Segera sesudah seorang Muyu meninggal, kerabat dekatnya diberitahu meskipun bila mereka tinggal di permukiman lain. Mereka itu mungkin orang tua atau saudara laki-laki istri, atau (Ra)SaMa, (Ra)SiPa, dan juga kerabat jauh, namun yang mempunyai hubungan baik.
Kalau mereka tidak tinggal terlalu jauh, mereka akan datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada almarhum, dan wanita-wanita di antara mereka akan ikut dalam ratapan. Ratapan dilakukan dengan cara meneriakkan panggilan- panggilannya, dengan demikian dalam teriakan wanita-wanita itu terdengar segala macam istilah kekerabatan nÃmonopé, nimonopo; atau nambangé, nambangó; atau nambé, nambó. Setiap wanita menggunakan panggilannya sendiri, diikuti seruan seperti e! dan a!
Dengan cara itu banyak kerabat dekat, khususnya orang tua atau anak-anak menyatakan sungguh-sungguh rasa duka mereka. Bahkan berbulan-bulan sesudah penguburan, kalau sekonyong-konyong diingatkan kepada almarhum entah kapan, pada waktu siang atau malam hari, mereka mungkin menangis keras-keras.
Untuk kerabat yang lebih jauh, itu semua kadang-kadang tidak lebih dari sekadar suatu formalitas, atau suatu pernyataan ikut berduka cita untuk menghindari tuduhan telah menyebabkan kematiannya.
Sebagai pernyataan duka cita mereka, kerabat dekat juga dapat memberikan kepada almarhum beberapa ot atau barang berharga lain untuk dibawa. Juga dapat dilihat adanya alat-alat di atas kuburannya, seperti genderang yang sengaja dirusak.
Kebun atau beberapa pohon sagu yang menjadi milik almarhum kadang-kadang dibiarkan tidak terurus, untuk menunjukkan bahwa almarhum selalu diingat. Sebagai tanda duka atas kematian suami, saudara laki-laki atau perempuan, anak, ayah atau ibu, — wanita memakai rok jerami panjang. Untuk memperingati almarhum, orang mungkin memakai bagian tertentu dari alat-alat yang menjadi milik almarhum, seperti kotekanya, atau sepotong kecil dari rok jerami almarhumah.
Ada bermacam-macam cara untuk mengurus orang mati. Tubuhnya dapat dikubur, dikeringkan di atas api, atau dibungkus dan dibiarkan kering dengan sendirinya. Dalam cara yang terakhir ini jenazah biasanya diletakkan di atas rak di dekat rumah. Cara pengeringan itu digunakan kalau almarhum sangat dicintai, atau kerabat dekatnya tidak sampai hati untuk berpisah dengannya. Mereka bahkan mungkin membawa tubuh kering itu kalau mereka pindah, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali.
Kedua cara itu juga ada hubungannya dengan kemungkinan untuk akhirnya mengubur tubuh itu di dalam awonbon, atatbon, atau yawatbon — meskipun baru dapat makan waktu bertahuntahun sebelum ada kesempatan semacam itu. Ada kalanya, sebelum ia meninggal, almarhum mewasiatkan kepada anak lakilakinya untuk menguburnya dengan salah satu dari cara-cara itu. Namun, kerabat dekatnya juga dapat mengambil inisiatif.
Tulang belulangnya digosok dengan lemak babi, dan digelar tarian ketmon di tempat tulang belulang itu dikubur — dalam atatbon tempat itu akan tepat di depan rumah upacara (Den Haan 1955:181—182).
Motivasi dari perlakuan ini tidak sekadar kecintaan mereka kepada almarhum, tetapi juga ketakutan kepada tawatnya (arwahnya). Kalau arwah itu tidak puas, ini akan ada akibatakibatnya dalam usaha pemeliharaan babi dan perkebunan: babi akan tetap agak kecil atau lari menghilang, sedangkan kebun tidak akan menghasilkan panen terlalu banyak. Bahkan anak-anak tidak akan tumbuh, dan kemudian meninggal. Oleh karena itu, sebelum almarhum akhirnya dikubur, kepadanya disampaikan yang berikut: “Kamu tidak boleh mengganggu atau menakutnakuti kita, jangan mengganggu saya dalam memelihara anak-anak dan babi, dan dalam memelihara kebun saya”. Dan mungkin ada yang menambahkan: “Kalau ada musuh, jangan lupa langsung memberitahukannya kepada kita”. Ini mengandung gagasan bahwa arwah dalam pemahaman umum kebudayaan di Indonesia itu dapat berkontak dengan mereka yang masih hidup.
***
Sumber : wacananusantara.org
Foto : kebudayaanindonesia.net