PEREMPUAN ternyata memiliki korelasi keagungan tersendiri dalam mitologi yang tercipta di Indramayu. Mitologi tersebut seakan-akan menjadi sumber adanya ritual adat istiadat di wilayah tersebut selama beratus-ratus tahun. Upacara adat mapag sri, sedekah bumi, nadran, dan ngarot memiliki keterkaitan dengan mitologi tersebut.
Perempuan menjadi ikon yang melegenda akan adanya upacara adat mapag sri, sedekah bumi, dan nadran. Mapag sri dan sedekah bumi merupakan upacara adat para petani di Indramayu yang berkaitan dengan lahan pertanian, tanaman padi, dan ungkapan rasa syukur. Nadran merupakan upacara adat para nelayan di Indramayu yang berkorelasi dalam lingkup pesisir, lautan, ikan, dan ungkapan mulang trima (ungkapan bakti) kepada Sang Pencipta.
Sedekah bumi senantiasa digelar seusai musim panen padi di desa-desa. Bentuk acara adat tersebut adalah warga desa melakukan apresiasi pergelaran wayang kulit purwa di lebu (balaidesa) siang-malam. Di balai desa itu pulalah warga berduyun-duyun membawa nasi tumpeng, lengkap dengan bakakak ayam dan kue-kue tradisional lainnya. Setelah doa bersama, nasi-nasi tumpeng itu dimakan bersama para pengunjung, dan sebagian lainnya dibagikan ke rumah aparat desa dan tokoh masyarakat.
Upacara adat sedekah bumi memiliki narasi tentang cerita wayang ”Bumi Loka”. Oleh karenanya, sering kali pula ada yang menyebut sedekah bumi sebagai upacara adat Bumi Loka. Nama tersebut berkaitan dengan cerita adanya Prabu Natakawaca, ayah Bumi Loka, seorang raja di suatu kerajaan yang terkenal sakti mandraguna.
Pada suatu bagian cerita, Prabu Natakawaca jatuh cinta kepada bidadari di Suralaya bernama Dewi Supraba. Natakawaca naik ke Suralaya untuk melamar Supraba kepada Betara Guru. Sayang, lamarannya ditolak. Akibat penolakan tersebut, Sang Prabu murka besar. Dia mengamuk di Suralaya tersebut. Tak ada satu pun Dewa yang sanggup meladeninya. Akhirnya Betara Guru segera mengutus Betara Narada untuk turun ke bumi menemui Arjuna. Tujuannya satu, minta bantuan Arjuna untuk menghentikan amukan Natakawaca. Arjuna menyanggupi. Benar saja, di Suralaya tersebut Arjuna mampu menghentikan dan menewaskan Natakawaca.
Agaknya cerita tidak berhenti sampai di sini, sebab putra Natakawaca bernama Bumi Loka menuntut balas kematian ayahnya. Di bumi ia menyerang Kerajaan Amarta, negara yang juga didiami Arjuna. Kesaktian Bumi Loka seperti dipertaruhkan dalam melampiaskan dendam pada Arjuna. Kerajaan Amarta dibuat kering kerontang, warga sangat kesulitan mencari air. Kemarau berkepanjangan. Arjuna segera turun tangan. Bumi Loka dikejarnya. Adu tanding terjadi. Akhirnya Bumi Loka dapat ditewaskan Arjuna. Seiring dengan kematian Bumi Loka, hujan pun turun di bumi. Warga bisa mengolah kembali sawah ladangnya.
”Mapag sri”
Secara etimologi basa Dermayu (bahasa Jawa dialek Indramayu), mapag sri berarti menyongsong padi. Songsongan ini dihubungkan dengan musim panen padi yang segera tiba dalam dua atau tiga hari lagi. Masyarakat pun menyambutnya dengan menggelar wayang kulit purwa di balaidesa. Lakonnya adalah tentang Dewi Sri, dewinya padi.
Menurut cerita, Betara Guru memiliki dua putra, yakni Angkarasa dan Angkasari. Suatu hari, Betara Guru memanggil kedua putranya tersebut. Angkasari yang rumahnya dekat diperintahkan agar segera menyampaikan kepada kakaknya, Angkarasa, yang rumahnya memang agak jauh. Ketika Angkasari tiba di rumah kakaknya, ternyata sang kakak sedang sakit panas. Dorongan hawa panasnya bahkan membuat Angkasari jatuh terpelanting.
