Benda Bersejarah di Magelang Diduga Terkait Kerajaan Besar Abad ke-8

Magelang, Jateng - Beberapa waktu lalu ditemukan lumpang, gandik, yoni, relief kosong dan patung di Dusun Gendungan, Desa Kalibening, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah oleh petani setempat secara tidak sengaja. Ini merupakan penemuan bersejarah yang akan menguak genealogi masyarakat Jawa yang kini tinggal di sekitar lokasi.

Namun demikian, penemuan ini masih menyisakan banyak tanda tanya terkait pembuat, tujuan dan kapan benda-benda dibuat. Sejauh ini, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah baru sampai pada dugaan bahwa situs Tamansari itu merupakan peninggalan masa klasik abad 8-9 Masehi. Masa tersebut merupakan era kejayaan Kerajaan Mataram Kuno di Tanah Jawa dan Nusantara.

Tergelitik dengan penemuan yang bakal menjadi pintu masuk ke deskripsi peradaban masyarakat Jawa di masa lalu, Merapi Cultural Intitute (MCI) melakukan studi pustaka. Mereka meneliti literatur-literatur kuno yang akan membantu menyingkap misteri benda-benda misterius tersebut.

Peneliti MCI Hrb Binawan yang kini menjadi dosen di Institut Teknologi Yogyakarta (ITY) mengatakan, penemuan tersebut diduga kuat terkait dengan keberadaan sebuah kerajaan besar di abad ke-8 (kurang lebih tahun 717 M). Kerajaan tersebut bernama Medhang Metriam atau Medhang Metriam Poh I Pitu yang berpusat di desa Adireja sebelah timur Gunung Buthak, kini wilayah Kabupaten Temanggung.

"Medhang Metriam didirikan oleh Sanjaya atau Hang Sanjaya yang berdarah campuran," ujar Binawan, Selasa (7/6).

Medhang Metriam sejatinya kerajaan merdeka yang juga adalah induk dari kerajaan Medhang Galuh, Medhang Pakuwon dan Medhang Metriam itu sendiri. Poh I Pitu menandakan keberadaan pohon Poh atau Kepoh yang berjumlah tujuh di dekat tujuh pohon Kepoh itulah Keraton atau Kedaton Medhang Metriam berdiri.

Sanjaya menjadi ratu atau datu dari sebuah kerajaan yang sangat heterogen budaya, bahasa, agama dan suku-suku bangsanya.

"Kemajemukan ini menjadi sebuah simbol kerukunan dan persatuan yang indah, namun di sisi lain pluralitas juga membawa potensi ancaman bagi eksistensi kekuasaan Sanjaya," kata Binawan.

Sanjaya menghadapi pemberontakan hebat dari para ksatria keturunan India yang menamakan diri mereka Syailendra. Akibatnya, Sanjaya kalah dan harus bergeser ke wilayah timur di sekitar Prambanan atau Prambwana. Lalu dinasti Syailendra otomatis memegang kekuasaan di wilayah barat meliputi Magelang, Yogyakarta, Purworejo, Wonosobo, Kebumen dan sebagainya.

Kedua wangsa tersebut, baik yang di timur maupun barat, lambat-laun bercampur, sehingga sampai saat ini tidak ada lagi yang benar-benar murni.

Saat memerintah, Sanjaya banyak dipengaruhi oleh falsafah dan budaya wangsa Chandra. Maka Sanjaya membangun keraton/kedaton dari rumah kayu beratap ijuk dan tidak membangun candi melainkan pagoda kayu. Wangsa Chandra memiliki kebiasaan melarung abu raja/bangsawan ke sungai atau laut. Sementara raja-raja Dinasti Syailendra kental dipengaruhi budaya wangsa Surya.

"Mereka membangun keraton secara permanen dari batu dan membangun candi-candi termasuk prasasti-prasati dalam bentuk ukiran batu," kata dia.

Abu raja atau bangsawan disimpan di candi-candi. Di sekitar candi, mereka biasanya membangun tempat pemandian bagi para peziarah sebagai bagian dari ritual pencucian diri.

-

Arsip Blog

Recent Posts