Kalau ditanya sejauh mana kepedulian bangsa kita terhadap potensi kekayaan di lautan, jawabannya pasti kurang peduli. Seandainya wakil rakyat yang terhormat di Senayan tahu kondisi peralatan yang kita punyai untuk mensurvei potensi benda cagar budaya (BCB) di perairan Indonesia yang luasnya 2/3 daratan, dengan bentangan pantai sekitar 81.000 km dengan luar laut 5,8 juta kilometer persegi, pasti kaget dan seolah tak percaya.
Bayangkan, untuk melacak keberadaan ratusan kapal kapal-kapal kuno yang karam sejak zaman Kerajaan Sriwijaya (abad VII) hingga Dinasti Song (abad XXIII), Indonesia hanya punya satu alat magnetometer AX2000. Itu pun hasil pemberian pihak asing, yang telah bekerjasama dengan Indonesia untuk melakukan survei, tahun 2009 lalu.
"Walaupun bukan tipe yang terbaru, tapi dengan bantuan magnetometer AX2000 itu kita sudah sangat terbantu. Kalau tak dikasih, kita tak punya sama sekali alat itu," kata Gunawan, Kepala Subdit Eksplorasi Direktorat Jenderal Arkeologi Bawah Air, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Senin (26/4/2010) kemarin di Jakarta. Peralatan lain, seperti GPSMap juga punya satu.
Kalau peralatan sudah minim, jangan tanya soal kapal arau perahu yang khusus untuk survei. Jawabannya, tidak ada. Setiap kali kegiatan, kapal/perahu disewa. Belum lagi bicara soal sumberdaya manusia di bidang arkeologi bawah air yang terbatas, yang hanya memiliki dua penyelam andal untuk kedalaman sekitar 50 meter. Walaupun demikian, kerja penuh resiko itu juga tak ada asuransinya.
Begitu menyedihkan, dan betapa bangsa ini belum menunjukkan kepedulian dengan arkeologi bawah air. Padahal , menurut data Departemen Kelautan dan Perilakanan terdapat sekitar 463 buah titik lokasi kapal kuno yang karam sekitar tahun 1508 sampai 1878. Dari 463 titik ini, baru 186 titik yang telah diketahui lokasinya.
Sementara, dari informasi sejarawan China menyebutkan, dari abad X sampai XX, sekitar 30 ribu kapal China yang berlayar ke wilayah Indonesia, tidak kembali.
Itu baru kapal China. Belum lagi kapal-kapal dagang Belanda (VOC), Inggris, Portugis dan Spanyol, yang tentu tak terhitung jumlahnya karam mulai dari perairan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawei dan bagian timur Indonesia, yang sejak zaman dulu, menjadi daerah lalu-lintas kapal yang relatif padat. Perairan Indonesia padat dan ramai dilayari kapal-kapal dagang karena posisi Indonesia yang strategi s, yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, dan juga karena Indonesia kaya bahan rempah-rempah.
Data dari Direktorat Peninggalan Bawah Air Data dari penelitian dokumen lain Belanda, Portugis, China, dll, tahun 2005, ada 460 kapal karam yang dala m istilah arkeologi sudah menjadi situs. Sedang menurut penelitian dokumen VOC tahun 2005, ada 274 situs. UNESCO tahun 2005 melaporkan ada 500 situs arkeologi bawah air di Indonesia. Hasil survei Direktorat Peninggalan Bawah Air sendiri tahun 2008, terda pat 8 situs. Hasil Survei Panitia Nasional BMKT tahun 2008, ada 3 situs.
Menurut Direktur Peninggalan Arkeologi Bawah Air, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisaya Surya Helmi, peninggalan arkeologi bawah air yang dit emukan di dasar laut merupakan sumberdaya budaya maritim yang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan, sehingga keberadaannya dilindungi oleh UU RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
"BCB bawah air mulai mendapat perhatian di Indonesia ketika arkeolog maritim asal Australia, Michael Hatcher, melakukan perburuan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam di Karang Heliputan, Riau tahun 1986 dan hilangnya arkeolog Satoso Pribadi di perairan Riau," kata Surya.
Di Karang Heliputan tersebut, karena dilakukan secara ilegal oleh kapal Geldernmaisen, berhasil disita benda cagar budaya tahun 1989 sebanyak 140.000 keramik dan 225 logam mulia dari Dinasti Ching (abad 18-19 Masehi). Penemuan BCB secara illegal ini cukup menggemparkan. Walaupun demikian Hatcher berhasil melelang BCB temuannya di balai lelang Belanda Christie senilai 15 juta dollar AS.
Bukan itu saja, pada tahun 1999 di batu Hitam, Bangka Belitung, sebuah perusahaan asing mengambil ratusan batangan emas dan 60.000 perselen China Dinasti Tang yang dilelang senilai 40 juta dollar AS. Setahun kemudian, perusahaan asing yang diduga di bawah kendali Hatcher mengangkut dan melelang 250.000 keramik Cina dari Selat Gelasa, Bangka Belitung, ke Nagel, balai lelang Jerman.
Lain halnya dengan temuan 271.381 keping BCB di perairan Cirebon, Jawa Barat, yang akan dilelang tanggal 5 Mei 2010 mendatang, eksplorasinya dan pengangkatannya dilakukan secara legal dan berwawasan arkeologi, pelestarian, dan penelitian.
"Lelang pada 5 Mei 2010 merupakan lelang Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) pertama yang resmi oleh pemerintah," tandas Surya Helmi.
Sumber: Kompas.com, 27 April 2010