Apatisme terhadap Perekrutan Sang Pejabat

Oleh Suwardiman

Perekrutan dan seleksi pejabat negara yang kerap melalui prosedur yang demikian panjang dan ketat, serta memakan biaya yang tidak sedikit, terbukti tidak selalu berhasil menghasilkan figur terbaik. Perekrutan pejabat publik, terutama komisi negara, dikhawatirkan lebih banyak dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya.

Salah satu indikasi kegagalan adalah banyaknya pejabat negara terpilih yang terbelit skandal hukum. Tidak hanya itu, sejumlah pejabat komisi hasil seleksi ketat itu dianggap tidak mampu menunjukkan kapabilitasnya mengelola dengan baik lembaga yang dipimpinnya. Padahal, perekrutan yang panjang itu tujuannya tidak hanya memindai secara ketat sisi kecakapan calon pemimpin lembaga negara, melainkan integritas moral mereka.

Publik pun meragukan kapasitas dan kapabilitas pejabat publik yang dipilih lewat prosedur lembaga perwakilan rakyat. Hasil jajak pendapat Kompas terhadap 768 responden di sepuluh kota besar di Indonesia menyimpulkan, mayoritas (58,6 persen) responden tidak yakin dengan kualitas dan kemampuan pejabat publik yang dipilih lewat pintu DPR.

Sebanyak 71,9 persen beranggapan bahwa proses seleksi pejabat publik yang dilakukan DPR cenderung lebih kuat dilatarbelakangi pertimbangan-pertimbangan politis. Perekrutan ini dinilai cenderung mengabaikan aspek-aspek obyektif terhadap para calon pejabat publik yang telah melalui proses seleksi yang ketat.

Kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasarudin, yang melibatkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, kembali memicu sinisme publik soal integritas pejabat yang telah dipilih lewat proses ketat.

Sinisme terhadap proses seleksi pimpinan lembaga/komisi negara sebelumnya juga sempat mencuat ketika komisioner Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, ditangkap KPK (26/9/2007).

Irawady tertangkap tangan menerima uang dari rekanan KY dalam pengadaan tanah. Ia didapati penyidik KPK menerima uang Rp 600 juta dan 30.000 dollar AS dari Direktur PT Persada Sembada Freddy Santoso. Dalam kasus ini, MA mengganjar Irawady delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta.

Bukti lain dari gagalnya proses seleksi pejabat publik adalah lolosnya calon anggota KPU, Syamsulbahri, yang ketika itu berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Seleksi yang berlangsung Oktober 2007 itu, seperti dalam proses seleksi komisi lainnya, alot dan penuh dengan tarik ulur dukungan terhadap kandidat yang dijagokan setiap fraksi (partai politik).

Pemilihan kandidat yang alot itu tidak meniscayakan hasil yang terbaik. Sorotan miring terhadap perekrutan pejabat publik makin meluas ketika anggota KPU periode 2007-2012 dianggap tidak mampu menyelenggarakan pemilu legislatif dengan baik. KPU dianggap kedodoran di hampir setiap tahapan penyelenggaraan pemilu lalu. Berbagai persoalan yang menghadang penyelenggaraan pemilu legislatif bulan lalu berujung pada keraguan, apakah memang terjadi kecurangan yang dilakukan secara sistematis ataukah karena ketidakmampuan para anggota KPU menyelenggarakan pemilu.

Lewat pintu DPR
Upaya membenahi sistem perekrutan pejabat publik dituangkan lewat mekanisme yang makin panjang. Bandingkan saja proses seleksi anggota KPU dua periode terakhir. Proses pemilihan anggota KPU periode 2001- 2006 lebih sederhana dibandingkan perekrutan anggota KPU periode sekarang. Pemerintah mengusulkan 22 nama kepada DPR. Selanjutnya DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan melalui Komisi II selama tiga hari. Akhirnya Komisi II DPR memilih 11 anggota KPU.

Sebaliknya, perekrutan KPU periode 2007-2012 lebih panjang. Presiden menuntut lima anggota tim seleksi KPU bergelar doktor. Tim seleksi ini berhasil menjaring 45 calon setelah melalui tes tertulis yang meliputi tes intelegensia (IQ), kepribadian, kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945, serta tes kesehatan mental dan rekam jejak. Selanjutnya dilakukan tes individual, kelompok, dan diskusi. Hasil tes ini menjaring 21 calon anggota KPU. Uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi II DPR untuk memilih 7 anggota KPU.

Tarikan kepentingan yang terjadi pada perekrutan yang dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR diyakini sejumlah kalangan kian memperkeruh perekrutan. Model pengambilan keputusan yang diartikulasikan lewat banyaknya jumlah dukungan terhadap calon-calon tertentu lebih mendominasi perekrutan ini. Model seperti ini jelas lebih kuat dilatarbelakangi pertimbangan-pertimbangan politis ketimbang pertimbangan atas aspek kualitas dan kapabilitas.

Identifikasi masalah perekrutan pejabat publik, seperti yang dilakukan oleh sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) pada akhir tahun 2007, misalnya, menyimpulkan sejumlah kegagalan perekrutan pejabat publik. Hal itu di antaranya karena DPR cenderung mengabaikan informasi yang disampaikan masyarakat melalui berbagai saluran LSM tentang figur calon pejabat publik. Persoalan lainnya adalah tidak ada mekanisme yang jelas dalam proses verifikasi informasi dan data yang diterima terkait calon pejabat publik yang telah diusulkan.

Gugatannya kemudian adalah soal relevansi DPR sebagai lembaga politik yang diberi kewenangan menjadi ”pintu terakhir” dalam perekrutan pejabat publik. Gugatan ini berlandaskan pada problematika DPR sebagai lembaga politik, yang nyaris mustahil melakukan perekrutan di DPR tanpa melibatkan kepentingan politik mereka.

Sejumlah gagasan kemudian mengerucut pada wacana untuk mengembalikan sistem perekrutan pejabat publik kepada kewenangan penuh presiden. Dengan sistem ini, DPR hanya menjalankan fungsinya sebatas mengawasi perekrutan ini.

Prosedur ketat yang selama ini dilakukan untuk menjaring pejabat publik menghabiskan uang negara yang tidak sedikit. Proses seleksi untuk tujuh anggota KYl, misalnya, membutuhkan anggaran Rp 3,6 miliar. Adapun proses seleksi untuk memilih lima anggota KPK, yang dilakukan dalam dua tahap, masing-masing dianggarkan Rp 4,7 miliar untuk seleksi tahap pertama dan Rp 2,9 miliar untuk seleksi tahap kedua.

Sementara itu, tujuh anggota KPU terpilih setelah melalui proses seleksi dengan anggaran Rp 2,4 miliar. Proses seleksi pejabat publik dengan anggaran terendah adalah proses seleksi anggota Komnas HAM yang menghabiskan anggaran Rp 400 juta dan seleksi anggota Komisi Penyiaran Indonesia dengan anggaran Rp 200 juta.

Kegamangan publik tampak dalam hasil jajak pendapat Kompas. Lebih dari separuh responden (56,5 persen) ragu DPR mampu menjalankan tugas menyeleksi dan merekrut pejabat publik. Meski demikian, sebanyak 41,5 persen responden lainnya masih menaruh keyakinan DPR dapat menjalankan fungsi rekrutmen itu.

Mencari sosok pejabat publik yang ideal tidaklah mudah. Figur yang memiliki kemampuan intelektual dan keahlian di bidang lembaga yang akan dipimpinnya belum cukup untuk memenuhi syarat ideal menduduki posisi strategis.

Tuntutannya lebih dari itu, sosok yang memiliki integritas, kejujuran, dan bebas dari kepentingan politiklah yang dicari. Sayangnya, lembaga-lembaga yang menjadi ujung tombak dalam perekrutan pejabat publik ini pun jarang yang bebas dari kepentingan politik. Lalu, bagaimana menghasilkan figur pejabat publik yang ideal?

Suwardiman, Litbang Harian Kompas

Sumber: Kompas, Jumat, 8 Mei 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts