Jagat cerita silat (cersil) tak hanya diramaikan oleh karya-karya Asmaraman, Kho Ping Hoo saja. Ada satu nama lain yang karyanya tak kalah pamor dengan Kho Ping Hoo yakni Singgih Hadi Mintardja atau yang lebih dikenal dengan nama SH Mintardja.
Sebagai penulis cerita silat (pencersil), pria kelahiran Yogyakarta, 26 Januari 1933 ini dikenal piawai menggabungkan fakta sejarah kerajaan dengan cerita heroik fiktif dalam karyanya. Cerita silat tanah Jawa dibuat mengasyikkan sekaligus penuh tantangan dan ketegangan. Sebagai putra asli Jawa, penguasaan terhadap filosofi nenek moyangnya membuat karyanya semakin bernyawa.
Ia juga menyuguhkan drama psikologi tokoh-tokohnya dengan elegan. Dialog para tokoh dalam ceritanya sarat pesan-pesan moral. Seperti saat membaca cerita dalam Api di Bukit Menoreh misalnya, perasaan para pembaca akan merasa terombang-ambing. Di situ diceritakan kisah anak muda yang sombong, pemarah dan sakti melawan anak muda yang sabar, cerdas dan sakti dipadu dengan percintaan laki-perempuan dalam konflik sejarah kerajaan tanah Jawa. Itulah sebabnya, ia kerap disebut sebagai pembangun jiwa (pendidikan nurani) versi dunia persilatan.
Almarhum SH Mintardja adalah seorang pegawai negeri di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Yogyakarta di bidang kesenian (1958). Ia terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud DIY dan pensiun pada tahun 1989. Sedari muda, ia telah menggeluti dunia seni. Setelah tamat SMA, ia bersama Kirdjomuljo, Nasjah Jamin Widjaja dan Sumitro mendirikan majalah Fantasia dan majalah film Intermezzo.
Di kancah cerita silat, namanya mulai mencuat lewat karyanya yang berjudul Nagasasra dan Sabuk Inten. Berbekal pengetahuan sejarah, ditambah mendalami kitab Babat Tanah Jawi yang beraksara Jawa, SH Mintardja berhasil menyuguhkan cerita yang membumi dengan pahlawan tanpa pamrih. Kisah berlatar belakang kerajaan Demak itu melahirkan tokoh Mahesa Jenar.
Perpaduan antara imajinasi dan kebudayaan Jawa, membuat Nagasasra dan Sabuk Inten mudah diterima di kalangan rakyat jelata hingga orang-orang kantoran. Mulai dari tukang becak hingga pegawai negeri, semua menikmati cerita yang awalnya dimuat di harian Kedaulatan Rakyat pada tahun 1966 itu. Karena sambutan publik yang positif, cerita itu kemudian dibuat dalam bentuk buku. Sama halnya dengan versi korannya, buku itu pun laris manis di pasaran. Toko buku, warung koran, warung rokok, menjual buku itu.
Melihat respon pasar yang kian tinggi, pihak Kedaulatan Rakyat berinisiatif untuk menerbitkan edisi istimewa Nagasasra dan Sabuk Inten. Cerita tersebut dikemas dalam sampul tebal atau hard cover. Semuanya sebanyak tiga jilid. Tiap jilidnya berisi 800 halaman dan dijual Rp100 ribu per jilid.
Hasil penjualan karya ini sangat besar bahkan tak dapat disaingi karya serius mana pun. Karena cerita itu begitu meledak di pasaran dan amat digandrungi pembaca, banyak orang yang terkecoh dengan cerita roman sejarah itu. Banyak yang mengira Mahesa Jenar benar-benar ada dalam sejarah Demak. Bahkan, baju lurik yang digambarkan biasa dipakai Mahesa Jenar pun menjadi tren kala itu.