Hal inilah yang membuat Angkasari merasa sakit hati atas kejadian tersebut. Ia kemudian berbohong ketika melaporkan kepada ayahandanya. Ia mengaku bahwa kakaknya menolak menghadap ayahnya, bahkan menantang adu kesaktian. Atas laporan tersebut, tanpa menyelidiki hal sebenarnya, Betara Guru murka. Kutukan pun terlontar, yakni agar Angkarasa berubah menjadi ular.
Betara Guru kemudian mengutus Betara Narada agar ke tempat Angkarasa. Benarlah, Angkarasa sudah berubah menjadi ular, yang kemudian diberi nama Sang Hyang Antaboga. Akan tetapi, tubuh ular tersebut tetap panas. Betara Narada merasa kasihan memperhatikan hal ini. Ia berusaha mencari pangkal penyakit panas ini. Dengan menggunakan lidi, Narada mengulik-ulik telinga ular tersebut. Tanpa dinyana, dari telinga tersebut keluarlah sebuah telur yang sangat panas.
Ketika telur tersebut dipegang Narada, terasa sangat panas sekali. Ia tak sanggung menyentuh dan memegangnya. Inilah yang membuat telur itu terjatuh. Akan tetapi, jatuhnya telur itu melesat cukup jauh, yakni di Sapta Loka, lapisan bumi ketujuh. Telur panas itu kemudian diketemukan Dewi Pertiwi. Beberapa hari kemudian, telur itu dierami. Setelah cukup waktu, menetaslah telur tersebut. Dari kulitnya menjadi emban dunya, dari cairan putihnya menjadi sejana, dan dari cairan kuningnya menjadi sosok Dewi Sri yang cantik.
Betara Guru yang kemudian mengetahui hal itu, berupaya menjodohkan Dewi Sri dengan Budug Basu, putranya. Namun, Dewi Sri menolaknya. Agaknya Betara Guru merasa sakit hati, sehingga ia mengancam Dewi Sri dengan senjata ani-ani atau ketam pemotong padi. Apa yang dilakukan Dewi Sri ternyata tragis. Ia menerjang alat tersebut, sehingga ia pun tewas. Kematian Dewi Sri itulah yang kemudian menjadi momentum para petani, sebab dari kuburan Dewi Sri tumbuh sebatang tanaman baru yang bernama tanaman padi.
Cerita Dewi Sri dan Budug Basu itu ternyata juga menjadi latar upacara adat para nelayan, yakni Nadran. Seperti halnya sedekah bumi ataupun mapag sri, acara nadran juga menggelar wayang kulit purwa. Ceritanya mengetengahkan Budug Basu sebagai putra dewa yang berkaitan dengan penguasa laut, Dewa Baruna. Ungkapan cinta Budug Basu yang ditolak Dewi Sri membuatnya sakit hati. Rupa Budug Basu memang buruk. Badannya penuh koreng, badannya juga berbau anyir. Ia akhirnya menderita dan meninggal dunia.
Kematian Budug Basu ternyata juga belum selesai. Sebab, tak ada seorang pun yang mau menguburkan jasad tersebut. Hal itu karena baunya sangat menyengat tak sedap. Akhirnya pada dewa memerintahkan dua bersaudara bernama Cukeng dan Wrengkeng untuk melemparkan mayat tersebut ke tengah lautan. Konon, di tengah lautan itu tubuh Budug Basu berubah menjadi ikan-ikan yang banyak.
Upacara adat ngarot memang tidak spesifik memiliki latar cerita. Akan tetapi, di situ tercetus interpretasi akan adanya makna kesuburan, yang tentu saja berkorelasi pula dengan perempuan. Pada upacara adat yang ada di Desa Lelea dan sekitarnya itu, barisan jejaka desa membawa alat-alat pertanian, sedangkan para gadis desa membawa bibit padi. Mereka berkumpul di halaman balai desa dengan pakaian khas, jejaka berbusana komboran dan iket di kepala, sedangkan gadis berbusana kebaya dengan hiasan aneka bunga di kepala.
Mereka kemudian berpawai mengelilingi desa. Ketika kembali lagi ke halaman balai desa, para jejaka dihibur kesenian tari ronggeng ketuk yang dimainkan perempuan. Para gadis dihibur kesenian topeng, yang ditarikan laki-laki. Di situ seperti ada persilangan, yakni jejaka dipertemukan penari perempuan, gadis dipertemukan penari laki-laki. Persilangan itu seperti menandai dimulainya makna kesuburan. (Supali Kasim, aktivis Lembaga Kebudayaan Indramayu)***
Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com