Oleh Zainul Maarif
Konspirasi dapat diidentifikasi kemunculannya minimal dari kehadiran empat fenomena. Pertama, ada peristiwa yang mengubah tatanan kekuasaan. Kedua, masyarakat dapat mencerna adanya kerancuan dalam penjelasan-penjelasan tentang peristiwa tersebut. Ketiga, perhatian dan keingintahuan tentang peristiwa tersebut dibangkitkan sebesar-besarnya. Dan keempat, muncul asumsi adanya penyalahgunaan kekuasaan dan penyebaran penipuan dalam pencarian informasi lanjutan tentangnya (Rudmin, 2003).
Saat ini terasa benar keempat fenomena itu di Indonesia. Kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), telah mengguncang salah satu elemen penyeimbang kekuasaan di Indonesia, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan ditetapkannya Ketua KPK Antasari Azhar sebagai tersangka otak pelaku pembunuhan (intellectuele dader) Nasrudin, KPK untuk sementara waktu kehilangan ketua sekaligus salah satu anggota pimpinannya. Meski kinerja KPK ditetapkan untuk dilanjutkan oleh pimpinan kolektif KPK secara periodik, Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia justru mendelegitimasinya dan mengusulkan pemilihan ketua KPK baru.
Di samping fenomena janggal itu, publik juga disuguhi informasi yang sulit diterima oleh nalar. Antasari, yang selama ini gigih dan cukup berhasil mengusut koruptor kelas kakap dan secara akal sehat bisa diprediksi berupaya selalu waspada menghadapi segala risiko turunan keberaniannya itu, tiba-tiba digosipkan tersandung perkara "remeh" (cinta segitiga) yang diselesaikan dengan "solusi" berisiko terlampau besar (pembunuhan). Secara rasional, skenario yang diwartakan itu sulit diterima. Rasio cenderung menampik isu tentang seorang aparat hukum berkaliber tinggi yang dimusuhi "bandit-bandit kerah putih" berjumlah banyak, melakukan tindakan sangat ceroboh berakibat fatal dengan motif sangat lemah.
Ironisnya, berita yang masih simpang-siur itu dibesar-besarkan. Nyaris semua media massa cetak maupun elektronik di Indonesia meletakkan isu tentang Nasrudin Zulkarnaen, Antasari Azhar, dan Rhani Juliani ("pramugolf" Modernland, Tangerang) di berita utama. Perhatian dan keingintahuan publik diarahkan ke situ. Secara otomatis, berita-berita penting lain pun terpinggirkan. Di momen ini, publik wajar untuk curiga. Tidaklah naif jika mereka menebak ada manipulasi dan konspirasi di baliknya. Ketika publik dihadapkan pada kemunculan tanda-tanda konspirasi, publik seyogianya tidak terbuai olehnya, melainkan membongkarnya. Pendobrakan atas tanda-tanda konspirasi itu disebut dengan teori konspirasi.
Teori konspirasi
Teori konspirasi adalah teori yang berfokus membobol kontradiksi, pertentangan dan kegagalan rasionalitas di dalam berita-berita baku, sambil menelisik fakta-fakta yang (di)hilang(kan), dilewatkan, dan tidak sesuai dengan penjelasan ortodoks. Lantaran punya kecenderungan semacam itu, Floyd Rudmin (2003), anggota Departemen Psikologi Universitas Tromsø, Norwegia, menyebutnya dengan teori dekonstruktif naif. Dikatakan "dekonstruktif" karena ia melawan penjelasan resmi, jurnalisme ortodoks, bahkan sejarah baku dengan menggeledah paradoks-paradoksnya. Dijuluki "naif" lantaran ia menganggap lugu dan irasional terhadap kabar konvensional dan janggal yang disebarkan oleh pengirim-pengirim informasi arus utama.
Dekonstruksif naif ini mencurigai adanya kekuatan-kekuatan tersembunyi di balik informasi publik yang ganjil. Berbekal penalaran logis dan empiris yang menganut prinsip keselarasan (principle of fit), teoritisi konspirasi membongkar kejanggalan itu demi membela kepentingan dan kebaikan publik (commun bonum). Meretas konspirasi memang tergolong sulit dan berisiko. Pasalnya, data tandingan pengfalsifikasi wacana arus utama sangat susah didapat. Kalaupun bisa ditemukan, publikasi atasnya akan berhadapan dengan bahaya tingkat tinggi. Jadi diperlukan keberanian, keuletan, dan strategi ekstra untuk menjadi teoritisi konspirasi.
Urgen
Seperti disinggung di depan, publik digiring untuk membenarkan keterkaitan pejuang pemberantasan korupsi par excellence dengan tindak pidana berat bermotif "sepele" (yang kebenarannya dipertanyakan dan kalaupun benar, ada indikasi jebakan di dalamnya). Publik juga diarahkan untuk mendukung upaya penghilangan pejuang itu dengan pemakzulan total dan penggantian. Di waktu yang sama, KPK ditakut-takuti oleh para "wakil rakyat". "Representasi warga negara" itu mendelegitimasi keputusan dan tindakan KPK dan berupaya menghentikan aktivitasnya sambil berusaha membongkar strukturnya dengan memasukkan orang baru.
Penggiringan opini publik dan penggoyangan KPK itu tentu sangat merugikan publik dan ruang publik. Publik dengan kata lain sedang dibodohi dan dibohongi. Sementara itu, ruang publik sedang diacak-acak dan disetir. Di masa semacam ini, kepedulian pada publik dan ruang publik benar-benar sedang diuji. Pengoyak-oyakan dan pengemudian ruang publik seperti itu harus dihentikan dan dibongkar. Demikian pula pembodohan dan pembohongan publik mesti disetop dan dilucuti.
Orang-orang yang selama ini mengaku peduli pada publik dan ruang publik tanpa pamrih sedang ditunggu keberanian dan kegagahannya. Mereka diharapkan menyelamatkan publik dan ruang publik dari arus konspirasi yang menghancurkan tatanan secara laten. Mereka didambakan memereteli konspirasi demi kemaslahatan publik dan ruang publik. Mereka tidak semata-mata latah membahas isu yang diembuskan konspirator, melainkan mengungkap latar belakang tersembunyi dari pem-blow-up-an isu konspiratif. Artinya, mereka diminta untuk menyingkap makna lebih dalam dan lebih lanjut di balik relasi antara penanda dan pertanda konspiratif. Sekaranglah saatnya konspirasi dibongkar dan publik serta ruang publik diselamatkan!
Zainul Maarif, Magister Filsafat Universitas Indonesia