Saking termasyurnya cerita Mahesa Jenar, seluruh sanggar ketoprak di Yogyakarta selalu mengambil lakon Mahesa Jenar dalam pementasannya. Fenomena Mahesa Jenar tak hanya berhenti sampai situ saja. Kediaman SH Mintardja juga pernah didatangi orang tua yang meminta ijin untuk menamai anaknya seperti nama tokoh dalam Nagasasra Sabuk Inten. Ada juga yang meminta izin mendirikan perguruan silat dengan nama Pandan Alas, meniru nama Ki Ageng Pandan Alas, pendekar tua yang pintar nembang dalam cerita Nagasasra.
Mengenai asal mula pemilihan nama Mahesa Jenar, pria yang akrab disapa Pak Singgih ini memberikan jawabannya, “Padahal saya memperoleh nama itu begitu saja. Rasanya kalau diucapkan sangat indah dan kalau didengar kok enak,” aku Mintardja, seperti dilansir di buku Apa dan Siapa Orang Yogyakarta edisi 1995.
Perpaduan antara imajinasi dan kebudayaan Jawa, membuat Nagasasra dan Sabuk Inten mudah diterima di kalangan rakyat jelata hingga orang-orang kantoran. Mulai dari tukang becak hingga pegawai negeri, semua menikmati cerita yang awalnya dimuat di harian Kedaulatan Rakyat pada tahun 1966 itu. Karena sambutan publik yang positif, cerita itu kemudian dibuat dalam bentuk buku. Sama halnya dengan versi korannya, buku itu pun laris manis di pasaran. Toko buku, warung koran, warung rokok, menjual buku itu.
Banyak rekan Singgih yang beranggapan bahwa cerita Mahesa Jenar merupakan penggambaran dirinya yang tersingkirkan sebagai orang PNI di zaman Orde Baru. Kisah Nagasasra sendiri memang bercerita tentang kekuasaan dengan latar belakang gonjang ganjing Demak Bintoro. Sidang para wali di Kesultanan Demak memutuskan mengeksekusi Siti Jenar dan kemudian murid-muridnya: Ki Kebokenangan atau Ki Ageng Pengging. Mahesa Jenar merupakan murid Ki Ageng Pengging.
Namun sayangnya, dalam cerita ini, konflik para wali dengan Syeh Siti Jenar alias Syeh Lemah Abang tak dieksplorasi lebih jauh oleh sang pengarang. Mungkin hal itu dikarenakan Singgih tak berani menulis tentang Islam karena ia adalah seorang penganut Katolik.
Meski cerita yang ditulisnya digolongkan dalam cerita silat, Singgih tak menyukai unsur kekerasan. Banjir darah tidak selalu dijadikan penyelesaian akhir untuk menentukan bahwa yang benarlah yang menang. Maka dari itu, dalam cerita ini, Mahesa dikisahkan tak pernah membunuh saat bertempur kecuali dalam keadaan terpaksa. Sebaliknya, SH Mintardja kerap menyelipkan pesan moral dalam ceritanya. Misalnya, saat tokoh-tokoh jahat seperti Sima Samodra atau Lowo Ijo di akhir ceritanya merasa menyesal hingga akhirnya bertobat. Melalui cerita-cerita silatnya, SH Mintardja menyuguhkan drama psikologi tokoh-tokohnya secara apik. Yang unik, SH Mintardja memberikan petuah-petuah berharga melalui dialog-dialog tokoh-tokohnya.
Tak hanya lekat dengan pesan moral, kekhasan seluruh kisah yang ditampilkan SH Mintardja adalah dengan memperkenalkan beberapa kebudayaan Jawa yang mungkin mulai punah. Sebagai contoh adalah ungkapan rasa syukur menjelang panen padi di desa-desa. Upacara “wiwit” yang berarti “mulai” (panen), berupa pesta kecil di tengah sawah, beberapa kali dengan jelas ditampilkan dalam beberapa ceritanya. Adat kebiasaan “mitoni” atau “sepasaran” dalam menyambut kelahiran bayi di masyarakat Jawa pun dengan pas digambarkannya.
