Jakarta - Sudah setahun terakhir Hasanuddin berpikir keras untuk menjalankan usaha warisan orang tuanya, ondel-ondel. Pria ini harus menerima kenyataan sepi tawaran manggung bagi kesenian Betawi yang makin tak terdengar nyaring di tanahnya sendiri, Jakarta.
Bahkan Hasanuddin sudah tak berdiam di tanah leluhurnya. Sebagai orang Betawi asli, dan menjadi satu-satunya pewaris darah seni orang tuanya, Hasanuddin harus tinggal jauh dari tepi dan semarak ibu kota, ia tinggal di pedalaman Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Keringnya tawaran manggung bagi kelompok kesenian Betawi yang ia miliki sudah berlangsung selama beberapa tahun. Namun yang terparah, menurutnya, adalah sepanjang 2016 ini ondel-ondel miliknya sepi panggilan.
"Dahulu sebulan setidaknya dua kali panggilan. Sekarang kadang satu per bulan, bahkan sudah tiga bulan baru ada satu panggilan," kata Hasan, sapaan akrabnya, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, di kediamannya, beberapa waktu lalu.
Hasan pasrah kesenian yang diwariskan orangtua hanya kepadanya itu harus tersaingi oleh kesenian modern. Sejak mulai mengikuti jejak bapak-ibunya menjadi seniman saat duduk kelas 1 Sekolah Dasar, Hasan kini nyaris tak lagi merasakan manisnya kemeriahan rezeki semeriah acara Betawi.
Padahal, dalam satu kali pentas, Hasan juga tak banyak mengambil untung. Sepasang ondel-ondel ia tarik biaya Rp2,5 juta untuk sekali tampil selama 2,5 jam. Dibagi dengan anggota tim sejumlah 13 orang lalu ditambah biaya akomodasi, Hasan hanya mendapat untung Rp100 ribu, di era saat ini.
Sejak mulai memimpin grup kesenian yang kini bernama Duta Cilik Bulan Purnama saat usianya 17 tahun sepeninggal sang Ayah, Hasan sudah pernah mengecap ngamen di jalanan. Kala itu, di era 1998-1999, kelompok Hasan ngamen dari kampung ke kampung memainkan alat musik gambang kromong.
"Saya terinspirasi dari prestasi orang tua sebagai seniman. Meski kadang pekerjaan seniman dianggap sebelah mata, namun malah banyak dipercaya juga," tutur Hasan.
Hasan sudah pergi pagi-pagi dari rumahnya di Kemayoran bersama timnya. Mulai dari hanya dibayar Rp1500 perak per lagu, dikejar penduduk kampung dengan golok karena dianggap berisik, sampai pulang tengah malam dan mendapati rumahnya tergenang banjir, sudah pernah ia rasakan.
Ia saat itu hanya ngamen melalui gambang kromong, karena sejatinya, ondel-ondel hanya dikeluarkan di momentum resmi seperti peresmian gedung, pernikahan, atau sunatan. Saat itu pula, kelompok Hasan adalah satu dari sedikit kelompok kesenian Betawi yang memiliki ondel-ondel seantero Jakarta.
"Saat itu saya bertekad, saya tidak ingin mengamen lagi," kata Hasan mengenang.
budaya Betawi, Hasanuddin saat ditemui di rumahnya di Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sumber: http://www.cnnindonesia.com