Oleh Robby Patria
”Kalau teman diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang tak lagi jadi tabu dibicarakan,” kata salah satu pegawai di Tanjungpinang di sebuah kedai kopi belum lama ini.
Mereka sibuk membicarakan masalah KPK menetapkan mantan Bupati Kabupaten Natuna jadi tersangka, menunggu siapa lagi yang ditetapkan KPK jadi tersangka di kasus korupsi dana bagi hasil migas Natuna.
Ditambah gerakan KPK mengobok-obok Kantor Pemko Batam, kasus Dam Baloi, dan pengadaan mobil pemadam kebakaran di Batam. Kasus itu banyak memasukkan pejabat di Indonesia ke jeruji besi.
Tahun lalu, masyarakat Kepri, sempat dihentakkan kasus besar yang jadi pembicaraan seantero negeri ini karena tertangkapnya Sekda Bintan Azirwan oleh KPK dalam kasus penyuapan anggota DPR Al Amin Nasution saat peralihan lahan di Bintan Bunyu yang saat ini dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Bintan.
Sejak kasus itu putus dan Azirwan dihukum 2,5 tahun penjara, publik hanya disodorkan kasus kecil di Kepri. Ketika KPK mulai menyita dokumen Pemko Batam dan memeriksa pejabat tinggi di Kepri belum lama ini, seolah kebobrokan birokrasi itu jelas ada. Media pun menjadikan isu ini jadi laporan utama. Masyarakat jadi tahu jika selama ini, pejabat yang mereka percayakan mengelola hasil pajak yang mereka bayar ke negara ternyata ada yang tak beres.
Hamid Rizal seolah-olah baru episode awal tahun 2009. Jika dicermati, dalam kasus dana bagi hasil migas, anggota KPK yang datang ke Natuna menyatakan sekitar tiga tersangka. Berarti akan ada dua lagi pejabat yang masuk daftar hitam dalam waktu dekat ini. Bahkan ada juga yang mengatakan jelang pilkada gubernur 2010, pilkada di Batam, Bintan, dan Lingga, 2011 banyak kasus dugaan korupsi naik ke permukaan untuk menjatuhkan figur tertentu.
Tentulah KPK tidak akan melakukan pemeriksaan jika pemerintah daerah menjalankan proses pemerintahan dengan tertib dan transparan. Ya, pejabat di Kepri yang melakukan kejahatan korupsi tak akan tidur tenang. Karena KPK sudah menyentuh kulit luar dari sebuah bola emas yang terus menggelinding sampai titik nadir dan bola itu akan sampai ke tujuan untuk menangkap mereka yang merampok uang rakyat.
Bisa saja sekarang si pejabat sibuk memikirkan nasibnya. Ibarat pepatah sepandai-pandai tupai melompat jatuh juga ke tanah, bisa jadi akan menjadi kenyataan. Lambat laun, kasus korupsi penjarahan uang rakyat akan dibongkar KPK. Dalam sekejap popularitas yang dibangun begitu lama hilang tak berbekas.
Keluarga pejabat yang melakukan korupsi kena sanksi moral dari lingkungan yang parah dibandingkan lama mendekam di bali jeruji besi. Cap sebagai koruptor dan perampok uang rakyat sepertinya akan disandang sampai mati. Gelar itu juga lebih buruk dari seorang maling ayam di kampung yang terpaksa mencuri karena kelaparan. Karena maling ayam tidak membuat ribuan bahkan jutaan orang sengsara. Sedangkan koruptor membuat miskin bangsa ini untuk kepentingan diri sendiri.
Bahkan kita tahu uang haram yang dimakan dan diberikan ke anak dan istri akan dimintai pertanggung jawaban di pengadilan Yang Maha Adil yang tak bisa dibeli oleh apapun. Kenapa mereka yang korupsi masih lupa dengan pengadilan Tuhan yang jujur akan akan dirasakan tak lama lagi.
Banyak pegawai yang kini mulai takut jadi bendahara, dan pimpinan proyek. Untuk menjadi pimpinan proyek pun harus mikir.Dulu, menjadi pimpro, jabatan yang paling dicari. Karena gencarnya penegakkan hukum, kekhawatiran tersandung hukum membuat jabatan tersebut ditakuti. Ketakutan itu berbuah penyerapan kue APBD di seluruh Indonesia menjadi relatif kecil. Di Batam saja, APBD 2008 masih tersisa lebih dari Rp180 miliar karena banyak proyek Dinas PU tidak dilelang.
Harusnya dana Rp180 miliar itu bisa dinikmati masyarakat. Tetapi, entah kenapa menghabiskan anggaran saja, sulitnya bukan main. Inilah salah satu ketakutan pejabat untuk mengelola kue manis APBD. Kita tunggu saja drama yang dimainkan korupsi di Kepri yang disutradarai oleh KPK dalam melakukan pengawasan terhadap penggunaan uang rakyat.
Tentunya kita menginginkan uang rakyat itu dikelola dengan transparan untuk kepentingan rakyat. Bukankah rakyat sudah membayar besar pejabat publik itu agar mereka berbakti kepada rakyat. Bukan sebaliknya mereka merampok uang rakyat yang bukan haknya. Bukankah di Kepri masih ada 73 ribu rumah tangga miskin yang harus diperhatikan.Sedangkan di Indonesia ada 17 juta kepala keluarga yang tergolong susah dan laik diberikan bantuan.
Kecurangan dan kebaikan itu berjalan bersama. Jika kebaikan itu yang sampai pertama kali, maka keburukan akan terkubur. Abdi rakyat itu akan tenang menghabiskan masa tuanya. Tetapi jika keburukan yang tiba pertama, maka bukan tak mungkin mereka menghabiskan masa tua di balik jeruli besi. ***
Robby Patria, Wartawan Harian Batam Pos
Sumber: Batam Pos, Rabu, 27 Mei 2009