Jakarta - Ini fenomena yang jarang terjadi, peluncuran delapan buku puisi esai tentang aneka isu sosial dengan pengarang yang berbeda, sehingga diharapkan menambah spirit untuk melakuak kritik sosial melalui pendekatan budaya.
"Protes sosial tidak diekspresikan melalui demo di jalan, atau menduduki gedung parlemen. Protes itu dieskpresikan melalui puisi esai dari sebuah acara peluncuran buku dan pidato kebudayaan," kata Pemred JurnalSajak Jamal D Raham di Jakarta, Kamis.
Dalam acara pelucuran itu yang dihadiri komunitas budayawan itu menampilkan rekaman pidato politik pemimpin partai, seperti SBY.
Pidato SBY itu diucapkan minggu lalu berbunyi: "Dalam menjalankan tugas dan pengabdian saya, utamanya dalam melayani, mensejahterakan masyarakat, saya akan senantiasa adil dan bekerja untuk semua dan tidak akan pernah menjalankan kebijakan yang diskriminatif, oleh perbedaan agama, etnik, suku, gender, daerah, posisi politik dan perbedaan identitas yang lain”.
Bagi komunitas tersebut, pidato SBY itu adalah buah dan hasil kongkret perjuangan mereka mengkampanyekan “Indonesia Tanpa Diskriminasi.” Pidato SBY mereka anggap kemenangan gagasan “Indonesia Tanpa Diskriminasi” yang ikut mereka lahirkan.
Tak diduga pula asal muasal kampanye "Indonesia Tanpa Diskiriminasi" itu bukan sebuah makalah ilmiah. Bukan pula sebuah pamflet politik. Sumber dari kampanye Indonesia Tanpa Diskriminasi adalah sebuah puisi esai. Aneka puisi esai itu terkumpul dalam satu buku Atas Nama Cinta karangan Denny JA.
Jamal mengatakan, JurnalSajak menjadi tuan rumah acara budaya yang diikhtiarkan setiap tahun ini. Judul resmi acara: Puisi Esai Untuk Indonesia: Pidato Kebudayaan 2013 dan Peluncuran delapan buku puisi esai.
Ada Satrawan Leon Agusta yang membacakan pidato “Kebudayaan Politik Demokrasi Tanpa Budaya Demokrasi.” Ada musikalisasi puisi ala Sudjiwo Tedjo. Tapi menu utama acara ini memperkenalkan puisi esai sebagai genre baru untuk mengeskpresikan isu sosial.
Leon Agusta dalam pidato kebudayaannya menyatakan politik demokrasi di Indonesia saat ini berjalan tanpa kokohnya budaya demokrasi.
Kebebasan yang dibawa reformasi justru banyak diisi oleh kekerasan primordial karena tidak siapnya budaya. Ini lahan yang membutuhkan gerakan budaya “Indonesia Tanpa Diskriminasi."
"Jika gerakan ini meluas, perbedaan identitas sosial tak lagi menjadi sumber konflik sosial," katanya.
Adapun delapan buku yang diluncurkan, yakni Kutunggu Kamu Di Cisadane; Manusia Gerobak; Mata Luka Sengkon-Karta; Dari Rangin ke Telpon; Dari Singkawang ke Sampit; Mawar Airmata; Penari Cinta Anak Koruptor. dan Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia.
Jamal menambahkan, tema Indonesia Tanpa Diskriminasi yang dibawa oleh puisi esai Denny JA juga sudah diekspresikan ke dalam aneka wahana seni lain: film, teater, lagu, lukisan, foto dan flashmob.
Sumber: http://www.antaranews.com