri jadi tak mengerti apa arti kata "alih-alih" itu.

"Demikian pula, orang Melayu menjadi bingung, ketika kata `seronok` dikeroyok menjadi wakil dari erotisme dan sensualitas. Padahal artinya, amat positif, yakni menyenangkan, enak, sedap dan lezat," kata Budayawan Riau itu.

Bahasa Melayu diakuinya, justru amat berkembang ketika dituturkan oleh 250 juta manusia Indonesia karena bahasa ini menjadi bahasa yang progresif. Namun dampaknya Bahasa Melayu menjadi kehilangan "rasa" dan makin menuju pada kedangkalan bahasa, terutama dalam "knowldege content".

Bahasa Melayu sebagaimana Bahasa Inggris, Jawa dan bahasa lainnya, awalnya adalah bahasa ekspresif, namun, setelah diadopsi sebagai Bahasa Indonesia, dia berubah hanya sebagai bahasa deskriptif yang berfungsi untuk menjelaskan, ujar Yusmar.

"Dia menjadi kering. Mereka yang merasa kekeringan itu adalah penutur Bahasa Melayu yang asli, yang memakai Bahasa Melayu sebagai bahasa ibu seperti di Riau, pantai timur Sumatera atau pantai barat Kalimantan.

Menurut dia, semestinya ada sistem "rujuk" yang diterapkan dalam Bahasa Indonesia, yakni ketika ada upaya penambahan "lema" atau "entry" kata, sejalan dengan perkembangan dunia, hendaklah dirujuk dulu ke Bahasa Melayu.

"Jika tidak ada, baru diambil dari bahasa lokal nusantara lainnya, setelah itu diambil dari Bahasa Arab. Jika tidak ada dalam semua bahasa tadi, baru dia diadopsi dari bahasa lain seperti Inggris. Hendaklah Indonesia bersetia memelihara keaslian arti dan makna," tuturnya.

Bahasa internasional

Soal gagasan membawa Bahasa Melayu menjadi bahasa internasional, menurut Yusmar Yusuf, sah-sah saja, namun bahasa ini bisa menjadi lebih rusak karena akan dikeroyok lagi dalam skala yang lebih besar.

"Sekarang kita bertanya, sudah siapkan kita dengan instrumen penakluk untuk mendakwahkan Bahasa Melayu sebagai bahasa dunia? Tiadanya lembaga kebudayaan seperti Goethe Institut, Erasmus Huis, Centre Culturel France, dalam versi Melayu, akan menggamangkan Bahasa Melayu untuk disandingkan dengan bahasa-bahasa dunia yang tinggi dan kuat itu," katanya.

Kamus Bahasa Melayu atau Indonesia baru memuat 98.000 kata [lema], ujarnya, bandingkan dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jerman yang dalam kamus mereka, tersedia lebih dari satu juta lema.

Ia lebih percaya pada bagaimana memperkuat Bahasa Melayu ke dalam lingkungan ASEAN ketimbang bahasa PBB. Apalagi Bahasa Melayu telah digunakan juga di Malaysia, Singapura, Brunei, bahkan Thailand Selatan.

Yusmar menjadi salah satu pembicara pada Seminar "Dari Rio untuk Riau: Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Ekonomi Hijau, Sosial dan Budaya" yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), di Pekanbaru, akhir pekan lalu dengan topik "Revitalisasi Bahasa Melayu sebagai Bahasa Internasional".

-

Arsip Blog

Recent Posts