Pementasan di Fort Rotterdam Saingi Singapura

Makassar, Sulsel - Perbedaan konsep dan keterbatasan fasilitas pertunjukan tidak akan menurunkan kualitas pementasan opera I La Galigo di Fort Rotterdam. Pementasan selama tiga hari, 22-24 April, tetap berkualitas seperti pertunjukan di beberapa negara sebelumnya.

Produser pementasan epik I La Galigo, Restu Imansari Kusumaningrum mengatakan, alur cerita, tata panggung, kostum, hingga lama pertunjukan tetap sama pertunjukan sebelumnya. "Perbedaannya hanya pada konsep indoor dan outdoor pertunjukan," katanya pada konferensi pers di Fort Rotterdam, Sabtu, 16 April.

Pertunjukan di udara terbuka juga mengadopsi seni pementasan di Indonesia. Restu mengakui, perbedaan pasti ada di setiap negara dan menyesuaikan kondisi, tetapi tidak mengurangi kualitas.

Penyelenggara pertunjukan menyediakan waktu khusus untuk masyarakat umum menyaksikan pertunjukan kelas dunia. Pertunjukan pada 22 April dikhususkan bagi sekitar 200 anak panti asuhan, mahasiswa, dan kalangan budayawan. "Pengambilan gambar, terutama bagi wartawan hanya bisa dilakukan pada 22 April," kata Restu.

Pementasan khusus pejabat negara, tamu kelas VVIP seperti duta besar, konsulat jenderal, pengusaha, dan tamu penting lainnya pada 23 April. Masyarakat umum kembali dapat menyaksikan pertunjukan selama 2,5 jam ini pada 24 April.

Kenyamanan selama pertunjukan, kata dia, dijaga cukup ketat termasuk dalam pengambilan gambar hingga pembatasan jumlah penonton. Penyelenggara membatasi jumlah penonton maksimal 800 orang setiap hari.

Antuasiasme masyarakat menyaksikan pertunjukan epik I La Galigo yang dipentaskan di tanahnya sendiri cukup besar. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang memasarkan penjualan tiket terbatas kelas titanium, gold, dan festival hingga kemarin masih menyisakan sekira 200 lembar. Bahkan, tiket gold yang dijual Rp200 ribu per lembar sudah habis terjual.

Salah satu perbedaan pementasan I La Galigo di Makassar adalah penampilan Mak Cinda yang menggantikan posisi Mak Coppong, penari Pakarena yang meninggal dunia tahun lalu. Sekitar 80 persen kru termasuk penari dan pemain musik merupaka seniman asli Sulsel.

Pelakon utama I La Galigo di antaranya Kadek Tegeh Okta dari Bali yang memerankan Sawerigading, Muhammad Gentille Andi Lolo (La Galigo), dan Sri Qadaryati dari Yogyakarta (We Cudai). Tiga pemain asing juga selalu mendampingi pemain yakni, Sue Jane dari Amerika, Kristin dari Australia, dan Tai Timbers dari Kanada.

Pertunjukan opera kelas dunia tersaji dari penataan cahaya, suara, panggung, serta alur cerita pementasan epik I La Galigo. Production Manager I La Galigo, Giovanni Tomodok bahkan menyebut pementasan di Fort Rotterdam menyaingi pertunjukan di gedung Esplanade, Singapura.

Spektakulernya pertunjukan I La Galigo mulai dari penggunaan perangkat sound system mencapai 290 ribu watt dan tata cahaya hingga 100 ribu watt. "Total menggunakan 196 buah lampu untuk menghasilkan efek dramatisasi," ujar Giovanni di Fort Rotterdam, Sabtu, 16 April.

Panggung berdimensi 25x15 meter telah berdiri di tengah-tengah bangunan Fort Rotterdam lengkap dengan berbagai perangkat tata cahayanya. Sekitar 90 persen pekerjaan panggung selesai dan harus rampung pada 19 April untuk digunakan geladi resik.

Satu kontainer property panggung dari Milan, Italia, telah tiba di Makassar beberapa hari lalu. Giovanni mengakui, tingkat kesulitan menata pertunjukan I La Galigo di Fort Rotterdam cukup tinggi.

Pertunjukan berkonsep out door membuat perangkat yang digunakan serba lebih. Perangkat pertunjukan juga menggunakan 80 persen teknologi lokal dengan kualitas yang sama saat pertunjukan di luar negeri.

"Penggunaan teknologi lokal bukan hanya sekadar menekan biaya pertunjukan tapi tetap dengan kualitas maksimal, tetapi juga mengangkat kemampuan masyarakat lokal," tuturnya.

Selama berkelana di luar negeri seperti Italia, Spanyol, Belanda, Prancis, Singapura, dan Australia, pertunjukan I La Galigo berkonsep outdoor hanya dua kali dilakukan. Sebelumnya, pertunjukan di Lyon, Prancis juga berkonsep outdoor.

Tapi, pertunjukan di Lyon 2003 lalu dilakukan di amphitheater dengan fasilitas dan teknologi yang super lengkap. Inilah yang membuat berlabuhnya I La Galigo di tanah kelahirannya memiliki tingkat kesulitan tinggi. Penyelenggara pertunjukan juga harus melakukan antisipasi terhadap kemungkinan hujan yang turun saat pementasan.

-

Arsip Blog

Recent Posts