Oleh UU. Hamidy
Orang Melayu telah memandang Agama Islam dengan rangkai kata “dapat dipakai untuk hidup serta dapat ditumpangi untuk mati”. Maknanya, Agama Islam dapat menjawab dua tantangan besar hidup manusia. Pertama tantangan hidup dunia, kedua tantangan hidup di akhirat.
Agama Islam dalam pandangan tradisi Melayu yang Islami, telah menjawab kedua tantangan itu dengan tuntas lagi memuaskan. Maka tampaklah dalam tradisi melayu, agama Islam mengatasi segala budaya umat manusia. Sebab budaya umat manusia hanya sebatas kepentingan dunia, tidak bisa terpakai menghadapi maut. Budaya manusia hanya sebatas hawa nafsunya, takkan pernah mampu menjawab kegelisahan batin menghadapi maut.
Maka, kematian dalam tradisi Melayu telah dipandang peristiwa besar yang mengubah jalan hidup manusia. Betapa tidak dikatakan demikian, dengan melalui pintu kematian terbukalah dua jalan: jalan ke surga yang penuh rahmat atau ke neraka yang penuh siksa.
Bersabit dengan itu orang Melayu memandang hidup dunia adalah bekal untuk hidup akhirat. Bekal atau persiapan itu yang utama ialah melaksanakan syariat Agama Islam, yang satu di antaranya ialah puasa atau siam.
Menghadapi Bulan Ramadan yang biasa disebut oleh orang Melayu dengan Bulan Puasa, tradisi Melayu di perkampungannya sepanjang aliran sungai 50 tahun yang silam, cukup menarik untuk dikenang, dalam rangka merenungkan makna hidup kita hari ini. Puasa Ramadan benar-benar dipandang kesempatan beribadah yang tiada tara. Maka, pada masa itu menghadapi Bulan Suci tersebut mereka menghadapinya dengan mempersiapkan berbagai perkara.
Pertama, kayu api sudah disiapkan dengan merambah belukar, yang kelak setelah kayunya mati akan dipakai sebagai kayu api. Kedua, menyiapkan beras dan sepulut, sebab ladang mereka telah dituai sebelum tiba Bulan Puasa. Ketiga, memelihara pisang, terutama pisang batu yang amat perlu untuk dibuat kolak. Keempat, surau dan masjid dibersihkan, dan kelima menyongsong Ramadan dengan hati gembira.
Ketika Ramadan tiba dan ibadah puasa atau siam sudah berlangsung, kita akan menyaksikan lagi tradisi Melayu yang amat kokoh memelihara silaturahmi. Mereka berbuka bersama dari rumah ke rumah, menjelang sanak familinya yang berada dalam kampung itu atau dengan kampung yang berdekatan. Mereka membawa rantang yang berisi nasi, lauk-pauk, gulai dan bermacam sambal sampai bermacam panganan dengan kolak sebagai kesukaan bersama. Biasanya juga diadakan dalam sajadah, yakni malam menanti lailatul qadar baik di surau maupun di masjid.
Selama bulan puasa anak-anak amat merasa senang dan bahagia, karena mereka dapat makan-minum selepas berbuka dengan makanan yang lezat dan mencukupi, yang dalam hari-hari di luar Ramadan hampir tak pernah mereka jumpai. Maka, orang Melayu mengakui betapa murahnya rizki dari Allah SWT dalam Bulan Ramadan. Memang benar Ramadan adalah berkah dari Allah yang maha pemurah.
Lalu hari berganti, bulan menjelang dan tahun berlalu. Sekarang apa yang terjadi dengan orang Melayu di perkampungannya sepanjang aliran sungai itu? Suasana tenteram dan bahagia dalam Bulan Ramadan pada masa lalu itu sudah tinggal kenangan. Hampir tak berkesan lagi hari ini. Apa pasal? Ini berlaku, karena kekayaan orang Melayu yang terdapat pada hutan, tanah, sungai-sungai serta ikan dan marga satwa di rimba belantara sudah rusak binasa oleh tangan-tangan pemerintah yang zalim, pemilik modal yang serakah, alat negara yang curang serta orang bagak yang kejam.
Sekarang orang Melayu di perkampungan itu menghadapi bulan puasa harus siap-siap jauh lebih tabah dan sabar, tahan menderita dalam Bulan Puasa, karena sumber-sumber kehidupan mereka telah habis dihisap, dirampok dan berkecai-kecai, oleh pihak yang hendak memuaskan hawa nafsunya dengan buih kehidupan dunia ini. Lantas, adakah nasib mereka, yang tinggal jauh dari kota yang gemerlapan, akan jadi renungan oleh para pejabat dan wakil rakyat, serta orang kaya-raya yang bergelimang harta dunia ini?***
UU Hamidy, adalah Budayawan Riau.
Sumber: www.riaupos.com (12 September 2008)