Cerita Nagasasra dan Sabuk Inten bukanlah cerita SH Mintardja yang terpanjang, melainkan Api di Bukit Menoreh. Cerita tersebut dibuat sebagai cerita bersambung di harian Kedaulatan Rakyat tahun 1968. Saat dicetak dalam bentuk buku, cerita ini mampu menghasilkan 486 jilid. Saking panjangnya cerita ini, sampai-sampai ada penggemar cerita SH Mintardja yang mengatakan, bila dijajarkan, maka cerita Api di Bukit Menoreh panjangnya melebihi jarak Anyer-Panarukan.
Namun sayang, SH Mintardja tak sempat menyelesaikan akhir cerita Api di Bukit Menoreh karena ajal telah terlebih dulu menjemputnya. Di sisi lain, imajinasi yang dimilikinya membuat orang berdecak kagum. Ia bisa menulis dua cerita sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Selain menulis Api di Bukit Menoreh, ia juga menulis cerita bersambung silat lain yang berjudul Pelangi di Langit Singosari.
Tak seorang pun tahu dari mana energi luar biasa itu berasal. Karena ia menyerahkan naskah karangannya itu di dua koran yang berbeda. Dan bila ia berhalangan mengirimkan naskah, para pembaca akan menghubungi meja redaksi koran tersebut dan menanyakan mengapa cerita bersambung tak ada.
Demi menghasilkan cerita silat bernilai tinggi, SH Mintardja tak segan mengerahkan seluruh kemampuannya. Menurut pengakuan istrinya Suhartini, mendiang suaminya sempat mempelajari silat Jawa walaupun tidak terlalu mendalami. SH Mintardja hanya menekuninya sebagai kegiatan olahraga semata sambil mempelajai filosofinya. Tak hanya itu, ia juga melakukan survey tempat yang akan dijadikan lokasi dalam cerita.
SH Mintardja juga memiliki cara kerja yang unik. Jika sebagian orang lebih menyukai tempat sunyi ketika sedang mengerjakan sesuatu, tak demikian halnya dengan SH Mintardja. Meski telah disediakan ruangan khusus, ia tetap tak mau memakainya dan lebih suka mengetik di ruang makan rumahnya yang berada di Gedong Kiwo MJ/801, di sekitar Pojok Beteng Kulon Yogyakarta. Alasannya memilih ruang makan agar dapat berinteraksi dengan orang lain, ruangan sepi justru membuat produktivitasnya menurun.
Sang istri pun menjadi orang pertama yang dipercaya SH Mintardja untuk membaca naskah yang selesai ditulisnya, terutama sandiwara radio. Jika istrinya belum setuju dengan ceritanya, SH Mintardja pun belum akan menyerahkan naskah tersebut.
Setiap bekerja, ia menyediakan dua mesin ketik. Ia mengaku tak pernah menyimpan stok cerita, jika jari-jemarinya sudah bersentuhan dengan tuts mesin tik, ide ceritanya seakan mengalir begitu saja. Namun bila ia kehabisan ide atau mentok, ia akan berpindah ke mesin ketik lain dan membuat cerita lain.
Ternyata, selain mengarang cerita silat atas kehendaknya sendiri, SH Mintardja juga tidak menolak cerita pesanan, misalnya, untuk pementasan ketoprak. Bahkan salah satu naskahnya disukai Sultan Hamengku Buwono X. Naskah ketoprak hasil karyanya yang berjudul Sumunaring Suryo ing Gagat Raino bercerita tentang alih kekuasaan dari Pajang ke Mataram itu dipentaskan November 1996 di Keraton Yogya.
Karya SH Mintardja akhirnya terhenti pada 18 Januari 1999. SH Mintardja menghembuskan nafas terakhir di hadapan anggota keluarganya, Senin, pukul 11.39 WIB di Rumah Sakit Bethesda, Yogya, dalam usia 66 tahun. Jenazah SH Mintardja dimakamkan Selasa (20/1/1999) pukul 15.00 WIB di pemakaman Kristen Arimatea, Mergangsan, Yogyakarta. Almarhum dirawat di RS Bethesda sejak Sabtu 26 Desember 1998 karena menderita sakit jantung. Meskipun telah tiada, karya-karya SH Mintardja tetap hidup dan tak pernah tenggelam ditelan waktu. eti | muli-mlp
Sumber:
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA