Oleh Dr Hamdi Muluk
“Corruption never has been compulsory”.
Kutipan di atas saya ambil dari pernyataan Anthony Eden, seorang politikus yang pernah menjadi Perdana Menteri Inggris 1955–1957. Pesan moral yang lebih penting dari kutipan itu: tidak ada paksaan dalam melakukan korupsi. Artinya, kalau seseorang melakukan korupsi, ia tidak boleh berdalih melakukannya karena terpaksa, katakanlah karena gaji rendah. Hal lain yang juga ingin ditegaskan kutipan di atas: korupsi itu suatu tingkah laku yang disengaja, bukan faktor kebetulan, yaitu tingkah laku yang dilandasi niat atau motivasi tertentu.
Bahkan kalau kita lihat dari hasil investigasi terhadap suatu perilaku korupsi, jelas sekali bahwa perbuatan itu sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Tulisan ini ingin menyoroti perilaku korupsi dari sudut pandang psikologi sebagai ilmu yang menjelaskan tingkah laku manusia. Pertama harus diperjelas dulu apa pengertian korupsi tersebut.
Ada banyak pengertian dan definisi tentang korupsi, tergantung dari perspektif mana kita mau mendefinisikannya. Bisa dari perspektif legal, ekonomi, atau politik. Secara umum pengertian korupsi harus diletakkan dalam ranah publik. Artinya kalau Anda menggelapkan uang ayah atau paman Anda, itu tidak bisa digolongkan sebagai korupsi, itu namanya penipuan atau pencurian biasa. Pengertian korupsi sebenarnya selalu melekat dalam konteks publik.
Arrigo dan Claussen (2003) misalnya mendefinisikan korupsi sebagai ”mengambil atau menerima suatu keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan”. Jadi jelas dalam pengertian ini, segala bentuk penggelapan, pencurian terhadap dana publik untuk menguntungkan diri sendiri adalah perbuatan korupsi.
Termasuk juga dalam pengertian ini ketika Anda menerima gratifikasi, suap dari orang lain supaya kepentingan orang yang memberikannya Anda dahulukan (kepentingan publik diabaikan). Jadi otomatis Anda bersikap tidak adil buat orang lain atau publik. Inti dari perbuatan korupsi adalah Anda menyalahgunakan kekuasaan publik (abuse of political power or authority).
Pertanyaannya adalah mengapa orang menyalahgunakan kekuasaannya tersebut untuk kepentingan pribadinya? Secara psikologis, jawaban tersebut harus kita telusuri dari hal-hal yang mendasari orang berperilaku dalam suatu konteks tertentu. Menurut pandangan teori behavioris, tingkah laku seseorang adalah fungsi dari lingkungannya.
Tingkah laku yang tampak adalah semata-mata hasil respons seseorang terhadap stimulus dari lingkungannya. Misalnya Anda berperilaku ikut antrean karena lingkungan (sebagai stimulus) mengarahkan Anda untuk antre. Kalau tidak ikut antre, Anda akan menerima konsekuensi tidak menyenangkan dalam bentuk hukuman dan sanksi.
Begitu pula sebaliknya kalau Anda ikut antre akan menerima konsekuensi menyenangkan (dalam bentuk hadiah atau pujian). Pola tingkah laku akan stabil mengikuti logika konsekuensi dari imbalan dan hukuman ini. Pandangan ini dianggap terlalu pasif sehingga timbul pandangan lain yang bernama socio-cognitive approach.
Pandangan ini menambahkan, selain ditentukan oleh mekanisme imbalan hukuman (reward and punishment) dari lingkungan yang terkesan sangat sederhana, dalam bertingkah laku individu juga ditentukan oleh struktur kognitif yang banyak ia pelajari lewat proses sosial. Teori yang lain, teori kepribadian, menambahkan bahwa individu adalah insan yang mempunyai sifat-sifat (traits) unik tertentu yang membedakan suatu orang dengan orang lain.
Dalam kasus korupsi, secara psikologis, tentu menjadi jelas bahwa perbuatan menyalahgunakan wewenang tersebut bisa saja terjadi karena individu tersebut sudah memiliki kecenderungan (sifat) untuk berbuat curang. Ini kalau penjelasannya kita alamatkan kepada karakteristik kepribadian.
Pertanyaannya: mengapa orang yang katanya baik-baik ternyata korupsi juga? Kaum behavioris mengatakan, berarti lingkunganlah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
Penelitian-penelitian empiris mengenai korupsi mengonfirmasi anggapan tersebut. Pada umumnya faktor penyebab korupsi bersumber pada tiga aspek. Pertama, kerusakan pada lingkungan makro (negara) di mana sistem hukum, politik, pengawasan, kontrol, transparansi rusak. Kerusakan tersebut menjadi latar lingkungan yang merupakan faktor stimulus bagi perilaku orang.
Tentunya menjadi jelas ketika sistem tidak secara kuat memberikan hukuman terhadap pelanggaran dan imbalan terhadap sebuah prestasi, tingkah menyimpang (korupsi) malah akan diulang-ulang karena akan memberikan konsekuensi yang menyenangkan. Kedua, pengaruh dari iklim koruptif di tingkat meso (misalnya kelompok, departemen). Ketiga karena faktor kepribadian.
Dr Hamdi Muluk, Pengajar Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Sumber: Seputar Indonesia, Jumat, 01 Mei 2009