Menyelami Sejarah Sumatera

SUMATERA atau Sumatra adalah pulau keenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 443.065,8 km2. Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti “pulau emas”). Kemudian pada Prasasti Padang Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi (bahasa Sanskerta, berarti “tanah emas”) dan bhūmi mālayu (“Tanah Melayu”) untuk menyebut pulau ini. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad ke-14 juga kembali menyebut “Bumi Malayu” (Melayu) untuk pulau ini.

Asal nama Sumatera berawal dari keberadaaan Kerajaan Samudera (terletak di pesisir timur Aceh). Diawali dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudera menjadi Samatrah, dan kemudian menjadi Sumatra atau Sumatera, selanjutnya nama ini tercantum dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis, untuk dirujuk pada pulau ini, sehingga kemudian dikenal meluas sampai sekarang.

Setengah daerah Utara Sumatera berjejer dengan semenanjung Melayu yang jarak anatara keduanya dipisahkan oleh Selat Malaka. Sementara ujung bagian Selatan dipisahkan dari Jawa oleh Selat Sunda.

Dalam tulisan yang berjudul Menggugat Asal-usul Pulau Sumatera ditulis oleh Yunanto Wiji Utomo pada laman kompas menyatakan ada tiga versi sejarah geologi pembentukan Sumatera yang berkembang saat ini. Versi pertama mengungkapkan bahwa pulau Sumatera sepenuhnya bagian dari tepi lempeng benua Eurasia. Versi kedua, seperti yang diyakini Pulunggono, Cameroon, dan Hall, Sumatera terbagi atas lempeng benua Eurasia di bagian timur dan mikro-kontinen di bagian barat.

Sementara versi ketiga, dimana Sumatera terdiri dari tepi lempeng benua di bagian timur dan busur kepulauan di bagian barat. Lalu, mana yang benar?

Banyak geolog saat ini memandang bahwa Sumatera merupakan lempeng benua Eurasia hanya untuk mempermudah saja. Pada dasarnya, geolog setuju bahwa Sumatera tidak sepenuhnya merupakan bagian dari Eurasia. Namun, komponen lain Sumatera dan pembentukannya masih menjadi perdebatan.

Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pordenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.

Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau “Samatrah”. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama “Camatarra”. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama “Samatara”, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama “Samatra”. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu “Camatra”, dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya “Camatora”.

Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak benar: “Somatra”. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih kacau menuliskannya: “Samoterra”, “Samotra”, “Sumotra”, bahkan “Zamatra” dan “Zamatora”.

Namun, catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatera. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia: Sumatera. [Eva De]

Sumber: http://pedomanbengkulu.com
-

Arsip Blog

Recent Posts